"Ini kita sudah tak ada suara, ada gambar tapi tak ada suara. Coba kase keluar itu ceritamu dari Muna itu, biar kita terhibur." Pinta Pian kepadaku.
Permintaan Pian didengar oleh Mardan dan Icca. Serentak keduanya mengiyakan permintaan Pian. "Benar itu....ayo Rif ceritaki dulu". Aku terpaksa mengeluarkan jurus pamungkasku dengan mengutip cerita asal Muna ala-ala cerita Abunawas. Namun, belum tuntas aku bercerita mereka sudah tertawa. Rupanya Icca sangat menikmati ceritaku, hingga tak sadar dia menyindirku: "Dassar memang orang Raha" banyak sekali ceritanya. Â "Hahaa....." Icca tertawa sambil menutup wajah dengan telapak tangannya.
Saat itu aku ceritakan pada mereka tentang kebiasaan sebagian orang kampung asal Muna.
"Ada satu kebiasaan orang tua-tua tempo dulu di Muna, Â mungkin juga terjadi di beberapa daerah di tanah air, yakni memasuki bulan baik (karomah) Â maulid, sa'ban, ramadhan, atau ritual lainnya selalu menyediakan suguhan menu yang lezat, yang dikenal dengan baca-baca atau haroa. Tuan rumah biasanya mengundang imam atau khatib (hatibi)Â untuk memimpin doa. Namun, di salah satu rumah yang dikunjungi Pak Imam, terjadi kejadian aneh. Saat Pak Imam membaca doa tiba-tiba padam lampu. Akhirnya, Pak Imam mempercepat doanya. Setelah bersalaman dengan tuan rumah dan segenap hadirin, Pak Imam menyasar dulang yang tersedia di depannya. Dulang itu berisi menu di antaranya sayur terong bulat yang dimasak utuh, waji, cucur, pisang goreng, nasi tumpeng, dan sebagainya. Menu itu tersedia dalam keadaan panas. Begitu Pak Imam memasukan tanggannya ke dalam dulang, tangannya langsung pada sayur terong panas. Terong yang menurutnya adalah telur ayam langsung ditelan oleh Pak Imam. Bersamaan dengan itu tiba-tiba lampu menyala dan terlihat Pak Imam mengeluarkan air mata. Tuan rumah bertanya...
"Kenapa menangis Pa," tanya Tuan Rumah
"Oh..iya. Saya menangis karena tiba-tiba teringat dengan istri saya yang meninggal beberapa tahun lalu" jawab pak Imam. Â Padahal sesungguhnya Pak Imam mengeluarkan air mata karena tak tahan dengan panasnya terong yang ditelan. Di saat itulah teman-temanku tertawa dan suasana dalam mobil kembali cair. Tidak ada lagi yang mengantuk. Tadinya ibarat TV, ada gambar tapi tak ada suara, berubah menjadi TV yang lagi live menyiarkan perjalanan kami.
Di rumah keluarga Icca, kami berempat menginap. Alhasil, usaha kami berbuah manis. Â Calon gubernur yang kami dukung menang. Kami senang dan bersyukur kepada-Nya.
Seiring dengan perjalanan waktu, kami berempat mulai sibuk dengan aktivitas masng-masing. Namun, aku dan Icca terus menjalin komunikasi hingga Pian yang mendengar keakraban kami merasa cemburu. Cemburu karena kenapa hanya aku dan Icca yang selalu berkomunikasi, sedangkan dia semakin jauh dan jarang berkomunikasi lagi.
"Rif..., kenapa Pak Pian begitu. Dia sudah jarang kumpul-kumpul dengan kita. Ada apa, ya?" tanya Mardan kepadaku.
"Ya, mungkin dia lagi banyak urusan dan sibuk dengan kerjanya sendiri," jawabku.
Cek dan ricek ternyata, Pian memang salah tanggap dengan pertemanan aku dan Icca. Di tempat ngopi aku bertemu dengan  Aco, teman Pak Pian. Dia menyampaikan ke aku bahwa dia menggangap aku dan Icca telah menjalin hubungan  spesial. Makanya Pian jarang berkomunikasi lagi dengan aku. Tentu, aku menampik kabar bohong itu. Aku menyampaikan kepada Aco, teman pak Pian bahwa itu hoax.