Mohon tunggu...
Satya Widhyatma
Satya Widhyatma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa BK

Saya seorang mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Komitmen Dinas Pendidikan Kota Salatiga dalam Memenuhi Hak Pengguna Pelayanan Umum, Analisis Aksebilitas Pengguna Unit Layanan Disabilitas

3 Juli 2024   11:31 Diperbarui: 3 Juli 2024   12:31 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbagai upaya dilakukan untuk dapat memberikan hak yang sama kepada penyandang disabilitas dalam hal pelayanan umum di Kota Salatiga baik dalam bidang ekonomi, transportasi, kesehatan,pendidikan dan lainnya. Khusus di bidang pendidikan, sebagai salah satu kota pendidikan yang ternama di Indonesia, Salatiga tentu saja ingin memberikan yang terbaik di bidang pendidikan. 

Selain anak-anak yang memiliki kondisi normal, di Salatiga juga terdapat peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus. Keterbatasan ini memerlukan perhatian khusus dari pemerintah kota, yang dalam hal ini menjadi ranah dan tanggung jawab Dinas Pendidikan kota Salatiga. Terkait hal ini maka dibangunlah Unit Layanan Disabilitas dengan mengusung konsep Smart Resource Center. Konsep ini menggabungkan dua metode yaitu metode jemput bola dan metode undangan.

Disabilitas atau dalam bahasa inggris disebut "disability" berarti seseorang yang mempunyai keterbatasan, baik fisik, intelektual, mental maupun keterbatasan sensorik, yang berlangsung dalam rentang waktu lama sehingga menghadapi berbagai hambatan, serta mengakibatkan partisipasi dan sosialisasi mereka dalam masyarakat menjadi terbatas, pengertian ini berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011, tentang pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). 

Sebelum ditetapkannya istilah penyandang disabilitas, dahulu telah ada ada istilah untuk mereka yaitu "penyandang cacat". tetapi istilah tersebut dinilai mempunyai makna yang kurang baik dari sisi kata dan kemanusiaan. Oleh sebab itu berbagai usaha dilakukan untuk mengganti istilah tersebut, dan akhirnya berdasar hasil dari Semiloka yang dilaksanakan di Cibinong Jawa barat pada tahun 2009, dimana dalam kegiatan tersebut melibatkan berbagai pihak, antara lain Komnas HAM, komunitas penyandang cacat, pakar linguistik, pakar komunikasi, pakar filsafat, pakar sosiologi, serta dari unsur pemerintah, disepakati istilah baru, yaitu "Orang dengan Disabilitas," yang menerjemahkan dari kata dalam bahasa inggris yaitu "Persons with Disability". 

Kemudian atas saran dari pusat bahasa yang menetapkan bahwa kaidah yang baik dalam peristilahan yaitu frase yang terdiri dari dua kata saja, sehingga istilah "Orang dengan Disabilitas" diubah menjadi "penyandang disabilitas". Dan ada akhirnya, istilah "penyandang disabilitas" inilah yang disepakati untuk digunakan untuk mengganti istilah "penyandang cacat".

Keterbatasan yang dimiliki penyandang disabilitas menjadikan pemerintah memberikan prioritas dan kemudahan aksesibilitas dalam pelayanan umum. Hal ini juga sesuai dengan salah satu instrumen hukum yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang No. 25 tahun 2009 tentang Layanan Publik. di dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa penyedia layanan publik harus bersikap adil dan tidak melakukan diskriminasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. 

Pemenuhan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas adalah usaha untuk memberikan jaminan kemandirian dan partisipasi mereka dalam berbagai bidang kehidupan di masyarakat. Terkait pemenuhan hak aksesibilitas fisik dan nonfisik bagi penyandang disabilitas, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). 

Selain itu Pemerintah telah meratifikasi Konvensi Hak-hak kebijakan yang berbentuk sikap Pemerintah dalam mendukung terselenggaranya pendidikan bagi penyandang disabilitas, pejabat yang berwenang mengurus bidang pendidikan, dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Menteri Agama. Kebijakan ini terdiri dari dua macam, yaitu:

  1. Kebijakan yang merupakan Sikap resmi, seperti diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan dasar dan menengah Departemen Pendidikan Nasional Nomor : 380/e.C8/ MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 ataupun Surat Keputusan Menteri Agama, dimana kedua Surat keputusan tersebut bertujuan memberikan penguatan pendidikan penyandang disabilitas, unit layanan yang menangani penyandang disabilitas, serta penyediaan fasilitas pendidikan dan sarana pendidikan bagi penyandang ketunaan.

  1. Kebijakan yang bersifat Sikap tidak resmi, seperti halnya pernyataan Menteri Pendidikan atau Menteri Agama dalam wawancara media massa yang terkait dengan permasalahan persamaan hak dan kesempatan pendidikan untuk penyandang disabilitas. di dalam tujuan Negara Indonesia yang tertuang pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat terdapat dua poin penting yang harus diperhatikan dan diusahakan oleh pemerintah. dua poin tersebut adalah "mencerdaskan kehidupan bangsa" dan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Hal ini menjelaskan bahwa pendidikan untuk mencerdaskan bangsa serta keadilan sosial dalam segala bidang merupakan sesuatu hal yang akan diberikan oleh negara kepada warganya. di sinilah persamaan hak dalam berbagai hal harus diperjuangkan pemerintah termasuk di dalamnya hak untuk memperoleh pendidikan bagi penyandang disabilitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun