“Angin banyak kok dicari Nduk”, katanya lagi sambil terkekeh
Sejak saat itu sesekali aku berinteraksi dengan Wibisono melalui sela pagar bercat coklat itu, sekadar menanyakan apa dia sudah makan, sesekali memberikan cemilan atau hanya menyapa Ibu anak yang terlihat sangat mencintai si pagar coklat karena sering sekali terlihat menghabiskan waktu di sana.
Kalau sudah begitu kadang Mama perlu memanggilku dari halaman rumah, karena walau Wibi tidak lancar berbicara setidaknya Ibunya selalu ada sebagai sang penerjemah dan akan membuatku berlama-lama di depan rumah itu.
Aku tidak pernah masuk ke balik pagar, semua interakasi kamu terjadi dibatasi pagar bercat coklat di rumah besar itu.
“Maaf ya Mba Retno, Ibu ndak pernah nyuruh masuk,” kata Ibu Wibi suatu hari mengawali pembicaraan sore itu.
“Ndak apa-apa Budhe, di sini isis kok jadi enak ngobrolnya,” jawabku sambil memandang Wibisono yang mulai menunjukkan tanda-tanda keremajaan namun terhalang mental yang berhenti berkembang.
“Dulu pernah dibuka, biar anak-anak mau main sama Wibi eh tapi kok Wibinya malah dilempari batu, diludahi, diejek bahkan pernah dikencingi Anggoro anaknya Pak Wasis yang rumahnya di ujung sana,” cerita Ibu Wibi dengan mata berkaca-kaca menahan air mata.
“Biar anaknya ini bodo, cacat mental tapi yo kalau dipulosoro gitu ya ngerti kan Ret,” tambahnya lagi sambil mengeringkan butir air mata yang sukses meluncur dari matanya.
“Awalnya Wibi itu sehat lho Ret, ya kayak kalian gini yo normal. Dulu Budhe telat bawa ke rumah sakit waktu Wibi sakit, akhirnya malah jadi kayak gini, Budhe nyesel Ret nyesel,” kata Ibu Wibi mengakhiri pembicaraan.
Sore itu kami akhiri dengan isak tertahan Ibu Wibi dan menjadi hari terakhir aku menghampiri Wibi yang duduk sendiri di balik pagarnya. Aku diterima kuliah di Jakarta, meninggalkan kampung yang mengungkungku tanpa menyadari sampai akhir hayatnya Wibi menungguku dengan setia duduk di balik pagar bercat coklat itu.
===