Mohon tunggu...
Sayyidati Hajar
Sayyidati Hajar Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Timor

Perempuan Timor | Traveller Kampung | Teater | Short Story | Short Movie | Suka Budaya NTT | pos-el: sayyidati.hajar@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berguru "Tulus" dari Kehidupan Masyarakat Pasar Kie

4 Januari 2019   17:50 Diperbarui: 7 Januari 2019   14:10 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagian besar orang menemukan inspirasi ketika kembali ke desa. Perjalanan pulang ke desa menjadi perjalanan indah dengan bermacam-macam ide di kepala. Keindahan alam dan aktivitas penduduk adalah hamparan pohon kisah yang siap dipanen dalam cerita-cerita. Begitu pula yang saya rasakan setiap kali pulang ke rumah orangtua saya di Desa Falas. Saya selalu mendapat kejutan ide yang mampir dan buru-buru dicatat sebelum enyah entah ke mana.

Pagi itu setelah pesta tahun baru usai dan orang-orang kota selesai membakar ribuah bahkan jutaan kembang api, saya memutuskan ikut bapak berjualan ke pasar Kie. Seperti pasar-pasar tradisional pada umumnya di Nusa Tenggara Timur (NTT), pasar Kie hanya ada sekali dalam seminggu. Tepatnya setiap hari Jumat pagi bertempat di lapangan kecamatan Kie.

Barang dagangan bapak dinaikan ke mobil pick-up. Kami berangkat dari rumah pukul 05.30. Setelah semua rapih, mobil pick-up mulai beranjak dari halaman rumah ke Kie. Jalan masih sepi, suara burung berkicau berlomba dengan bunyi mobil yang perlahan mendaki jalanan putih dengan batuan tajam dan lubang-lubang menganga karena tergerus aliran air hujan. Butuh waktu tujuh menit untuk sampai ke kota Niki-Niki.

Jalanan di waktu pagi | Dokumentasi pribadi
Jalanan di waktu pagi | Dokumentasi pribadi
Rasanya lega ketika mobil mulai menginjak hamparan aspal hitam di Niki-Niki. Goncangan jalan berbatu tak terasa lagi. Tangan sudah bisa melepas pegangan. Saya sudah bisa mengambil gambar selama perjalanan. 

Mobil mulai meninggalkan pertokoan menuju SPBU Niki-Niki, lalu belok kiri mengikuti jalan pintas ke arah Oenlasi untuk mencapai pasar Kie. Kami mulai berhati-hati karena jalan lintas Kupang-Oenlasi masih nano-nano. Kadang manis, kadang asem. Meski begitu, mata masih dimanjakan dengan pemandangan hijau khas musim penghujan.

Salah satu hal unik yang ditemukan sepanjang perjalanan ke pasar Kie adalah rumah-rumah warga yang unik dengan aneka model mungil yang cantik. Selain itu kita juga dapat melihat rumah bulat (ume kbubu) khas masyarakat suku Dawan di TTS.

Rumah warga dengan paduan warna menarik | Dokumentasi pribadi
Rumah warga dengan paduan warna menarik | Dokumentasi pribadi
Setelah melewati Oenai dan mobil yang membawa kami mulai masuk ke ruas jalan desa Napi. Di sini, jalan aspal sudah mulai tertinggal di belakang. Kami kembali siaga, karena goncangan akan terasa.

Akses jalan cukup baik | Dokumentasi pribadi
Akses jalan cukup baik | Dokumentasi pribadi
Mobil kembali melewati jalan tanpa aspal. Jalan dengan struktur batu dan tanah yang telah diratakan alat berat. Syukurlah meski berlumpur dan kadang berlubang jalan itu bisa dilalui dengan baik. Goncangan yang dikhawatirkan ternyata tidak berlebihan.Kami masih bisa duduk nyaman di atas mobil. 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Setelah beberapa menit melaju, mobil belok kiri ke arah kantor camat Kie. Pasar Kie berada di jantung kecamatan. Banyak lembaga-lembaga pemerintah ada di wilayah itu. Puskesmas Kie, Kantor Camat Kie, Kantor Balai Layanan KB, SMA Negeri Kie berjejer rapi di sepanjang jalan menuju lapangan yang dijadikan pasar.

Puskesmas Kie | Dokumentasi pribadi
Puskesmas Kie | Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Kami sampai kurang pukul 07.00 ketika pasar masih sepi. Hanya ada beberapa penjual di lokasi. Kami sibuk menata barang dagangan bapak. Setelah itu, saya bisa berkeliling pasar mengabadikan setiap momen.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Pasar Kie Tak Sekadar Tempat Jual Beli

Fungsi pasar pada umumnya adalah tempat praktik jual beli. Tapi bagi pasar tradisonal seperti pasar Kie, tentu bukan sekadar tempat jual beli. Pasar menjelma ruang berbagi kabar dan ramah tamah warga. 

Suasana di pasar Kie | Dokumentasi pribadi
Suasana di pasar Kie | Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Pagi mulai beranjak. Para pedagang mulai datang ke pasar. Sayur, sirih pinang, kue, tembakau, dan aneka barang dangangan lain mulai berjejer. Satu demi satu pembeli mulai datang. Kita dapat menyaksikan keramahan warga desa di pasar. Mereka saling menyapa, bersalaman, bercerita, sampai makan sirih sebelum berjualan.

Beberapa pedagang mulai berjualan | Dokumentasi pribadi
Beberapa pedagang mulai berjualan | Dokumentasi pribadi
Seperti pagi itu seorang kakek tiba lebih dulu, mengambil tempat tepat di samping tempat jualan bapak dan mulai membuka dagangannya. Ternyata ia menjual tembakau. Ya, masyarakat masih memegang teguh tradisi makan sirih pinang dan menyelipkan segumpal tembakau kering di antara gigi dan bibir. 

Tak lama kemudian seorang pembeli datang, mereka bersalam-salaman sebelum membeli tembakau. Tak ada kesan terpaksa di sana. Semua tergambar tulus dari sorot mata dan senyum merah merekah di bibir mereka.

Kakek penjual tembakau | Dokumentasi pribadi
Kakek penjual tembakau | Dokumentasi pribadi
Begitu pula ketika seorang ibu menggelar dagangannya di atas pari-pari bambu. Seorang pemuda datang kemudian, mereka saling bertukar sirih pinang dan saling bertanya kabar sebelum pemuda itu membeli sayur dagangannya. 

Begitulah, pasar menjadi tempat bertukar cerita. Hampir tak ada orang yang datang dan pergi tanpa berbagi  cerita atau sekadar tersenyum ramah saat melintas. Terpancar semangat persaudaraan yang kental di antara senyum dan sirih pinang yang silih bertukar dari satu tempat sirih ke tempat sirih yang lain. 

Saya menyepi sejenak setelah puas mengabadikan banyak gambar sambil menyerap energi positif orang-orang ini. Tentu tak adil saya membandingkan aktivitas masyarakat Kie dengan hiruk-pikuk di kota. Tentu semua berbeda ruang juga berbeda kebutuhan. Saya hanya menyerap energi tulus yang dipraktikan dengan gamblang di depan mata. Setidaknya saya bisa berguru pada cara mereka bersyukur. Mereka tahu bagaimana menikmati hidup dengan mensyukuri apapun yang diberikan Tuhan.

Falas, 4 Januari 2019
Salam,
Sayyidati Hajar  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun