Mohon tunggu...
Alam Saubil
Alam Saubil Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuluh Pertanian

Program Pascasarjana Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Distorsi Perasaan, Efek Terburuk dari Media Sosial

2 Oktober 2018   17:34 Diperbarui: 3 Oktober 2018   14:56 2727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: bbc.co.uk

Media Sosial Sebagai Rumah yang Berbahaya

Keganasan alam liar seolah-olah berpindah dari dunia nyata masuk ke dunia maya. Dunia maya bahkan telah memakan korban, aksi penipuan dan segala potensi kejahatan di dalamnya hingga mampu merenggut nyawa seseorang. Sayangnya pada saat pemakaman si korban, ia tetap saja harus dibawa ke dunia nyata untuk dimakamkan.

Dalam rentan sekitar dua dekade terakhir, perkembangan media sosial begitu tajam, warganya pun (netizen) semakin banyak dari hari kehari. Tak luput dari media sosial, anak kecil hingga manula rasa-rasanya sudah cukup mengerti maupun hanya kulit-kulitnya dari dunia maya ini.

Kebebasan melahirkan semacam etika baru, etika kebebasan yang baru. Dimana masing-masing netizen bebas keluar masuk pekarangan rumah (Baca: beranda atau profil) orang lain seenaknya.

Konsekuensinya, kebebasan privat sengaja dihilangkan bahkan diberikan secara cuma-cuma. Berkedok tukar menukar informasi, yang pada dasarnya adalah tukar menukar privasi menjadi ladang bagi lahirnya sebuah masalaha baru yang penulis sebut sebagai "Distorsi Perasaan"

Di era kemajuan sains dan teknologi memungkinkan seeorang untuk dengan mudah mendistorsi perasaannya. Melalui kemudahan dan kepopuleran media sosial, kecenderungan tersebut menjadi hal lumrah.

Istilah distorsi perasaan, sengaja penulis gunakan untuk menyebutkan dengan sederhana, bagaimana alam pikiran manusia bisa saja cenderung berjalan mengikuti keberpihakan dominan.

Jika kecenderungan arah dominan memperlihatkan elektabilitas suatu model dalam dunia maya, atau lebih lazim kita sebut "viral" tengah memainkan perspektif kita. 

Maka kecenderungan yang muncul dari subjek ada dua, yang pertama yakni memunculkan sikap kritis bahkan anti dengan hal viral tersebut, yang kedua justru malah menaikkan hasrat mendukung bahkan mengikuti hal tersebut walau sebenarnya bertentangan dengan diri sendiri.

Konsekuensinya jika kita memilih kritis adalah potensi untuk melahirkan hal yang lebih positif akan terbuka, namun jika kita memilih mendukung atau menyepakati hal viral tersebut maka disinilah lahir potensi besar untuk kita mengalami distorsi perasaan.

Sehingga hipotesis sederhana dapat kita tarik, yakni kecenderungan mengikuti hal-hal viral sangat berpotensi menyebabkan seseorang mengalami distorsi perasaan. Ya, latihan terbaik dalam merusak konsistensi, integritas, bahkan nilai-nilai atau prinsip hidup adalah larut dalam hegemoni ke-viral-an suatu model di dunia maya.

Permasalahan "korban" Distorsi Perasaan

Hari ini kita dapat melihat banyak sekali bukti, bagaimana dampak negatif dari kebiasaan membohongi perasaan. Perasaan yang terdistorsi itu ibarat kebiasaan berbohong yang berlarut-larut, menjebak dan pada akhirnya memenjarakan kita dalam sebuah ruang imaji yang hampa.

Sederhanaya, seseorang akan merasa aman, merasa hebat, padahal dia bukan siapa-siapa. Konsekuensi jika seseorang merasa hebat saya rasa sudah dapat kita analisis bersama apa yang akan terjadi di ruang-ruang sosialnya yang nyata.

Selain itu bukti dampak negatif distorsi perasaan adalah hari ini seseorang yang ingin mengupload foto di media sosial, mesti melakukan filter sana-sini terhadap gambar wajah atau tubuhnya keseluruhan atau postingannya secara umum, tujuannya untuk sekedar mampu disejajarkan dengan role model kontekstasi keviralan yang sedang berjalan. Kegagalan mengikuti keviralan di media sosial, seolah akan membuat seseorang merasa terbuang dari kehidupan sosialnya.

Contoh lainnya adalah kecenderungan para pengguna media sosial memiliki keberanian untuk mengritik tajam, bahkan sampai mem-bully orang lain.

Keberanian itu hadir karena keberpihakan seseoarang pada maraknya pendukung kritik tanpa dasar. Itu karena banyaknya (dominan) netizen yang telah dengan mudah, seenak perutnya berkomentar, memberi dan merasakan kesan aman, sehingga mereka yang terjebak dalam distorsi perasaan ini turut melakukan hal yang sama. Sehingga muncullah rentetan bully-an yang tak berkesudahan di media sosial.

Melawan Distorsi Perasaan dengan Kejujuran Berfikir Krtitis

Pada bagian akhir tulisan ini, penulis mencoba mengulas hal atau gagasan untuk melemahkan potensi terjadinya distorsi perasaan dengan menekankan penggunaan akal. Dalam hal ini disebut kejujuran berfikir kritis.

Berfikir kritis menurut banyak ahli merupakan kemampuan menganalisa fakta yang tersedia kemudian membuat beberapa perbandingan gagasan yang mengerucut untuk kemudian dipertahankan sebagai sebuah kesimpulan.

Berfikir kritis merangsang kemampuan seseorang untuk menganalisa, sekaligus memberi penilaian sebuah informasi atau gagasan dari suatu sumber. Secara sederhana, berfikir kritis merupakan cara untuk mengeksplor daya pikir hingga tahap evaluasi.

Kecenderungan terjadinya distorsi perasaan yang sudah dijelaskan di atas, bisa jadi dipengaruhi oleh banyak hal. Satu diantaranya adalah ketidakmampuan seseorang untuk menggunakan pikiran secara kritis dalam melihan problem, dalam hal ini fenomena "viral" di media sosial. Dorongan untuk selalu ingin eksis sebenarnya merupakan efek dari "kehausan" atas kreatifitas yang dangkal.

Salah satu pemecahan masalahnya adalah dengan mengasah kemampuan berfikir kritis. Menemukan bakat, menuju passion yang sebenarnya. Ketika seseorang mampu menemukan bakatnya, maka kecenderungan untuk mengikuti hal-hal viral tersebut tentu akan berkurang.

Berfikir kritis memang berbeda dengan berfikir lateral, namun dalam tahap awal, berfikir kritis berpotensi untuk memerdekakan akal. Menikmati kesenangan dengan kesadaran yang merupakan buah dari kemerdekaan berfikir tentu jauh lebih baik dari sekedar larut dalam trend di media sosial.

Kata kuncinya adalah "akal merdeka", kemampuan menghasilkan hal baik tanpa dipengaruhi oleh hal-hal yang belum tentu baik. Menikmari hasrat yang diproduksi oleh cara berfikir kritis mungkin memiliki efek lain. Misal, menampakkan "kelainan", lain karena berbeda dengan sesuatu yang sedang "viral" misalnya. Namun, setidaknya hal seperti ini akan melepaskan seseorang dari belenggu distorsi perasaan.

Kemampuan untuk menjadi apa adanya dan lebih jujur dalam berfikir tanpa rasa gengsi adalah syarat merasakan kebahagiaan sejati. Setidaknya itu yang sampai saat ini penulis pikirkan dan rasakan. 

Dengan menghindari distorsi perasaan, memungkinkan seseorang untuk tumbuh dalam kepekaan sosial yang lebih jujur. Mengambil tindakan yang tepat ketika menghadapi persoalan. Dan yang terpenting adalah rasa nyaman yang hadir dalam kehidupan sehari-hari. Tentu yang dimaksud adalah kenyamanan di dunia nyata terlebih di dunia maya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun