Mohon tunggu...
Saufannur
Saufannur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Sumatera Utara

Sejarah dan kebudayaan adalah kecintaan saya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Etnis Tamil di Kota Medan: Sejarah dan Eksistensinya

8 Juni 2022   23:47 Diperbarui: 10 Juni 2022   06:56 2646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: 10 Gambar Jalan Kampung Keling Madras di Medan dan Sejarah Kehidupan serta Kuliner Masyarakat Little India | JejakPiknik.Com 

Penulis: Saufannur-Mahasiswa S-1 Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Kota Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara menjadi kota yang multietnik dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Etnik di Sumatera Utara termasuk juga etnik di Kota Medan dibagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama merupakan etnik asli Sumatera Utara yang terdiri dari Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, Nias, dan Melayu. Kategori Kedua adalah kelompok-kelompok etnik Nusantara, yaitu Aceh, Simeulue, Alas, Gayo, Tamiang, Aneuk Jamee, Minangkabau, Banjar, Sunda, Jawa, Bugis, Makasar, dan lain-lain. Kategori Ketiga adalah etnik-etnik pendatang dari berbagai bangsa seperti Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, Tamil, Hindustani, Pashtun, Arab, berbagai etnik dari Eropa, dan lain-lain.

Kedatangan etnik pendatang dari berbagai bangsa semakin memperkaya etnik yang ada di Kota Medan. Kedatangan etnik-etnik tersebut tidak lepas dari pengaruh praktik kolonialisme di Sumatera Utara, khususnya Medan. Multietnik yang berkembang di Kota Medan hingga saat ini diawali ketika dimulainya penanaman tembakau di Deli Pada tanggal 7 Juli 1863.

Sebagai usaha ntuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan tembakau, maka tenaga kerja didatangkan dari berbagai wilayah dan etnik. Salah satu dari etnik tersebut adalah etnik Tamil yang merupakan etnik Asia bagian selatan. Sebagian dari etnik Tamil yang didatangkan oleh pihak kolonial Balanda memilih menetap di Kota Medan dan sekitarnya. Sampai saat ini, etnik Tamil masih dapat dijumpai di Kota Medan. Kebudayaan yang menjadi identitas etnik Tamil juga dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari dari etnik Tamil. Bahkan terdapat sebuah perkampungan yang khusus dihuni oleh etnik Tamil, yang dikenal dengan Kampung Madras. Kampung Madras menjadi bukti sejarah dan eksistensi etnik Tamil di Medan.

Sejarah Kedatangan Etnik Tamil ke Medan

Kedatangan etnik Tamil ke Medan dilatarbelakangi oleh keberhasilan pedagang Belanda J. Nienhuys, Van der Falk, dan Elliot memperoleh hak konsesi tanah dari Sultan Deli, Sultan Mahmud Perkasa Alam untuk menanam tembakau kualitas tinggi serta berbau harum sebagai bahan pembalut cerutu. Konsesi tanah yang didapatkan oleh pengusaha Belanda tidak lepas dari jasa seorang keturan Arab yang berasal dari Surabaya, yaitu Said bin Abdullah bin Umar Bilfagih yang juga merupakan kerabat Sultan Deli. Said bin Abdullah menceritakan kepada mitra bisnisnya tentang perjalanannya ke Tanah Deli dimana Said bin Abdullah menemukan tembakau berkualitas tinggi yang ditanam oleh masyarakat setempat. Said bin Abdullah kemudian mengajak mitra dagangnya untuk melakukan survei penenaman tembakau di Sumatera Timur. Rombongan tersebut terdiri dari pengusaha perkebunan tembakau dari Jawa Timur. Salah satu di antaranya dalah Jacobus Nienhuys.

Jacobus Nienhuys menemui keluarga Sultan Deli untuk meminta izin mengembangkan perkebunan tembakau di Deli. Nienhuys juga bermaksud untuk memborong tembakau yang dihasilkan oleh masyarakat Deli serta melakukan percobaan penenaman tembakau seluas 75 hektare. Melalui pendekatan yang dilakukan Said bin Abdullah kepada Sultan Deli, Nienhuys berhasil mendapatkan konsesi untuk menggarap tanah seluas 4.000 bau (1 bau = 0,67 hektare) di tepian Sungai Deli dengan masa konsesi 20 tahun.

