Sebagian besar orang menemukan inspirasi ketika kembali ke desa. Perjalanan pulang ke desa menjadi perjalanan indah dengan bermacam-macam ide di kepala. Keindahan alam dan aktivitas penduduk adalah hamparan pohon kisah yang siap dipanen dalam cerita-cerita. Begitu pula yang saya rasakan setiap kali pulang ke rumah orangtua saya di Desa Falas. Saya selalu mendapat kejutan ide yang mampir dan buru-buru dicatat sebelum enyah entah ke mana.
Pagi itu setelah pesta tahun baru usai dan orang-orang kota selesai membakar ribuah bahkan jutaan kembang api, saya memutuskan ikut bapak berjualan ke pasar Kie. Seperti pasar-pasar tradisional pada umumnya di Nusa Tenggara Timur (NTT), pasar Kie hanya ada sekali dalam seminggu. Tepatnya setiap hari Jumat pagi bertempat di lapangan kecamatan Kie.
Barang dagangan bapak dinaikan ke mobil pick-up. Kami berangkat dari rumah pukul 05.30. Setelah semua rapih, mobil pick-up mulai beranjak dari halaman rumah ke Kie. Jalan masih sepi, suara burung berkicau berlomba dengan bunyi mobil yang perlahan mendaki jalanan putih dengan batuan tajam dan lubang-lubang menganga karena tergerus aliran air hujan. Butuh waktu tujuh menit untuk sampai ke kota Niki-Niki.
Mobil mulai meninggalkan pertokoan menuju SPBU Niki-Niki, lalu belok kiri mengikuti jalan pintas ke arah Oenlasi untuk mencapai pasar Kie. Kami mulai berhati-hati karena jalan lintas Kupang-Oenlasi masih nano-nano. Kadang manis, kadang asem. Meski begitu, mata masih dimanjakan dengan pemandangan hijau khas musim penghujan.
Salah satu hal unik yang ditemukan sepanjang perjalanan ke pasar Kie adalah rumah-rumah warga yang unik dengan aneka model mungil yang cantik. Selain itu kita juga dapat melihat rumah bulat (ume kbubu) khas masyarakat suku Dawan di TTS.
Fungsi pasar pada umumnya adalah tempat praktik jual beli. Tapi bagi pasar tradisonal seperti pasar Kie, tentu bukan sekadar tempat jual beli. Pasar menjelma ruang berbagi kabar dan ramah tamah warga.Â
Tak lama kemudian seorang pembeli datang, mereka bersalam-salaman sebelum membeli tembakau. Tak ada kesan terpaksa di sana. Semua tergambar tulus dari sorot mata dan senyum merah merekah di bibir mereka.
Begitulah, pasar menjadi tempat bertukar cerita. Hampir tak ada orang yang datang dan pergi tanpa berbagi  cerita atau sekadar tersenyum ramah saat melintas. Terpancar semangat persaudaraan yang kental di antara senyum dan sirih pinang yang silih bertukar dari satu tempat sirih ke tempat sirih yang lain.Â
Saya menyepi sejenak setelah puas mengabadikan banyak gambar sambil menyerap energi positif orang-orang ini. Tentu tak adil saya membandingkan aktivitas masyarakat Kie dengan hiruk-pikuk di kota. Tentu semua berbeda ruang juga berbeda kebutuhan. Saya hanya menyerap energi tulus yang dipraktikan dengan gamblang di depan mata. Setidaknya saya bisa berguru pada cara mereka bersyukur. Mereka tahu bagaimana menikmati hidup dengan mensyukuri apapun yang diberikan Tuhan.
Falas, 4 Januari 2019
Salam,
Sayyidati Hajar Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H