"Siapa sih saya, nulis tentang ini?"
Itu adalah hal pertama yang saya pikirkan sebelum menulis artikel ini. Sebab saya berkali-kali bertanya pada diri saya sendiri apakah tulisan ini perlu saya unggah atau tidak. Apa manfaatnya? Daripada itu, saya siapa?Â
Akan tetapi, situasinya lucu sekali. Membuat saya sebagai kompasianer kemarin sore merasa gemas dan termotivasi melemaskan jari-jemari untuk mengetik artikel ini.Â
Bayangkan saja, di sore hari yang mendung dan galau di daerah saya, ada dua artikel adu argumen dari dua orang kompasianer yang terpajang di kolom terpopuler dan penilaian tertinggi. Sebagai seorang reader random sejati, tentu saja saya membacanya.Â
Lantas, saya terkekeh sendiri. "Woa Man.... Seriously? Sepelik itu kah?"
Sebenarnya normal dalam suatu forum atau platform apabila ada anggota yang saling bersilang pikir dan beradu argumen. Setiap orang memiliki latar belakang dan cara berpikir yang berbeda dan kita berada di negara yang masih memberi keleluasaan berpendapat dalam literasi. Sah-sah saja.Â
Namun yang membuat saya merasa lucu disini adalah tema argumennya. Seputar tulisan yang "bermanfaat versus cuan-mencuan," lagi. Semacam pembahasan yang saya pikir tidak kunjung usai dan memuaskan dahaga para kompasianer, sekaligus membuat lelah dan kesal para admin kompasiana. Saya sering membaca artikel adu argumen tentang berbagai hal dari para kompasianer senior, termasuk konten kritikan yang ditujukan pada kompasiana.Â
Lama-kelamaan saya jadi heran sendiri dengan para senior dan admin kompasiana. Jika kritikannya seputar regulasi kompasiana sih saya suka. Namun apabila para senior terus-terusan bicara dan membanding-bandingkan kompasiana yang dulu dengan yang sekarang, ya saya sebagai anak baru jengah juga.
I mean, sekarang sudah memasuki pertengahan tahun 2021 dan masih membicarakan ini? Wow sekali.Â
Jika dipikirkan lagi, pembicaraan seputar bermanfaat atau tidaknya suatu konten memang mengandung misteri dalam dunia literasi yang sulit diatasi. Saya tidak bermaksud membela siapapun. Namun sebagai seorang kompasianer baru yang tidak tahu-menahu dengan budaya dan atmosfer kompasiana yang lama, saya ikutan bingung juga.
Maksud saya, zaman sudah berubah. Ketertarikan orang-orang dan standarisasi masyarakat terhadap sebuah konten juga berubah.Â
Tentu saja, kompasiana sebagai wadah tulis-menulis suka tak suka mesti mengikuti interest dan penyesuaian yang ada. Perhitungan mesin pencari terhadap konten yang relevan dengan pangsa pasar jauh lebih akurat dari perkiraan akal kita.Â
Maksud saya, ini masalah bagaimana sebuah website dapat bekerja dan menghasilkan cuan secara digital, bukan? Kalau tidak, dari mana kompasiana memeroleh uang sebagai K-Reward pada kompasianer yang tugasnya hanya menulis tanpa membayar?Â
Menulis di kompasiana, pada dasarnya dilakukan secara sukarela, bukan? Ada aturan main apabila menginginkan apresiasi dan cuan. Sekiranya perdebatan ini adalah tentang yang setuju atau tidak setuju kompasiana memakai sistem upv atau pv, tentulah saya mendukungnya. Malah mungkin jadi wasitnya.Â
Saya mengerti apabila para kompasianer senior ingin mengembalikan wajah kompasiana yang lama. Jika saya menganalogikannya pada situasi saya sendiri, saya pun sebagai veteran K-Popers ingin mengembalikan atmosfer musik dari generasi lama kepada generasi baru. Jadi saya memahami perasaan para kompasianer senior.Â
Rasanya pasti ingin menjitak kepala para kompasianer "bayi" seperti yang saya ingin lakukan terhadap para K-Popers baru, karena membuat konten-konten yang dinilai tidak bermanfaat sama sekali.Â
Akan tetapi bukankah ada peribahasa, "Patah tumbuh hilang berganti, hilang satu tumbuh seribu?"
