oleh: La Ode Muhamad Sauf (Guru SMAN 7 Kendari)
Suatu malam yang sepi, tak ada lagi gemuruh aktivitas manusia tiba-tiba aku mengenang mereka. Mereka yang dulu bersamaku terjun dalam dunia politik praktis memperjuangkan pilihan untuk sebuah sukesei pemilihan gubernur. Aku dan mereka ikut bergabung dalam satu tim keluarga, yakni Parraikate Team. Tim berjumlah lima orang dan di dalamnya ada seorang perempuan hebat. Hebat karena dari tampilannya terlihat dia adalah seorang yang ulet, gigih, dan sabar, bahkan dari sorot matanya terlihat santun, rendah hati, dan peduli pada siapa pun.Â
Namanya Icca. Ia berasal dari Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ia bekerja sebagai salah satu staf Dinas Kesehatan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Pertama kali aku mengenalnya sempat berdecak kagum. Icca mengenakan pakaian sederhana, namun ia memiliki paras yang cantik. Alisnya tebal dan tampak berkumis tipis. "Wah ini kembaran Iis Dahlia karena kumisnya mirip dengan salah seorang dewan juri Dangdut Academy" gumamku dalam hati.
Kekagumanku pada Icca ternyata juga dirasakan oleh Pian, teman yang duduk di sampingku. Saat itu, aku bersama anggota Tim Paraikatte ikut dalam rombongan sosialisasi calon gubernur di Kabupaten Kolaka, tepatnya di Kelurahan Wolo. Mobil yang kami kendarai memuat empat orang, yakni aku, Pian, Mardan, dan Icca. Sepanjang perjalanan menuju Wolo terjadi senda gurau dan canda tawa yang menghangatkan suasana hingga perjalanan selama kurang lebih 4 jam tak terasa menjenuhkan.
Sepanjang perjalanan itu, tak sengaja aku mengalihkan pandangan pada Icca yang duduk di samping sopir. Aku manfaatkan kesempatan itu untuk bertanya pada Icca, sekadar pengen  tahu saja, seperti apa responsnya.
"Maaf Icca, kita ke Wolo ini nginap di rumah siapa?" tanyaku.
"Tenangmma Ka... kita nginap di rumah keluargaku" keluar dialek Kajjangnya.
Teman-temanku ikut senang mendengar jawaban Icca.
 Icca memang tidak banyak berkata-kata, ia hanya duduk diam dan sekali-sekali tersenyum mendengar cengkrama kami dalam mobil. Pian yang saat itu duduk di sampingku tiba-tiba menyela sambil menyebut namaku dan memintaku untuk  bercerita agar suasana cair dan hilang rasa kantuk.
"Rif ...." demikian Pian memanggil namaku.
"Ya, ada apa Pian?" tanyaku.
"Ini kita sudah tak ada suara, ada gambar tapi tak ada suara. Coba kase keluar itu ceritamu dari Muna itu, biar kita terhibur." Pinta Pian kepadaku.
Permintaan Pian didengar oleh Mardan dan Icca. Serentak keduanya mengiyakan permintaan Pian. "Benar itu....ayo Rif ceritaki dulu". Aku terpaksa mengeluarkan jurus pamungkasku dengan mengutip cerita asal Muna ala-ala cerita Abunawas. Namun, belum tuntas aku bercerita mereka sudah tertawa. Rupanya Icca sangat menikmati ceritaku, hingga tak sadar dia menyindirku: "Dassar memang orang Raha" banyak sekali ceritanya. Â "Hahaa....." Icca tertawa sambil menutup wajah dengan telapak tangannya.
Saat itu aku ceritakan pada mereka tentang kebiasaan sebagian orang kampung asal Muna.
"Ada satu kebiasaan orang tua-tua tempo dulu di Muna, Â mungkin juga terjadi di beberapa daerah di tanah air, yakni memasuki bulan baik (karomah) Â maulid, sa'ban, ramadhan, atau ritual lainnya selalu menyediakan suguhan menu yang lezat, yang dikenal dengan baca-baca atau haroa. Tuan rumah biasanya mengundang imam atau khatib (hatibi)Â untuk memimpin doa. Namun, di salah satu rumah yang dikunjungi Pak Imam, terjadi kejadian aneh. Saat Pak Imam membaca doa tiba-tiba padam lampu. Akhirnya, Pak Imam mempercepat doanya. Setelah bersalaman dengan tuan rumah dan segenap hadirin, Pak Imam menyasar dulang yang tersedia di depannya. Dulang itu berisi menu di antaranya sayur terong bulat yang dimasak utuh, waji, cucur, pisang goreng, nasi tumpeng, dan sebagainya. Menu itu tersedia dalam keadaan panas. Begitu Pak Imam memasukan tanggannya ke dalam dulang, tangannya langsung pada sayur terong panas. Terong yang menurutnya adalah telur ayam langsung ditelan oleh Pak Imam. Bersamaan dengan itu tiba-tiba lampu menyala dan terlihat Pak Imam mengeluarkan air mata. Tuan rumah bertanya...
"Kenapa menangis Pa," tanya Tuan Rumah
"Oh..iya. Saya menangis karena tiba-tiba teringat dengan istri saya yang meninggal beberapa tahun lalu" jawab pak Imam. Â Padahal sesungguhnya Pak Imam mengeluarkan air mata karena tak tahan dengan panasnya terong yang ditelan. Di saat itulah teman-temanku tertawa dan suasana dalam mobil kembali cair. Tidak ada lagi yang mengantuk. Tadinya ibarat TV, ada gambar tapi tak ada suara, berubah menjadi TV yang lagi live menyiarkan perjalanan kami.
Di rumah keluarga Icca, kami berempat menginap. Alhasil, usaha kami berbuah manis. Â Calon gubernur yang kami dukung menang. Kami senang dan bersyukur kepada-Nya.
Seiring dengan perjalanan waktu, kami berempat mulai sibuk dengan aktivitas masng-masing. Namun, aku dan Icca terus menjalin komunikasi hingga Pian yang mendengar keakraban kami merasa cemburu. Cemburu karena kenapa hanya aku dan Icca yang selalu berkomunikasi, sedangkan dia semakin jauh dan jarang berkomunikasi lagi.
"Rif..., kenapa Pak Pian begitu. Dia sudah jarang kumpul-kumpul dengan kita. Ada apa, ya?" tanya Mardan kepadaku.
"Ya, mungkin dia lagi banyak urusan dan sibuk dengan kerjanya sendiri," jawabku.
Cek dan ricek ternyata, Pian memang salah tanggap dengan pertemanan aku dan Icca. Di tempat ngopi aku bertemu dengan  Aco, teman Pak Pian. Dia menyampaikan ke aku bahwa dia menggangap aku dan Icca telah menjalin hubungan  spesial. Makanya Pian jarang berkomunikasi lagi dengan aku. Tentu, aku menampik kabar bohong itu. Aku menyampaikan kepada Aco, teman pak Pian bahwa itu hoax.
Kabar bohong itu ternyata sampai pula di telinga Icca. Mendengar itu, mencak-mencak Icca marah dan menelopon aku.
"Assalamualaikum ...Pak. Â Maaf Pak, ini ada kabar tentang pertemanan kita selama ini, ada yang mulai merasa tidak nyaman. Bisa-bisanya itu, ada orang yang begitu di. Sampaikan sama istrita Pa, na. Jangan kasian... tidak adaji kasian niat untuk ganggu rumah tanggata. Kita tau saya, 'kan." Demikian Icca meneleponku.
Mulai saat itu, aku dan Icca berkomitmen untuk membuktikan bahwa di antara aku dan dia tidak ada hubungan spesial sebagaimana yang dipikirkan oleh Pian, dan mungkin pula orang-orang di sekitar kami.
Untuk membuktikan itu, aku mengundang Icca berkunjung ke rumahku.
"Icca, boleh ntar sore  pulang kantor ke rumahku?" pintaku pada Icca.
"Ada acara, ya Rif?" jawab Icca.
"Ya, ada....lah, tapi di rumahpi kamu tahu"
Icca tampak ragu dan was-was. Ada apa gerangan, tiba-tiba aku mengundangnya ke rumah. Karena dia tahu, di rumah ada istri dan kedua anakku. "Jangan-jangan Pak Sarif ingin melaporkan kedekatanku dengan dia selama ini.. "Matti ma," gumam Icca dalam hati.
Pada sore hari itu, Icca bersama teman sekantormya memenuhi undangannku. Ia datang mengendarai Sigra yang belum lama dibelinya. Setelah memarkir mobilnya, ia langsung bertemu dengan istri dan kedua anakku di ruang tengah.
Aku keluar dari kamar dan menyambut Icca dan temannya. Aku bersalaman dengan keduanya diikuti oleh anak dan istriku. Sejurus kemudian, aku memulai pembicaraan.
"Maaf Icca, sengaja aku undang ke rumahku, di depan istri dan kedua anakku. Aku ingin istri dan anakku tahu bagaimana pertemanan kita selama ini. Jangan sampai ada info atau kabar-kabar tidak enak yang Icca dengar sehingga merusak silaturrahim kita yang sudah terjalin selama ini. Semoga silaturrahim ini tidak berhenti setelah perjuangan kita berakhir. ..."
Aku kemudian menyapa istriku dan mengenalkan Icca kepadanya, meskipun jauh sebelumnya keduanya sudah saling mengenal.
"Say...ini Icca. Teman seperjuangan di Tim Parraikatte. Sengaja aku  ke rumah kita untuk silaturrahim. Jangan sampai kita mendengar isu atau ada orang yang melhat kami berdua jalan bersama, lalu kita salah menilai. Gimana Say?"
Dengan tersenyum istriku menjawab, "Ya, Say... Aku juga sudah tahu." Ternyata istriku orang yang sangat paham dan mengerti dengan perjalanan hidupku selama ini. Tak sedikit pun terbersit dalam hatinya rasa curiga ataupun cemburu atas pertemananku dengan Icca.
"Icca...! demikian sapa istriku.
"Iye Bu," jawab Icca.
"Aku sudah tahu sejak awal perjuangan kalian hingga saat ini. Bagiku, Icca  sudah kuanggap saudara dan keluarga sendiri. Jangan peduli dengan kata orang. Persaudaraan itu lebih penting bagiku dan keluargaku. Saya tahu, suamiku. Dia orangnya mudah bersahabat dengan siapa saja.Kami memang sudah saling percaya. Kami menanamkan prinsip saling percaya dan jujur. Alhmdulillah hingga saat ini suamiku belum pernah menghianatiku."
Tak kuduga istriku bisa berkata demikian di depan Icca. Sebab beberapa hari sebelumnya, istriku mendapat pesan messenjer dari seseorang yang tak dikenal.
 "Asslm. Wr.wb. Bu. Benar ini dengan istri  Pak Sarif?" tanya orang itu.
 "Bu....coba perhatikan ke mana langkah suami Ibu setiap malam? Kami warga di sini terus terang resah karena kehadiran suami Ibu di rumah Icca. Mereka selalu jalan berdua, entah ke mana. Ibu tau 'kan? Maaf Bu, percaya atau tidak terserah ...Bu." Demikian isi pesan messenjer yang disampaikan ke handphone istriku.
Istriku tiba-tiba datang menyampaikan isi pesan itu kepadaku.
"Say... Siapa ini. Kok, tiba-tiba ada pesan seperti ini."
Aku juga terkejut dengan kepanikan istriku. Â Aku berpikir, istriku pasti marah dengan aku. Setelah kubaca isi pesan itu, istriku justru tersenyum, lalu berkata padaku.
"Pak, hati-hati. Ternyata ada yang tidak senang kalau Say berteman dengan Icca."
Aku memahami betul pernyataan istriku itu karena selama aku berteman dengan Icca, tidak pernah luput dari pengetahuannya. Aku selalu meminta izin kepadanya, jikalau aku diminta oleh Icca datang ke rumahnya ataupun mengantarnya ke mana pun ia pergi.
Penasaran dengan isi pesan tadi, akhirnya aku meminta istriku untuk menelepon langsung nomor itu. Dring...dring....handphone orang itu ternyata aktif dan mau mengangkat panggilan handphone istriku.
"Assalamualaikum. Mohon maaf ganggu. Apa benar ini dengan orang yang mengirim pesan ke nomor ini?"
Sengaja istriku menambah volume suaranya, biar aku ikut mendengarnya.
"Kalau boleh tahu, dengan siapa ini" Terdengar olehku suara laki-laki di balik handphone itu.
Istriku kembali melanjutkan investigasinya ke orang tersebut.
"Maaf Pak..., Kalau boleh tahu ini aku bicara dengan Pak siapa, ya?" tanya istriku kepada orang itu.
"Ah, ga perlu Ibu tahu, tidak penting itu Bu. Yang penting, Ibu tau ke mana aja suaminya kalau malam-malam. Maaf Bu, bukannya melapor, tapi cek sendiri aja, ke mana suaminya."
Rasanya, aku pengen mencekik leher orang itu. Orang itu telah mencoba memprovokasi istriku. Akhirnya, aku merebut handphone istriku, dan bicara dengan orang itu. "Hei, Boss...! Aku ini, suaminya. Ada maksud apa, Bapak mengirim pesan messenjer  seperti itu ke nomor istriku?"  Belum sempat menjawab, orang itu mematikan handphonenya. .
Aku kesal dengan orang itu, tapi istriku terus menenangkanku. "Sabar Say. Tenang, tak perlu ditanggapi itu. Toh, aku juga tahu siapa yang dia maksud orang itu. Pasti Icca." Memang, Say...pernah ke rumah Icca, tapi Say ditemani dengan Pak Ir, kan? Ah sudahlah ...Say. Yang penting sampaikan ke Icca agar jangan menanggapi info hoax seperti ini. Nanti, aku telepon Icca menceritakan kejadian ini kepadanya.  Orang itu, salah....salah menilaimu, Say.
Makassar, 9 April 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H