Beberapa tahun berlalu, setiap kali pulang ke kampungku aku selalu melihatnya di balik pagar rumahnya, memamerkan senyum sumringah dan gigi-gigi kuningnya dari sela pagar kayu bercat coklat itu, dengan wajah yang selalu belepotan dan kotor (aku selalu heran dengan ingus yang selalu bergelantungan di hidungnya, apa dia selalu terkena flu) dia selalu melambaikan tangannya kepadaku tapi selalu terburu-buru aku membalas lambaian tangannya sambil lalu, seolah tidak ada hari esok aku melupakannya dan tenggelam dalam duniaku.
===
Wibisono meninggal pekan lalu, berita yang disampaikan Ibu lewat telepon itu bagai petir di telingaku, si anak bongsor sudah pulang ke rumah Tuhan, kembali ke Maha Esa. Sejuta kenapa menggantung di otakku, apa yang terjadi pada anak berwajah polos dan ramah yang selalu kotor karena ingus yang bercampur dengan debu dan tanah.
Aku merasakan desakan untuk pulang dan demi menunaikan kedesakan itu aku membeli tiket kereta paling murah demi mencari jawaban demi mencari ketenangan.
Tepat dini hari aku sampai di rumah, perjalanan yang tidak menyenangkan dari stasiun ke rumah harus melalui pagar bercat coklat tempat Wibi biasa duduk bersila dan ini aneh, aku merasa janggal melihat pagar itu tanpa senyum gigi kuning Wibi menyembul di sela-selanya.
===
“Wibi sangat senang saat Retno kasih coklat waktu itu,” kata Ibu Wibi sambil membawakan teh hangat saat aku mengunjungi rumahnya untuk berbelasungkawa.
“Itu hanya sebatang coklat murah yang kubeli dengan sisa uang saku hari itu,” kataku sambil memandang wajah Budhe yang begitu tua dan lelah.
“Walau begitu, itu sangat berarti untuk Wibi yang selalu menunggu di balik pagar, menanti teman yang mau bermain dan menghabiskan waktu dengannya Retno, teman yang justru menghinanya karena perbedaan yang dia miliki,” tak lagi Ibu Wibi menahan tangisnya seperti waktu itu.
“Wibi menanti dengan sabar setiap hari sampai malam tiba dan dia lalu akan menangis masuk ke dalam rumah sambil berkata dengan ucapan yang tak jelas bagi siapapun, dia lelah menunggu siapapun datang untuk menemani harinya yang sepi.”
“Lalu kamu datang Ret memberikan apa yang tidak pernah sanggup Budhe berikan untuk meringankan kesedihannya, Oh iya, Wibisono bersedih setiap hari melihat satu-persatu kalian bermain lalu tumbuh dewasa, tapi setidaknya sebelum Wibi meninggal dia memiliki satu sahabat yang selalu membuatnya tersenyum hanya dengan melihat sebungkus coklat. Terimakasih Retno,” kata Ibu Wibi mengakhiri kunjunganku yang pertama dan terakhir ke rumah berpagar coklat itu.