Mohon tunggu...
Nurul Fauziah
Nurul Fauziah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai tulis-menulis

Alumni Ilmu Sejarah FIB UI. Mencintai Literasi dan Musik. Menggemari Film dan Anime. Menulis untuk Bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mande Rubayah: Penantian yang Sia-Sia

25 Agustus 2021   06:15 Diperbarui: 25 Agustus 2021   06:17 2047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Batu Malin Kundang di Pantai Air Manis, Padang. Source: harianhaluan.com

“Mas, siapa wanita ini?” tanya seorang wanita cantik yang berdiri bersisian dengan Malin Kundang. Istrinya. “Kenapa ia memelukmu?”

“Ibu merindukanmu, Nak!” sahut Mande Rubayah tanpa menghiraukan perkataan istri anaknya. Wanita tua itu melepas pelukannya, mendongak dan memandang wajah anaknya, kedua tangannya mengusap pipi Malin. “Ya Tuhan Nak! Kau berhasil! Kau jemput janji-janji itu, Nak! Ya Tuhan, terima kasih. Kau sehat, Nak? Bagaimana kabarmu di rantau sana?”

“Dia ibumu?” seru istri Malin setelah terdiam beberapa saat. Wanita cantik itu tampak kebingungan dan mencoba mencerna yang sedang terjadi. 

“Apa-apaan ini, Mas? Kau bilang kau yatim piatu! Siapa wanita lusuh ini?” Istri Malin berteriak histeris. Nada sinis dan merendahkan dari wanita cantik itu membuat semua orang terkejut.

Demi mendengar teriakan istrinya dan tatapan curiga dari para koleganya, Malin pun melepas pelukan Mande Rubayah dan mendorong wanita tua itu hingga tersungkur. 

Pemuda itu menatap Mande Rubayah tajam sembari mengangkat telunjuk padanya. Menghardiknya. “Kau siapa? Berani-beraninya tubuh kotormu memelukku! Kau mengotori pakaianku!” 

Semua orang di dermaga itu terperanjat. Beberapa orang kampung menjerit tertahan, satu dua mengelus dada dan membekap mulut. Para saudagar dan kolega Malin saling bersitatap bingung. Sementara istrinya bersidekap, menatap benci pada wanita lusuh yang berani memeluk suaminya.

Mande Rubayah yang tidak mengerti dengan perlakuan anaknya berusaha berdiri, lalu berjalan mendekat. “Malin, ini ibu Nak! Ini Ibu. Ibu sudah tua, Nak. Tetapi ini ibumu, Nak!”

“Aku tidak punya ibu seperti kau, wanita tua! Ibuku orang terpandang dan bangsawan sedangkan kau hanyalah wanita tua lusuh yang kotor dan menjijikkan!” Malin kembali berseru. 

Pemuda itu berbalik. Menatap istrinya, para kolega, lalu seluruh awak kapalnya. “Kita pergi dari sini! Tidak ada gunanya berlabuh di tempat orang yang mengaku-ngaku sebagai ibuku. Bisa-bisa nanti semua orang mengaku sebagai ayahku, saudaraku, keluargaku. Kita pergi!”

Maka di sore itu, saat sang surya mulai menyemburatkan jingga di tepian samudra, saat burung-burung camar bersahutan manja kembali ke sarangnya, dan saat angin malam mulai bertiup kencang mendorong layar kapal besar Malin yang semakin menjauh, para penduduk membopong Mande Rubayah ke rumah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun