“Kamu berubah Than, kamu hanya mengumbar janji manis demi menenangkan dirimu sendiri. Pada akhirnya kamu selalu lari dari masalah kamu memilih untuk membawanya tidur tanpa harus menyelesaikannya dan tanpa kamu sadari masalah yang tadinya sebesar biji selasih kini membengkak.”
“Aku hanya belum siap Lila, terlepas dari semua masalah kita, aku merasa belum siap.” jawabku tertunduk lesu.
“Kalau begitu, berhentilah memberiku kehampaan, aku lelah Nathan.” katanya sambil berlalu meninggalkanku.
===
Lila kini pergi, sementara aku masih sendiri bergulat dengan isi kepala yang belum tentu aku mengerti. Lila pergi melupakanku, meninggalkanku tanpa ada kata perpisahan layak. Atau sesungguhnya harus akukah yang mengeluarkan kata perpisahan itu.
Aku tidak adil padanya, aku enggan melepasnya dan dengan keras kepala menahan waktunya. Mengharuskannya selama empat tahun menghiasi hidupku yang hampa, menyemangati hatiku tanpa aku sadar dia juga harus menjalani kehidupan dan menggapai mimpinya.
Egoiskah bila aku ingin terus bersamanya, seperti ini saja. aku tak perlu persetujuan institusi manapun untuk mencintainya, untuk menjaganya.
===
“Hai Nathan, tanggal berapa sekarang.” kata suara manja yang mengejutkan dan menghentikan tangisku.
“Lila, maafkan aku. Maafkan aku membuang waktumu.” tangisku kini semakin pecah dengan tangannya mengusap wajahku dan matanya, matanya kini berkilat mengenalku.
“Dua tahun, dua bulan, 17 hari. Sudah selama itu kita tidak bertemu, atau setidaknya begitu dalam ingatanku.” katanya sambil merengkuh tubuhku erat dalam peluknya.