Salah satu pemecahan masalahnya adalah dengan mengasah kemampuan berfikir kritis. Menemukan bakat, menuju passion yang sebenarnya. Ketika seseorang mampu menemukan bakatnya, maka kecenderungan untuk mengikuti hal-hal viral tersebut tentu akan berkurang.
Berfikir kritis memang berbeda dengan berfikir lateral, namun dalam tahap awal, berfikir kritis berpotensi untuk memerdekakan akal. Menikmati kesenangan dengan kesadaran yang merupakan buah dari kemerdekaan berfikir tentu jauh lebih baik dari sekedar larut dalam trend di media sosial.
Kata kuncinya adalah "akal merdeka", kemampuan menghasilkan hal baik tanpa dipengaruhi oleh hal-hal yang belum tentu baik. Menikmari hasrat yang diproduksi oleh cara berfikir kritis mungkin memiliki efek lain. Misal, menampakkan "kelainan", lain karena berbeda dengan sesuatu yang sedang "viral" misalnya. Namun, setidaknya hal seperti ini akan melepaskan seseorang dari belenggu distorsi perasaan.
Kemampuan untuk menjadi apa adanya dan lebih jujur dalam berfikir tanpa rasa gengsi adalah syarat merasakan kebahagiaan sejati. Setidaknya itu yang sampai saat ini penulis pikirkan dan rasakan.Â
Dengan menghindari distorsi perasaan, memungkinkan seseorang untuk tumbuh dalam kepekaan sosial yang lebih jujur. Mengambil tindakan yang tepat ketika menghadapi persoalan. Dan yang terpenting adalah rasa nyaman yang hadir dalam kehidupan sehari-hari. Tentu yang dimaksud adalah kenyamanan di dunia nyata terlebih di dunia maya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H