Mohon tunggu...
Novita Nurfiana
Novita Nurfiana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Eccedentesiast, ichthyophobia, gamophobic, Cynophobic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wibisono dan Pagar Bercat Coklat

29 Februari 2016   13:02 Diperbarui: 29 Februari 2016   13:37 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Angin banyak kok dicari Nduk”, katanya lagi sambil terkekeh

Sejak saat itu sesekali aku berinteraksi dengan Wibisono melalui sela pagar bercat coklat itu, sekadar menanyakan apa dia sudah makan, sesekali memberikan cemilan atau hanya menyapa Ibu anak yang terlihat sangat mencintai si pagar coklat karena sering sekali terlihat menghabiskan waktu di sana.

Kalau sudah begitu kadang Mama perlu memanggilku dari halaman rumah, karena walau Wibi tidak lancar berbicara setidaknya Ibunya selalu ada sebagai sang penerjemah dan akan membuatku berlama-lama di depan rumah itu.

Aku tidak pernah masuk ke balik pagar, semua interakasi kamu terjadi dibatasi pagar bercat coklat di rumah besar itu.

“Maaf ya Mba Retno, Ibu ndak pernah nyuruh masuk,” kata Ibu Wibi suatu hari mengawali pembicaraan sore itu.

“Ndak apa-apa Budhe, di sini isis kok jadi enak ngobrolnya,” jawabku sambil memandang Wibisono yang mulai menunjukkan tanda-tanda keremajaan namun terhalang mental yang berhenti berkembang.

“Dulu pernah dibuka, biar anak-anak mau main sama Wibi eh tapi kok Wibinya malah dilempari batu, diludahi, diejek bahkan pernah dikencingi Anggoro anaknya Pak Wasis yang rumahnya di ujung sana,” cerita Ibu Wibi dengan mata berkaca-kaca menahan air mata.

“Biar anaknya ini bodo, cacat mental tapi yo kalau dipulosoro gitu ya ngerti kan Ret,” tambahnya lagi sambil mengeringkan butir air mata yang sukses meluncur dari matanya.

“Awalnya Wibi itu sehat lho Ret, ya kayak kalian gini yo normal. Dulu Budhe telat bawa ke rumah sakit waktu Wibi sakit, akhirnya malah jadi kayak gini, Budhe nyesel Ret nyesel,” kata Ibu Wibi mengakhiri pembicaraan.

Sore itu kami akhiri dengan isak tertahan Ibu Wibi dan menjadi hari terakhir aku menghampiri Wibi yang duduk sendiri di balik pagarnya. Aku diterima kuliah di Jakarta, meninggalkan kampung yang mengungkungku tanpa menyadari sampai akhir hayatnya Wibi menungguku dengan setia duduk di balik pagar bercat coklat itu.

===

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun