Sementara itu Jimly yang saat itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ketika dimintai tanggapan mengenai perizinan Global TV, tidak mau berkomentar. Ia tidak mau merespons tentang berkembangnya pemberitaan kasus tersebut . "Jangan tanya saya. Tanya sama yang punya," ujar Jimly kepada wartawan saat dicegat di Kantor MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (28/2/2006) lalu.
Saat itu, Jimly ditanya wartawan mengenai beredarnya surat Muladi terkait izin Global TV dan mengenai programnya yang melenceng. Namun, jawaban Jimly hanya singkat seperti itu, sama saat Jimly ditanya mengenai kepemilikan sahamnya di Global TV beberapa hari lalu.
Ketika ditanya soal kepemilikan saham saat itu, Jimly hanya meminta agar kasus itu tidak menjadi isu. "Sudahlah itu, jangan dijadikan isu," elak Jimly.
Jimly disebut-sebut Muladi sebagai pihak yang mengajukan permohonan izin Global TV kepada pemerintah pada tahun 1999 lalu bersama dengan Nasir Tamara dan Zuhal.
Atas proposal itu, Muladi menulis surat kepada empat menteri, Menko Polkam, Menristek, Menhub, dan Menteri Penerangan yang merekomendasikan pemberian izin itu. Presiden BJ Habibie juga telah mengabulkan permintaan itu. Namun, setelah mendapatkan izin itu, Jimly dan Nasir Tamara cs tidak juga merealisasikan niatnya itu. Mereka tidak mendapatkan investor untuk membuat televisi idamannya. Akhirnya, mereka jatuh ke pelukan Bimantara. Namun oleh Bimantara, program Global TV diubah, dari syiar Islam menjadi TV untuk kalangan ABG (anak baru gede). http://www.suaramerdeka.com/harian/0603/02/nas20.htm
Kasus perpindahan kepemilikan saham PT Global Informasi Bermutu (GIB) atas Global TV dari pemegang saham lama ke PT Bimantara Tbk dinilai sebagai penyiasatan hukum. Transaksi ini, kata anggota KPI Bimo Nugroho Sekundatmo, Rabu (1/3/2006), harus diselidiki. Apakah saat Bimantara membeli 70 saham GIB waktu itu ada nilai asetnya.
"Ini penyiasatan hukum. Ini namanya membeli tali dapat kerbau, karena sebenarnya yang diincar kerbau. Tapi kerbau tidak mungkin dipindahtangankan, maka yang dibeli tali. Dicari bagaimana caranya agar kerbau bisa dibawa," kata dia.
Yang jadi masalah, lanjut Bimo, apakah saham yang diperjualbelikan itu mempunyai nilai dari asetnya. Perlu ditelusuri ketika Bimantara membeli saham GIB, nilai aset terbesarnya apa.
"Kalau nilai aset terbesar adalah frekuensi, sementara aset lain tidak ada nilainya, maka UU Telekomunikasi harus ditegakkan. Ini namanya telah terjadi penyelundupan hukum yang mengakibatkan pindah tangannya frekuensi," kata Bimo. http://www.suaramerdeka.com/harian/0603/02/nas20.htm
Sejak 1999 disebut-sebut Jimly memiliki saham sebanya 750 lembar atau senilai Rp 375 juta di perusahaan tersebut. Namun saham itu kabarnya tidak dimiliki Jimly secara pribadi namun atas nama Islamic Forum for Science Technology Human Resource Development.
Hingga saat itu saham itu belum dijual dan selanjutnya pada 2003, Jimly telah melaporkan harta kekayaannya kepada KPK sebesar Rp 1,395 miliar. Dia juga melaporkan tidak memiliki surat berharga. Oleh sebab itu KPK berencana melakukan klarifikasi soal saham itu kepada Jimly. Kasus saham Jimly di Global TV ini mengemuka ketika sejumlah anggota DPR membentuk kaukus menolak pemberlakukan PP tentang penyiaran yang dianggap bertentangan dengan UU Penyiaran. Jimly dianggap tidak akan menyuarakan keadilan rakyat jika ada pihak yang meminta judicial review PP Penyiaran karena ada kepentingan pribadi. http://news.detik.com/berita/545142/dituding-miliki-saham-global-tv-jimly-ogah-komentar