Pada tahun 1866, perluasan perkebunan tembakau oleh para pebisnis Belanda menyebabkan kebutuhan akan tenaga kerja atau kuli semakin meningkat. Tenaga kerja didatangkan dari berbagai bangsa termasuk etnik Tamil.

Ada beberapa pendapat mengenai proses perpindahan etnik Tamil ke Tanah Deli. Pendapat pertama menyebutkan bahwa para kuli Keling (Kling) atau Chulias datang ke Tanah Deli melalui Penang serta Singapura untuk mendaftar sebagai kuli kontrak. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang-orang Tamil tersebut datang dari dataran India yang dijanjikan bekerja di Malaya (Malaysia), namun sebagai gantinya, orang-orang tersebut dibawa untuk bekerja di Sumatera. Orang-orang Tamil tersebut didatangkan ke Singapura dan Tanah Deli dengan menggunakan kapal yang berlayar dari Madras dan Kalkuta.

Mengenai kedua pendapat di atas, ada sumber lain yang menjelaskan tentang proses kedatangan tenaga kerja dari bangsa Tamil India. Disebutkan bahwa pekerja dari India mulai dipekerjakan di perkebunan Malaya sejak 1833. Perekrutan para pekerja tersebut dilakukan oleh pemerintah Inggris yang menduduki Malaysia pada masa itu. Data tersebut menunjukkan bahwa perkebunan Malaya sudah jauh lebih awal memepekerjakan tenaga kerja dari bangsa Tamil India daripada perkebunan di Tanah Deli yang baru bergerak pada tahun 1866. Hal tersebut memungkinkan kuli Tamil didatangkan dari Malaysia dan sekitarnya ke Tanah Deli.

Kedatangan orang-orang Tamil ke Tanah Deli dimulai pada 1873 oleh Nienhuys. Nienhuys mendatangkan 25 orang Tamil dari Penang Malaysia. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendapat mengenai asal pekerja Tamil di Tanah Deli yang dibawa dari Malaysia benar adanya. Namun, pada masa itu Malaysia masih diduduki oleh Inggris, sehingga tidak mungkin para pekerja datang langsung ke Tanah Deli untuk melamar sebagai kuli kontrak, pasti terdapat campur tangan Inggris sebagai perantara atau semacamnya.

Campur tangan Inggris dalam hal kedatangan pekerja Tamil ke Sumatera dapat dilihat ketika pengusaha perkebunan di Tanah Deli mengajukan petisi kepada pemerintah Inggris pada tahun 1886. Petisi tersebut terkait permintaan pelaksanaan negosiasi terbuka antara pemerintah Inggris dan Belanda. Pada awalnya pihak Inggris menolak untuk mengizinkan pekerja Tamil pergi ke Tanah Deli. Hal itu dikarenakan adanya persaingan dengan perkebunan yang dikelola oleh Belanda di pantai Barat Malaya. Akan tetapi, pihak Inggris mengajukan syarat, yaitu dibolehkannya satu pejabat Inggris datang ke Tanah Deli secara bergilir  untuk memantau para pekerja Tamil yang ada di sana. Pihak Belanda awalnya menolak syarat itu serta membatalkan negosiasi. Namun demikian, para penguasa/pemilik perkebunan tidak keberatan dengan syarat yang diajukan oleh Inggris serta kemudian meminta agar pemerintah Belanda mengajukan persetujuan tersebut kepada sekretaris jendral di Den Haag, namun pada akhirnya ditolak.

Berdasarkan catatan Luckman Sinar, pada tahun 1874 dibuka 22 perkebunan yang menggunakan jasa kuli dari berbagai bangsa termasuk Tamil. Jumlah orang tamil yang terlibat pada saat itu adalah 459 orang. Jumlah etnis Tamil di Tanah Deli terus meningkat. Pada tahun 1890 etnis Tamil di Tanah Deli berjumlah 2.460 jiwa dan tahun 1900 berjumlah 3.270 jiwa. Sebagai tambahan, pada tahun 1875 pekerja Tamil yang ada di Deli berjumlah 1000 orang.

Pada masa Kolonial Belanda, pekerja dari Tamil biasanya dipekerjakan sebagai tukang angkat air serta membetulkan parit dan jalan.Komunitas Tamil yang datang ke Tanah Deli tidak hanya bekerja di sektor kuli perkebunan, tetapi juga di beberapa sektor lainnya. Terdapat masyarakat beretnis Chettiar dan Chetti yang bekerja sebagai pembunga uang, pedagang, dan pengusaha kecil. lalu ada orang-orang Vellalar dan Mudaliar yang merupakan kasta petani yang terlibat dalam aktivitas usaha dagang. Kemudian ada orang-orang Sikh, Uttar Pradesh, dan lain-lain yang bergerak dalam bidang pembunga uang, peternak sapi perah, tukang emas, pedagang, dan sebagainya. Pada tahun 1879, saat Belanda membuka cabang De Javasche Bank di Medan, orang-orang Sikh juga dipekerjakan sebagai penjaga.

Orang-orang Tamil India juga datang untuk berdagang. Orang-orang India Selatan (Tamil Muslim), orang Bombay, dan orang Punjabi datang untuk berdagang di Medan. Orang-orang Tamil yang datang secara mandiri ke Medan umumnya memang bekerja sebagai pedagang. Biasanya, orang-orang Tamil tersebut menjadi pedagang tekstil atau rempah-rempah di pusat pasar Kota Medan. Selain itu, ada juga yang bekerja sebagai supir angkutan barang, bekerja di toko-toko Cina, dan menyewakan alat-alat pesta. Beberapa di antaranya juga menjual makanan dan menjadi penjual kue keliling. Orang-orang Tamil yang bekerja sebagai pedagang tekstil serta penjual makanan pada umumnya adalah mereka yang beragama Islam yang datang dari India Selatan.

Kampung Madras

Atas jasa yang dilakukan orang-orang Tamil dan Sikh dalam mengelola perkebunan serta pekerjaan lainnya, maka pemerintah kolonial Belanda memberi sebidang tanah untuk dijadikan tempat tinggal masyarakat Tamil dan Sikh. Sebidang tanah tersebut merupakan lahan liar yang tidak berpenghuni yang bernama Patisah. Berkumpulnya orang-orang Tamil dan Sikh membentuk perkampungan yang dikenal dengan Kampung Madras. Dahulunya Kampung Madras dikenal dengan Kampung Keling  yang mempunyai arti kampung hitam. Akan tetapi, pada tahun 2008 nama kampung tersebut kemudian diganti menjadi Kampung Madras karena penyebutan keling terkesan negatif. Pergantian nama dari Kampung Keling menjadi Kampung Madras juga bertujuan untuk mengingat asal penghuni kampung yang berasal dari Madras, India. Kampung Madras sendiri terletak di Jalan Kyai Haji Zainul Arifin. Yang dahulunya bernama Jalan Calcutta.

Di Kampung Madras terdapat Kuil Shri Mariaman. Menurut perkiraan, Kampung Madras sudah ada tahun 1884. Perkiraan tersebut didasari karena pada tahun yang sama Kuil Shri Mariaman sebagai tempat ibadah umat Hindu dibangun. Selain Kuil Shri Mariaman, di Kampung Madras juga terdapat Kuil Sree Soepramaniem yang dibangun pada tahun 1892 serta Kuil Shri Kaliamman yang dibangun pada tahun 1930.

Selain kuil, terdapat juga masjid yang dibangun pada 1887 di Kampung Madras. Masjid tersebut merupakan Masjid Jamik yang dibangun sebagai tempat ibadah orang-orang Tamil Muslim yang berasal dari India Selatan. Selain Masjid Jamik, ada Masjid Ghaudiyah yang dibangun pada tahun 1918.

Referensi:

Ghani, Mohammad Abdul. 2016. Jejak Planters di Tanah Deli: Dinamika Perkebunan Sumatera Timur 1863-1996. Bogor: IPB Press.

Kurniawan, Adam. 2020. Sejarah Perkembangan Kampung Madras di Medan. BORDER Jurnal Arsitektur. 2(2): 97-108.

Lubis, Zulkifli B. 2005. Kajian Awal Tentang Komunitas Tamil dan Punjabi di Medan: Adaptasi dan Jaringan Sosial. Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI. 1(3): 136-146.

Maler, S. Wani. 2018.  Jejak Sosial dan Ekonomi Bangsa Tamil India di Sumatera Utara". Jurnal Aghinya STIESNU Bengkulu. 1(1): 1-13.

O.K Zulfi. 2019. "Memfungsikan Kebudayaan Multietnik Kota Medan dalam Konteks Membangun Masyarakat Multikultural". Makalah disajikan dalam Rangka Ulang Tahun ke-54 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara,  Medan, 23 September.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun