Penulis: Saufannur-Mahasiswa S-1 Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Kota Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara menjadi kota yang multietnik dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Etnik di Sumatera Utara termasuk juga etnik di Kota Medan dibagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama merupakan etnik asli Sumatera Utara yang terdiri dari Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, Nias, dan Melayu. Kategori Kedua adalah kelompok-kelompok etnik Nusantara, yaitu Aceh, Simeulue, Alas, Gayo, Tamiang, Aneuk Jamee, Minangkabau, Banjar, Sunda, Jawa, Bugis, Makasar, dan lain-lain. Kategori Ketiga adalah etnik-etnik pendatang dari berbagai bangsa seperti Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, Tamil, Hindustani, Pashtun, Arab, berbagai etnik dari Eropa, dan lain-lain.
Kedatangan etnik pendatang dari berbagai bangsa semakin memperkaya etnik yang ada di Kota Medan. Kedatangan etnik-etnik tersebut tidak lepas dari pengaruh praktik kolonialisme di Sumatera Utara, khususnya Medan. Multietnik yang berkembang di Kota Medan hingga saat ini diawali ketika dimulainya penanaman tembakau di Deli Pada tanggal 7 Juli 1863.
Sebagai usaha ntuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan tembakau, maka tenaga kerja didatangkan dari berbagai wilayah dan etnik. Salah satu dari etnik tersebut adalah etnik Tamil yang merupakan etnik Asia bagian selatan. Sebagian dari etnik Tamil yang didatangkan oleh pihak kolonial Balanda memilih menetap di Kota Medan dan sekitarnya. Sampai saat ini, etnik Tamil masih dapat dijumpai di Kota Medan. Kebudayaan yang menjadi identitas etnik Tamil juga dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari dari etnik Tamil. Bahkan terdapat sebuah perkampungan yang khusus dihuni oleh etnik Tamil, yang dikenal dengan Kampung Madras. Kampung Madras menjadi bukti sejarah dan eksistensi etnik Tamil di Medan.
Sejarah Kedatangan Etnik Tamil ke Medan
Kedatangan etnik Tamil ke Medan dilatarbelakangi oleh keberhasilan pedagang Belanda J. Nienhuys, Van der Falk, dan Elliot memperoleh hak konsesi tanah dari Sultan Deli, Sultan Mahmud Perkasa Alam untuk menanam tembakau kualitas tinggi serta berbau harum sebagai bahan pembalut cerutu. Konsesi tanah yang didapatkan oleh pengusaha Belanda tidak lepas dari jasa seorang keturan Arab yang berasal dari Surabaya, yaitu Said bin Abdullah bin Umar Bilfagih yang juga merupakan kerabat Sultan Deli. Said bin Abdullah menceritakan kepada mitra bisnisnya tentang perjalanannya ke Tanah Deli dimana Said bin Abdullah menemukan tembakau berkualitas tinggi yang ditanam oleh masyarakat setempat. Said bin Abdullah kemudian mengajak mitra dagangnya untuk melakukan survei penenaman tembakau di Sumatera Timur. Rombongan tersebut terdiri dari pengusaha perkebunan tembakau dari Jawa Timur. Salah satu di antaranya dalah Jacobus Nienhuys.
Jacobus Nienhuys menemui keluarga Sultan Deli untuk meminta izin mengembangkan perkebunan tembakau di Deli. Nienhuys juga bermaksud untuk memborong tembakau yang dihasilkan oleh masyarakat Deli serta melakukan percobaan penenaman tembakau seluas 75 hektare. Melalui pendekatan yang dilakukan Said bin Abdullah kepada Sultan Deli, Nienhuys berhasil mendapatkan konsesi untuk menggarap tanah seluas 4.000 bau (1 bau = 0,67 hektare) di tepian Sungai Deli dengan masa konsesi 20 tahun.
Pada tahun 1866, perluasan perkebunan tembakau oleh para pebisnis Belanda menyebabkan kebutuhan akan tenaga kerja atau kuli semakin meningkat. Tenaga kerja didatangkan dari berbagai bangsa termasuk etnik Tamil.
Ada beberapa pendapat mengenai proses perpindahan etnik Tamil ke Tanah Deli. Pendapat pertama menyebutkan bahwa para kuli Keling (Kling) atau Chulias datang ke Tanah Deli melalui Penang serta Singapura untuk mendaftar sebagai kuli kontrak. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang-orang Tamil tersebut datang dari dataran India yang dijanjikan bekerja di Malaya (Malaysia), namun sebagai gantinya, orang-orang tersebut dibawa untuk bekerja di Sumatera. Orang-orang Tamil tersebut didatangkan ke Singapura dan Tanah Deli dengan menggunakan kapal yang berlayar dari Madras dan Kalkuta.
Mengenai kedua pendapat di atas, ada sumber lain yang menjelaskan tentang proses kedatangan tenaga kerja dari bangsa Tamil India. Disebutkan bahwa pekerja dari India mulai dipekerjakan di perkebunan Malaya sejak 1833. Perekrutan para pekerja tersebut dilakukan oleh pemerintah Inggris yang menduduki Malaysia pada masa itu. Data tersebut menunjukkan bahwa perkebunan Malaya sudah jauh lebih awal memepekerjakan tenaga kerja dari bangsa Tamil India daripada perkebunan di Tanah Deli yang baru bergerak pada tahun 1866. Hal tersebut memungkinkan kuli Tamil didatangkan dari Malaysia dan sekitarnya ke Tanah Deli.