Kita bisa saksikan fenomena ini dalam kurun waktu dua dasawarsa, dimana Gereja berlomba-lomba memfokuskan arah pelayanan mereka kepada sarana dan prasarana demi kenyamanan jemaatnya, misalkan alat musik yang terbaik, sistem suara yang paling bagus, lampu panggung yang mewah, dan sebagainya. Ironisnya Gereja dengan kapital menengah dan kecil pun mengikuti gelombang ini dan menganggap hal tersebut sebagai hal primer dalam pelayanan Gereja Tuhan.Â
Sikap "melacurkan" diri kepada hal-hal yang bukan essensi dilakukan oleh Gereja, sehingga Gereja terjebak dalam sikap "membisniskan" pelayanan di dalam dunia rohani.
Fenomena yang hampir sama dengan Hip Hop, demikian juga Discipleship. Sesungguhnya Discipleship seperti Hip Hop, terkesan "mati" atau "punah" namun sesungguhnya tidak. Discipleship sebagai "bisnis" memang ditinggalkan oleh Gereja Tuhan.
Discipleship "mati" atau "punah" bagi Gereja yang kompromi dengan "melacurkan" dirinya kepada sikap mem-"bisnis"-kan pelayanan. Itulah mengapa penulis menulis tema ini, karena kerinduan penulis adalah membangunkan Gereja untuk segera sadar dan kembali kepada koor pelayanan kita yang utama yaitu Discipleship.Â
Discipleship adalah CULTURE di dalam Gereja dan merupakan MOVEMENT . Sebagai CULTURE, berarti DISCIPLESHIP dapat dilakukan oleh Gereja manapun bukan hanya milik Gereja dengan Kapital Besar.
Sebagai MOVEMENT berarti DISCIPLESHIP dapat dikerjakan oleh siapa pun, bukan hanya aktivis Gereja atau pelayan Gereja atau mereka yang sekolah Alkitab. Mari kita kembalikan essensi dari DISCIPLESHIP bukan sebagai Bisnis dan bukan juga Industrialisasi, melainkan CULTURE dan MOVEMENT Gereja Tuhan.
Jika ini menjadi koor pelayanan kita, maka Gereja Tuhan tidak akan kehilangan GENERASI sebab kita bergerak berdasarkan detak pelayanan Tuhan Yesus sendiri.
Salam Pergerakan.
(Saut Hasidungan Purba, seseorang yang rindu munculnya gelombang pemuridan di akhir zaman).
email sauthasidunganpurba@gmail.com dan IG @saut_purba12
ministry: (WA: 081211866806)