Judul buku      : Sastra Lisan: Kajian Teori dan Penerapannya dalam Penelitian
Penulis         : Dwi Sulistyorini dan Eggy Fajar Andalas
ISBN Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : 978-602-74184-4-8
Tahun  Terbit   : 2017
Ukuran         : 15, 5 cm x 23 cm;
Halaman        :  x + 170
Penerbit        : Madani
Ketika kuliah dulu saya berkesempatan belajar bersama beberapa peneliti Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud yang melakukan penelitian di Lombok Barat terkait penggunaan bahasa Indonesia di kawasan pariwisata. Ada seorang peneliti yang biasa disapa Pak Anto Lupus.Â
Sayang sekali sampai saat ini saya tak tahu nama aslinya dan hilang kontak dengan beliau. Bila tak salah, beliau salah satu pemain film Lupus yang terkenal di tahun 1980-an. Pak Anto asik dalam berdiskusi. Ya, terutama karena beliau sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan ajaib khas mahasiswa S-1 yang belum jelas kemana arahnya.Â
Dalam diskusi di suatu sore, kata 'sastra lisan' keluar diiringi berbagai macam penjelasan. Sambil menyimak,ingatan saya seperti terbang dari Senggigi ke Timor mengingat cerita-cerita yang dulu dituturkan orang-orang tua. Sayang, keinginan membaca buku terkait sastra lisan tenggelam setibanya saya di Jakarta.Â
Sampai suatu hari ketika saya kembali ke Jakarta pada Maret 2018 lalu, sebuah buku berjudul Sastra Lisan, Kajian dan Penerapannya dalam Penelitian menarik perhatian ketika mampir di Gramedia Matraman. Ingatan saya pada Pak Anto, juga keinginan belajar sastra lisanlah yang berhasil membujuk diri memindahkan buku ini dari rak ke tas belanja---saya membelinya.
Hampir dua tahun saya tak membacanya dengan sungguh-sungguh. Meski sudah saya letakkan di meja kerja---tanda bacaan prioritas. Bersyukur pada kesempatan mentoring yang pertama saya tertarik menyelesaikannya dan membuat catatan.
Mengenal Foklore dan Sastra Lisan
Foklore dapat dikatakan sebagai kebudayaan tradisional yang dimiliki oleh sekelompok tertentu dan penyebarannya secara turun temurun. Foklor juga menjadi media komunikasi budaya yang mengandung nilai luhur sehingga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan, nasihat, mendidik, maupun sebagai kontrol sosial dalam kehidupan manusia.
Foklor ditinjau secara etimologis, berasal dari kata folk dan lore. Folk merupakan suatu kelompok atau kolektif,  yang dapat diartikan sebagai orang-orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan lore yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device).Â
Sehingga folklore dapat diartikan sebagai kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai isyarat atau alat pembantu pengingat. Pengertian ini menjadikan folklor menjadi begitu luas wilayah cakupannya.
Secara umum kita dapat mengenali foklor berdasarkan ciri-ciri utamanya yang disampaikan Danandjaja (1991:3)sebagai berikut. Pertama, penyebaran dan pewarisan biasanya dilakukan secara lisan, yaitu disebarkan dari turur kata dari mulut ke mulut (atau dengan contoh yang disertai gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat dari suatu generasike generasi berikutnya). Kedua, folklore bersifat tradisional, yaitu diseberakan dalam bentuk relative tetap atau dalam bentuk satrandar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua geerasi).Â
Ketiga, foklor ada (eksis) dalam versi-versi bahkan vairan-varian yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena cara penyebaran dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (penambahan atau pengisian unsur-unsur baru pada bahan foklor) sehingga dapat mengalami perubahan. Namun perubahan tersebut terletak pada luarannya saja,bentuk dasarnya tetap bertahan.Â
Keempat, foklor bersifat anonym, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahu orang lagi. Kelima, foklor biasanya mempuanyai bentuk berumus atau berpola. Biasanya dalam cerita rakyat menggunakan kata-kata klise seperti kata-kata anuju sanawijing dina (pada suatu hari) untuk pembuka cerita dan untuk menutup cerita dengan kalimat A lan B urip rukun babarengan kayo mimi lan mintuna ( A dan B hidup rukun bagaika mimi jantan dan mimi betina).Â
Keenam, folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunya kegunaan sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. Ketujuh, foklor bersifat prologis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenalan ini terutama berlaku bagi foklor lisan dan sebagian lisan.Â
Kedelapan, foklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya. Kesembilan, foklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatan kasar dan terlalu spontan.
Berkaca pada ciri foklor yang telah disampaikan, dalam benak sudah terbayang cerita-cerita yang dapat dikategorikan sebagai foklor. Seperti cerita 'Ine Pare' dari Ende dan 'Jedo Pare Tenu Wujo' dari Lamaholot. Meski keduanya memiliki versi yang berbeda, namun substansi cerita tetap mereferensikan perempuan yang mengorbankan atau dapat dikatakan menukar diri dengan kehidupan (padi, jagung, ubi-ubian, dll.Â
Adanya cerita rakyat, ungkapan rakyat, kesenian rakyat, permainan rakyat, upacara rakyat yang masih beredar di suatu wilayah masih akan eksis selama ada pewarisan secara turun-temurun melalui tradisi penuturan. Baik foklor lisan maupun foklor bukan lisan, tradisi penuturannya akan menghasilkan tradisi lisan. Dokumen tradisi lisan juga bisa dituturkan kembali menjadi tradisi lisan. Hal ini membentuksiklus tradisi lisan.Â
Tradisi lisan menurut Hutomo, (1991:11) mencakup beberapa hal berupa kesusastraan lisan, teknologi tradisional, pengetahuan folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan folk di luar batas formal agama-agama besar, kesenian folk di luar istana dan kota metropolitan, dan hukum adat.Â
Foklor dan sastra lisan (oral literature) tentu tak dapat dipisahkan. Sastra lisan merupakan bagian dari foklor. Sastra lisan merupakan sebuah bentuk karya sastra yang dituturkan dan disebarkan secara lisan. Menurut Hutomo (1991:4) sastra lisan hanya mengacu kepada teks-teks lisan yang bernilai satra, sedangkan tradisi lisan mencakup teknologi tradisional, hukum adat, tarian rakyat, dan makanan rakyat. Sastra lisan berorientasi pada kesusastraan seperti, bahasa rakyat, puisi rakyat, cerita rakyat, maupun nyanyian rakyat.
Adapun untuk mengenai sastra lisan,terdapat 3 ciri menurut  Rusyana dalam Taum (2011:23) yakni, sastra lisan tergantung pada penutur,pendengar,ruang,dan waktu, antara penutur dan pendengar terjadi konflik fisik, sarana komunikasi dilengkap para linguisik, dan bersifat anonim. Ciri-ciri tersebut menegaskan bahwa sebuah sastra lisan dapat bertahan atau tidak dalam masyarakatnya sangat bergantung pada penuturnya.
Metode, Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Metode peelitian merupakan operasional dari epistemologi ke arah pelaksanaan penelitian. Metodelogi pertama-tama mempersoalkan proses atau syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai kepastian atau kebenaraan ilmiah.
Rancangan penelitian sastra lisan menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan data yang diperoleh dari lapangan. Pengumpulan data di lapangan membutuhkan informan untuk menggali informasi terkait objek peelitian sastra lisan. Informan adalah seorang pembicara asli (native speaker) yang merupakan sumber informasi, secara harfiah, mereka mejadi guru bagi peneliti.Â
Selain informan, dalam pengumpulan data juga diperlukan adanya resonden untuk mengecek apakah informasi yang diperoleh dari informan masih dikenali atau dipahami oleh masyarakat daerah setempat. Responden ini harus berasal dari tiga generasi yaitu,tua, dewasa, dan muda. Respon dibutuhkan untuk mengisi angket berupa pertanyaan-pertanyaan terstruktur terkait objek pertanyaan.
Teknik pengumpulan data sastra lisan berbeda dengan sastra tulis. Â Menurut Sudikan (2001:173) teknik pengumpulan data dilakukan dengan perekaman, pemotretan, pengamatan,pencatatan, wawancara, dan angket.
Pendekatan dalam Kajian Sastra Lisan
Pendekatan (approach)merupakan rancangan ilmiah untukmendekati sebuah objek kajian. Pendekatan dapat disejajarkan dengan paradigm yaitu, kumpulan keyakinan dan asumsi-asumsi yang berakibat pada pandangan dan praktik organisasi keilmuan. Beberapa pendeketan yang dijelaskan dalam buku ini adalah pendekatan strukturan, semiotik, fungsional, dan moral.
Pendekatan struktural sangat berpengaruh dalam bidang ilmu sastra. Istila strutktur pertama kali digunakan dalam kongres linguistic pertama yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda pada tahun 1928. Istilah struktur sangat erat kaitannya dengan pemikiran Ferdinan de Sasussure mengenai sistem dikatomi bahasa, significant, signifie, langue, parole, singkronik, dan diakronik, serta hubungan sintagmatik dan maradigmatik.
Paradigma berpikir Ferdinan de Saussure kemudian merambat ke hampir semua bidang ilmu. Fokus penelitian struktur  pada sbuah usaha untuk menemukan hukum-hukum yang berada atau menjadi struktur pembentuk karya. empat pemikiran yang dapat dijadikan sebagai landasan teoritis yaitu, Struktur Naratif Vladimir Propp, Claude Levi Strauss, A.J. Greimas, dan Alan Dundes.
Pendekatan semiotic mengacu pada teori De Saussure dan Peirce yang saling melengkapi. Saussure mendefinisikan semiotik sebagai ilmu yang mengkaji peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Defini tersebut menunjukan adanya relasi apabila tanda menjadi bagian dari kehidupan sosial,maka tanda mejadi bagian dari aturan-aturan sosial yang berlaku.Â
Ada sistem tanda (sign system) dan ada sistem sosial (social system, keduanya saling berkaitan dan berhubungan dengan konvesi sosial (social convetion)yang mengatur penggunaan penggunaan tanda secara sosial. Tanda-tanda disusun dari duaelemn yakni  bunyi (semacam kata atau representasi visual)dan konsep di mana citra bunyi disandarkan. Kajian semiotic meliputi sintaksis semiotik, semantik semiotik, dan pragmatik semiotik. Kajian semiotic diperjelas melalui uraian tentang kode, simbol darilambang, makna, dan tanda.
Pendekatan fungsional berkaitan dengan fungsi sastra lisan bagi masyarakat.Teori fungsi berkaitan dengan manfaat atau guna dari cerita. Manfaat dalam suatu karya sastra berkaitan dengan sesuatu yang menyengkan (utile) dan berguna (dulce) bagi kehidupan masyarakat. Fungsionalisme sebai perspektif teoritik dalam antropologi bertumpu pada analogi dengan organisme/makhluk hidup.Â
Hal ini berarti, sistem sosial budaya dianalogikan sebagai sistem organisme, yang bagian-bagian atau unsur-unsurnya tidak hanya memberikan peranan bagi pemeliharaan, stabilitas, integrase,dan kelangsungan hidup organisme itu. Fungsi-fungsi yang dibahas dalam teori ini adalah fungsi sosial, fugsi religious, fungsi budaya, dan fungsi kelestarian lingkungan.
Pendekatan moral merupakan pendekatan yang pentinga dalam sastra lisan. Secara etimologi kata "moral" berasal dari bahasa latin Mores. Asal katanya adalah mos yang berarti kesusilaan, tabiat, atau kelakuan. Moral menurut Suseno (1987:19) mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Perlu disadari bahwa penilaian  baik atau buruk manusia bersifat relatif. Dapat dikatan pandangan orang terhadap moral, nilai-nilai, atau kecenderungan-kecenderungan biasanya dipengaruhi oleh pandangan hidupnya (way of life). Jenis nilai moral dalam karya sastra dapat dibagi menjadi empat yakni, nilai moral individual, nilai moral sosial, nilai moral religi.
Buku Rasa Jurnal
Buku Sastra Lisan, Kajian Teori dan Penerapannya dapat dikatakan buku dengan sejuta manfaat. Buku ini menjelaskan teori-teori terkait sastra lisan, metode penelitian, pendekatan, teknik pengumpulan data dan analisis data. Buku ini sebuah buku komlplit yang diramu dari hasil-hasil penelitian sastra lisan. Membaca buku ini seperti membaca publikasi hasil penelitian dalam juranla yang sangat santun dan tidak menggurui.
Dwi Sulistyorini dan Eggy Fajar Anadalas telah memaparkan aplikasi teori dalam analisis cerita rakyat Rambut Monte (Blitar), Malin Kundang (Sumatra Utara), Putri Tadampalik (Sulawesi Selatan). Buku yang sangat menarik,meskipun contoh analisis yang digunakan masih cerita-cerita dari daerah di luar NTT. Saya pikir,membaca buku ini membuka peluang begitu besar bagi para peneliti-peneliti sastra di NTT untuk memulai. Ya, memulai dokumentasi sastra lisan daerah dan menganalisnya. Dan saya pikir saya juga.
Kupang, 05 Desember 2019
Salam,
Siti Hajar
Catatan: Artikel ini dibuat dalam rangka menantang diri menulis review untuk buku-buku ya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H