"Tapi menjalani aktivitas seorang manusia tak semudah itu, Brother."
"Lha, kami sendiri aja ngerasa jadi manusia itu susah kok," tambahku.
"Kau kan tahu sendiri. Kamu sudah lihat belum? Itu di Facebook. Begitu banyak manusia-manusia yang sudah tak lagi menggunakan akal sehatnya dan dengan mudah menyebarkan opini-opini tak bertanggungjawab, menyebar kebencian dengan cara yang tak manusiawi, dan berperilaku semakin galak saja dari hari ke hari," kataku sambil kulihat dia sedang membakar rokok dengan tangan kirinya menutupi api.
"U-u a-ak," katanya paham.
"Ya, memang itulah yang sedang terjadi, Min. Makhluk mana lagi yang tak berat menanggung beban tanggungjawab selain manusia? Kau, dan makhluk lain, adalah ciptaan yang beruntung karena tak harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Jadi, lebih baik urungkan saja niatmu untuk menjadi manusia.Â
Tetaplah menjadi kodratmu. Tak usah kau menjadi seekor makhluk trans-spesies seperti saudara-saudaramu yang lain. Bukannya kau juga pernah cerita kalau mereka akhirnya menyesal telah menjadi seorang manusia? Bukannya kau pernah cerita soal sumpah serapah mereka kepada takdir dengan mengatakan: "kalau begini, lebih baik aku mati sebagai monyet tua!" Aku ingat ketika kau menceritakan demikian. Maka aku tak mau kau menyesal di akhir nanti sebagaimana saudara-saudaramu yang lain itu, Nyet."
"U-u a-ak," sambil mengangguk-angguk selayaknya seorang intelektual, kemudian menghembuskan asap rokoknya ke udara. Untung saja si udara tak terbatuk-batuk lalu muntah. Mungkin karena sudah terbiasa. Jangankan asap rokok. Asap limbah pabrik yang ngebul setiap hari pun tak pernah ditolak oleh udara. Ah... udara memang ciptaan Tuhan yang memiliki tingkat kesabaran tinggi, kupikir.
"Tapi, ya sudah kalau itu maumu," sambil kutepuk-tepuk punggungnya lalu kuseruput segelas teh panas yang bisa kuhadirkan hanya dengan sekedipan mata. Sayang, mataku saat ini sedemikian berat seolah-olah seorang mantan pacarku bergelayutan di atas kelopak mataku dengan gondola sehingga mengakibatkan tehnya pun sudah agak basi. Itu semua memang tergantung kondisi mata. Kondisi matanya baik, kedipannya baik --tidak terlalu lama juga tidak terlalu cepat--, dan kalau tak ada mantan yang bergelayutan, maka hasilnya pun baik. Karena itulah makanya aku begitu perhatian pada kesehatan mata. Bukan tak jarang kucuci mataku dengan cara meneteskan air sabun bubuk pencuci pakaian yang diklaim dahsyat menuntaskan kotoran dengan hanya sekali kucekan itu.
Kembali kupandang wajah Sarimin yang sangat serupa dengan wajah monyet lainnya.
"Yang sabar ya..." tambahku. "Kalau perlu nanti aku akan mintakan tolong kepada seorang temanku yang psikiater, yang juga seorang mantri sunat, supaya kau bisa bebas curhat sepuasnya kepada dia. Oh ya, dia juga rentenir. Siapa tahu kau butuh pinjaman uang," saranku.
"U-u a-ak," jawabannya sambil mengangguk selayaknya seekor monyet.