Mohon tunggu...
Nurul Fauziah
Nurul Fauziah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai tulis-menulis

Alumni Ilmu Sejarah FIB UI. Mencintai Literasi dan Musik. Menggemari Film dan Anime. Menulis untuk Bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mande Rubayah: Penantian yang Sia-Sia

25 Agustus 2021   06:15 Diperbarui: 25 Agustus 2021   06:17 2047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Batu Malin Kundang di Pantai Air Manis, Padang. Source: harianhaluan.com

Para saudagar kaya yang berlayar dengan kapal itu memberi mereka upah, besar kecilnya upah tergantung dari seberapa keras upaya mereka membantu para saudagar itu berdagang di sana.

Seperti para bujang kampung lainnya, Malin juga ikut berlarian ke pantai. Berlomba-lomba meraih barang dagangan yang diangkut salah seorang saudagar. Kemudian meminta izin untuk membantu mereka berjualan di pasar dari pagi hingga larut malam. 

Salah seorang saudagar pun terkesan dengan kerja keras Malin. Pemuda itu cerdas, pintar berbicara, dan penuh sopan santun saat berdagang. Saudagar itu mendapat untung yang besar. 

Berpikir bahwa memiliki pemuda seperti Malin akan mendatangkan banyak keuntungan untuknya, ia pun mengatakan niatnya pada nahkoda kapal mereka untuk membawa Malin ikut serta dalam pelayaran mereka ke negeri seberang. Nahkoda memberi izin dan mengutarakan niat sang saudagar pada Malin. Pemuda itu terkesiap tidak percaya.

“Ibu, aku mohon izinmu untuk membiarkanku berlayar dengan saudagar itu.” Pinta Malin pada ibunya. Deru napasnya terengah-engah karena berlarian dari dermaga menuju rumahnya, keringat membasahi seluruh tubuhnya, namun raut wajahnya terlihat gembira. “Saudagar itu bilang ia terkesan dengan kerja kerasku. Jadi ia ingin membawaku ke negeri seberang untuk berdagang. Kumohon izinkan aku, ibu. Aku ingin mengubah hidup kita.” Lanjutnya.

Mande Rubayah, demi mendengar kata negeri seberang, ia jadi teringat akan suaminya dan mengeluh. “Tapi nak, kalau kau pergi, dengan siapalah ibumu akan tinggal? Ibu akan sendiri di sini. Tak usahlah kau pergi, nak!”

Malin menggeleng. Ia berlutut dan menyentuh kedua tangan ibunya. Mata pemuda itu menatap Mande Rubayah dalam. Ada gurat kesungguhan dari mimik wajahnya. 

“Ibu, aku ingin mengubah keadaan kita. Aku merasa berat melihat Ibu terus bekerja keras siang malam untuk memenuhi segala kehidupan kita. Aku sudah besar, Bu. Biarlah aku yang sekarang bekerja keras untuk kita. Izinkanlah Malin berlayar menjemput janji-janji di luar sana. Malin berjanji akan pulang bu. Malin berjanji hidup kita akan lebih baik setelah ini.”

Aduhai apalah daya seorang ibu mendengar kesungguhan anaknya? 

Mande Rubayah, meski dengan isak tangis yang menyesak hingga dadanya, memeluk Malin dan mengangguk. “Baiklah, Nak. Pergilah! Pergilah kau ke negeri seberang sana. Jemputlah janji-janji kehidupan itu. Namun Nak, berjanjilah kau pada ibumu ini. Berjanjilah kau tidak akan lupa pada ibu, Nak! Berjanjilah kau akan pulang. Berjanjilah!”

Saban hari setelah itu, berangkatlah Malin bersama rombongan para saudagar ke negeri seberang. Kapal besar itu berlayar tenang menuju ujung lautan sana dan menghilang dari pandangan. Mande Rubayah memandang kepergian Malin dengan kapal besar itu dengan sedih. 

Ada rasa perih yang mendadak muncul di hatinya saat sekeping jiwanya pergi menjauh. 

Orang-orang di dermaga itu menatap iba, satu dua menenangkan Mande Rubayah, berbisik bilang saban hari Malin pasti pulang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun