Pada pertengahan Oktober 2022, para pengunjung London's National Gallery dikejutkan oleh aksi dua remaja yang melempar sup kalengan ke satu karya seni bersejarah di galeri tersebut. Lukisan yang jadi bulan-bulanan adalah salah satu karya Vincent van Gogh yang berjudul "Sunflower".
Aksi ini diklaim bukan merupakan vandalisme melainkan aktivisme. Dua anak muda, yang salah seorangnya bernama Phoebe Plummer (21 tahun), itu adalah aktivis yang menjadi bagian dari komunitas pecinta lingkungan di Inggris, "Just Stop Oil".
Pesan yang Phoebe tekankan di akhir aksinya sangat jelas, yaitu agar Pemerintah serta perusahaan minyak dan gas bumi menghentikan eksplorasi dan produksi besar-besaran yang merusak lingkungan. "What is worth more, art or life? ...are you more concerned about the protection of the painting or the protection of our planet and people?" begitu katanya.
Meski viral, aksi Phoebe Plummer yang mengacaukan display karya seni ini bukan satu-satunya. Sembilan hari setelah insiden itu, lukisan Claude Monet berjudul "Les Meules" di Museum Barberini, juga tertimpa nasib serupa oleh dua aktivis Jerman yang melempar, bukan sup tomat tapi, 'mashed potato'.
Bulan selanjutnya, dua aktivis Norwegia melengketkan tangannya dengan lem ke satu lukisan terkenal karya Edvard Munch berjudul "The Scream", di National Museum of Norway, Oslo. Aksi ini dilakukan oleh dua orang yang tergabung dalam kelompok aktivis Norwegia, "Stop Oil Exploration".
Lukisan "Mona Lisa" karya Leonardo da Vinci di Louvre, Paris, juga tidak luput menjadi sasaran para aktivis lingkungan. Baru-baru saja, dua aktivis Riposte Alimentaire (Food Response) asal Perancis, melempar sup ke lukisan terkenal itu sambil menyuarakan tuntutan akan hak untuk memperoleh makanan yang sehat dan 'sustainable'.
Sang Mona Lisa mendapat lemparan makanan dari aktivis lingkungan lebih dari satu kali. Di hari lainnya, seorang pria dengan penyamaran kursi roda dan rambut palsu, mengolesi kaca pelindung ikon renaisans itu dengan krim kue. Meski lukisan tersebut dilindungi dengan kaca anti peluru, aksi itu cukup membuat petugas Louvre kewalahan membersihkan noda sisa makanan yang menempel di kaca.
Puluhan aksi serupa yang menargetkan karya seni bersejarah ini telah menjamur di berbagai belahan Eropa. Aksi seperti ini memperoleh julukannya sendiri, "eco-vandalism", yakni suatu bentuk aktivisme destruktif yang bertujuan mengangkat persoalan lingkungan agar menjadi perhatian orang banyak.
Meski apa yang dilakukannya dipandang sebagai vandalisme, Phoebe Plummer merasa dirinya bukan seorang kriminal. Ia tidak berniat melempar sup pada karya seni dengan tujuan menghancurkannya. Phoebe tahu persis bahwa lukisan Van Gogh itu dilapisi kaca pelindung.
Aksi yang ia lakukan, semata-mata adalah untuk menarik perhatian masyarakat tentang kesadaran akan krisis iklim yang menurutnya lebih krusial dibandingkan proteksi terhadap karya seni. Insiden pelemparan sup ini kemudian menjadi buah bibir, dan ia mengharapkan, dengan demikian akan ada semakin banyak orang yang mempertanyakan soal isu perubahan iklim dan mengedukasi dirinya.
Sosiolog dari University of Maryland, Amerika Serikat, Dana R. Fisher, melihat fenomena itu sebagai pergeseran menuju pembangkangan sipil (civil disobedience). Aksi seperti ini diperlukan untuk memberi tekanan-tekanan kepada sistem ekonomi politik yang sedang berjalan, agar terjadi perubahan melalui kebijakan yang betul-betul solutif. Para aktivis juga menjalankan protes semacam itu untuk menggaet perhatian publik dan memobilisasi lebih banyak orang untuk menyuarakan tuntutan yang sama.
Sementara itu, Founder of Project InsideOut, Psikolog Renee Lertzman, menilai, aksi eco-vandalism cukup efektif. Hal ini bisa dilihat dari seberapa besar aksi tersebut berdampak pada pergeseran isu lingkungan menjadi perbincangan hangat di tengah publik. "The fact that we're still talking about this is evidence enough that it is doing something," komentar Renee.
Namun apakah aksi protes tersebut menuai respon positif dari khalayak ramai, terutama di media sosial? Nyatanya, respon publik tidak begitu bagus. Sebagian besar komentar warganet di media sosial berpendapat bahwa aksi seperti itu cenderung destruktif dan malah memberi pengaruh buruk terhadap citra aktivis lingkungan. Sebagian warganet juga berpendapat, aktivis lingkungan tidak akan mencapai resolusi apa-apa dengan melakukan vandalisme terhadap karya seni bersejarah.
Di antara beberapa komentar di video-video Youtube yang menampilkan aksi Phoebe Plummer, ada pula beberapa warganet yang menyesalkan mengapa aksi tersebut dilakukan kepada karya Vincent van Gogh. Pelukis itu seumur hidupnya tidak pernah menikmati hasil dari ketenarannya sendiri, dan ratusan tahun setelah kematiannya, malah ada aktivis lingkungan yang melempar karyanya dengan sup tomat!
Aksi protes yang mengacaukan display lukisan bersejarah ini memang mengundang kontroversi dan pengecaman, tidak hanya bagi sebagian publik tetapi juga para pengelola museum seni. Namun, tampaknya itulah inti dari aksi ini.
Eco-vandalism berupaya mengangkat isu lingkungan, dalam hal ini perubahan iklim yang diakibatkan eksploitasi minyak bumi, sebab itu adalah hal yang dirasa penting dan krusial. Mengapa orang-orang harus membicarakan perubahan iklim? Sebab, sejak 50 tahun lebih penelitian berjalan, tidak banyak resolusi yang berhasil membuat indikator perubahan iklim menurun.
Rata-rata anomali temperatur secara global masih kian meningkat hingga awal 2024, sebesar 1,15C, dilihat dari data ourworldindata.org. Dari sumber yang sama, dapat dilihat pula grafik emisi karbondioksida (CO) dari minyak dan batu bara cenderung meningkat, dengan Amerika Serikat, China dan Eropa, menjadi penyumbang terbesar emisi.
Sementara itu, eksplorasi dan produksi bahan bakar minyak masih terus meningkat. Grafik produksi minyak bumi secara global naik dari tahun 2020 - 2022. Bahkan, di tahun 2022, angkanya mencapai sekitar 93.848.000 barel per hari, hampir menyamai angka tertinggi di tahun 2019 yang mencapai 94.972.000 barel per hari.
Fakta ini menjadikan resolusi perubahan iklim menjadi wacana yang penting dan mendesak. Aksi-aksi eco-vandalism terjadi karena cara protes lain yang sudah dilakukan tidak berhasil mendorong pemimpin dunia menjalankan langkah yang konsisten. Para aktivis terus mendobrak batasan dan diperkirakan akan mencoba cara-cara protes lain yang lebih ekstrim untuk menarik perhatian.
Perlu diingat, bahwa aktivisme merupakan aksi kolektif. Perubahan iklim tidak dapat dicegah hanya dengan bergantung pada tindakan segelintir orang; lebih kompleks ketimbang keputusan individu untuk berangkat kerja dengan bersepeda atau membawa tas belanja sendiri ke supermarket. Kebijakan yang konsisten dan tegas dari pemimpin dunia sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Dan apa hubungannya perubahan iklim dengan karya seni? Karya seni memiliki tempat tersendiri di tengah masyarakat, ia diberi nilai luhur sebagai produk peradaban dan kebudayaan manusia. Jika dilihat secara objektif, lukisan Vincent van Gogh mungkin hanya selembar kanvas dan cat. Namun, publik memberinya nilai lebih atas estetika dan historisitasnya.
Bagaimana jika sesuatu yang bernilai luhur tersebut, tiba-tiba dilempar dengan sup kalengan? Semua orang pasti akan gempar dan memusatkan perhatian padanya. Aksi ini menjadi sesuatu yang baru, walaupun apa yang disampaikan adalah pesan berulang-ulang tentang perubahan iklim.
Mungkin saat ini masyarakat sudah mampu menoleransi demonstrasi yang tumpah ruah di jalan-jalan, dan menganggapnya sambil lalu sebagai sesuatu yang "biasa aja". Tapi seiring berjalannya waktu, batasan-batasan toleransi akan terus didobrak oleh para aktivis lingkungan, sampai pesan mereka benar-benar didengar dan ada perubahan berarti.
Lagipun, tanpa kesadaran dan aksi konkrit dari semua orang, konsep nilai dari karya seni akan menjadi sia-sia di masa depan, persis seperti slogan Just Stop Oil: "No Art on a Dead Planet!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H