Roda zaman yang terus berubah akan melahirkan sudut pandang seni dan kreativitas yang baru. Mungkin bagi kita suatu konten terasa nonsense dan tidak berguna tetapi bagi yang lain tidak.Â
Di zaman dulu, orang-orang mungkin memiliki standarisasi tertentu dalam menulis, contohnya tulisan politik. Tetapi di zaman sekarang, konten random seperti "bagaimana menggiat hati mertua" atau "bagaimana menarik perhatian gebetan" bisa jadi sangat berguna mengingat tingkah laku masyarakat saat ini benar-benar mengandalkan kepiawaian dari mbah gugel.Â
Apakah ada netizen se-random itu? Ada.Â
Saya memiliki teman yang rela searching berjam-jam di internet hanya untuk mencari artikel tentang tipe idaman dan seluk beluk hidup para anggota BTS. Maksud saya, apa manfaatnya mencari tipe idaman mereka? Apa dia bermaksud jadi pacar atau istri anggota BTS dan semacamnya? Masalahnya, hal tersebut merupakan kepuasan pribadi teman saya dan dia menganggap artikel-artikel yang mengulas BTS sangat berguna. Saya bisa apa?Â
Dan sebagai platform tulis-menulis, kompasiana akan berusaha menyesuaikan diri dengan tren semacam itu. Kompasiana akan berusaha memaksimalkan algoritma mesin pencari dengan tema-tema yang dinilai akan dicari dan diklik oleh netizen +62 yang random ini. Semakin tinggi trafik dan engagement , maka cuan akan terus mengalir.
Di sinilah standar konten yang bermanfaat tersebut bias dan kabur. Seakan terjebak di lingkaran setan karena perhitungan mesin pencari tergantung dengan interest umum para pembaca satu Indonesia. Mana ada pemilik usaha yang ingin rugi?
Artinya apa, akan selalu ada regenerasi konten dan penulis-penulis baru. Suka atau tidak. Bahkan tidak akan menutup kemungkinan bahwa di masa depan para kompasianer "bayi" seperti saya ini justru akan menghadapi dilema yang sama dengan para kompasianer senior, seputar standarisasi seperti "Dulu, kompasiana itu begini..."
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Menurut saya, beradaptasi. Mencoba untuk mengikuti perubahan zaman literasi bukanlah hal yang buruk.
Saya hanyalah kompasianer bayi yang ketika memasuki medan perang di sini, memiliki pikiran bahwa saya hanyalah bagaikan butiran debu. Bukan siapa-siapa. Mendapati label pilihan, highlight, apalagi headline rasanya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Sulit dan tidak bisa ditebak.
Lantas apa yang bisa saya lakukan? Ya terima, tabah, dan beradaptasi saja. Jika suka, oke. Jika tidak, ya sudah. Andaikata kompasiana masih menarik di mata saya, ya saya tetap memanfaatkan platform ini. Jika tidak, ya saya tinggal cari yang lebih ganteng baik daripada disini. Buat apa merepotkan diri sendiri?
Artikel saya pun bisa jadi dianggap angin lalu begitu saja. Akan tetapi, layaknya para senior yang juga memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapat seperti apapun di platform ini, berarti saya juga boleh melakukannya, kan?
Jadi sudahilah para senior. Jangan membahas atau menyentil seputar bermanfaat atau tidak suatu konten lagi. Tulislah hal apapun yang ingin ditulis. Ayo bermain di koridor yang damai serta menghargai satu sama lain.
Salam literasi. Dari saya seorang kompasianer bayi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI