Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sarimin Ogah ke Pasar

23 April 2018   17:49 Diperbarui: 23 April 2018   17:50 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: saatchiart.com

Masih gelap di pagi itu. Matahari belum nongol dari balik ujung timur. Sepasang burung keciprit masih mengoak-ngoak berkejar-kejaran di atas langit. Yang satu jantan dan satu lagi betina. Entah si betina itu istrinya, selingkuhannya, atau apa-apanya, aku tak tahu pasti. Aku pun tak tahu kenapa disebut burung keciprit. Padahal suaranya mengoak-ngoak keras seakan-akan terdapat sebuah toak di dalam mulutnya. 

Cuma tubuhnya saja yang berukuran segenggam tangan. Namun itu pula yang selalu bikin aku sebal, lantaran ketika burung itu terbang di atas atap rumah, seakan-akan ada pendemo yang sedang berorasi di atas langit. Pingin rasanya aku meneriaki burung itu: "Apa tak ada lagi suara lain yang kau punya selain suara ngoak-ngoak itu?!" Tapi kalau saja dia bisa bicara dan membalasku, pasti dia akan bilang: "yaaah... namanya juga udah takdir, Om. Ngoak!"

Tapi, kembali ke soal nama burung keciprit tadi, mungkin penamaan itu cuma akal-akalanku saja yang menamakan demikian. Karena tak ada pula manusia selain aku yang menamakannya demikian. Kuakui itu.

Mataku masih bertahan tidak terpejam sampai detik itu. Beberapa orang teman mengingatkan kalau aku tak boleh begadang lagi. Mereka tahu itu karena lingkar mataku yang menghitam. Kalau sudah begitu, kubilang saja ke mereka kalau itu bukan karena kebanyakan begadang, melainkan karena aku sedang pakai celak. 

Tapi karena aku tak pandai menggunakannya, jadi kupakai secara sembarangan. Begitu dalihku kepada mereka. Sayangnya mereka banyak yang tak percaya. Maka kutambahi dengan mengatakan kalau aku memang suka pakai celak lantaran aku suka dengan style gothic-gothic yang gimanaaa gitu... Kalau sudah begitu argumenku, mereka pun pasti diam. Ocehan mereka tak terdengar lagi karena seketika itu aku pun tertidur pulas di hadapan mereka.

Aku menuju keluar rumahku untuk menghirup udara segar. Udara yang begitu sejuk, seperti biasanya. Tapi ketika udara siang begitu panas, hal demikian bukanlah sesuatu yang biasa. Kalau sudah begitu, aku suka pergi ke ATM terdekat. Berpura-pura mengambil uang, padahal aku cuma pingin ngadem karena AC di dalamnya begitu dingin. Seandainya aku bisa mandi di dalamnya, tentu aku sudah bawa satu bak air dari rumah. Juga bukannya hal itu tak bisa kulakukan, melainkan karena dilarang. Jadi aku tak mungkin melakukannya. Lagipula, orang-orang suka antri di luar ATM tadi. Aku pun tak yakin mereka cuma ingin mengambil uang. Mungkin mereka haus, dan ingin membeli es kelapa muda yang ada di dalam ATM yang penjualnya suka nongkrong di situ kalau cuaca sedang panas-panasnya.

Kututup pintu rumah yang sedari kemarin pagi-siang-sore-malam tak pernah kututup karena aku sering lupa. Dan seketika itu juga aku kaget melihat Sarimin --yang tak seperti biasanya-- sudah duduk sendirian di depan rumah majikannya yang letaknya berseberangan dengan rumahku, atau lebih tepatnya, pas di samping rumahku.

"Lho, Min. Nggak ke pasar?" tanyaku penasaran.

"U-u a-ak, u-u a-ak," jawabnya sambil menggeleng.

Ini aneh bagiku. Aku tahu Sarimin selalu pergi ke pasar setiap hari. Bahkan ketika di pasar tak ada satu orang pun pedagang, dia tetap saja berangkat. Membawa keranjang, pastinya. Mengendarai sebuah motor sport 250cc yang tak bisa ditancap secara maksimal karena... ah, kau pasti tahulah bagaimana jalanan di negeri ini.

Aku ingat bagaimana Sarimin mendapatkan motor sportnya itu yang juga digunakan untuk keperluan pementasan bersama majikannya. Bukan Sarimin yang pertama-tama menginginkan motor tersebut melainkan si bos. Pada awalnya Sarimin hanya menggunakan sepeda kecil beroda dua yang sekedar didorong-dorong tanpa pernah dinaiki. 

Tapi kemudian si majikan berpikir kalau motor sport terbaru 250cc itu pasti akan memberikan prospek yang lebih baik dalam pementasan topeng monyet mereka. Jadi, tiket pementasan topeng monyet pun dinaikkan dari yang tadinya dua ribu rupiah menjadi seratus ribu rupiah. Maka jadilah mereka bertukar kendaraan. Si bos kemana-mana memakai sepeda imut milik Sarimin, sedangkan Sarimin sekarang pergi kemana-mana menggunakan motor sport 250cc yang sudah diganti knalpotnya dengan knalpot racing lengkap beserta pakaian dan helm balap yang dibeli juga dengan harga mahal.

"Why, Min? Why? What's wrong with you?"

"U-u a-ak, u-u a-ak, u-u a-ak," sambil memeragakan selayaknya orang sedang memakai dasi dan jas yang dipakai bos-bos atau anggota parlemen di sana itu.

"What are you talking about, Brother? Are you serious?" tanyaku meyakinkan karena masih tak percaya dengan apa yang dikatakannya, sambil kududuk di sampingnya.

Kutunggu jawabannya, tapi Sarimin hanya diam. Aku pun diam. Nampaknya dia memang sudah tak mau lagi pergi ke pasar. Baiklah, aku pun tak mau memaksanya menjawab pertanyaanku. Khawatir kalau itu menyinggung perasaannya.

Aku berpikir, mungkin ini titik awal dari teori evolusi yang fenomenal itu. Itu lho, teori evolusinya si Erwin, Aswin atau siapa itu namanya? Aku lupa. Memang si Sarimin tidak langsung berubah jadi manusia. Perubahan semacam itu butuh proses yang sangat lama. Bahasanya masih tetap bahasa seekor ketek. 

Tubuhnya masih sama sebagaimana tubuh nyemot. Tapi soal pikiran, disinilah inteligensinya mulai mengalami peningkatan, dimana sepertinya dia merasakan kebosanan pada dirinya sebagai seekor monyet yang selalu diperintah oleh bosnya. Kukira, ini memang titik awal dari teori evolusi itu.

Tapi mungkin saja dia sudah permisi ke bosnya untuk tidak berangkat ke pasar hari ini. Dan si bos, yang masih tertidur lelap dengan iler menggenang di sudut bibirnya pasti akan menjawab: "Terserahmu, Min. Yang penting kita masih harus cari duit! Itu tugas pokokmu. Itu kewajibanmu. Kau harus memberi nafkah padaku. Udah, pergi sana! Hoaaaam... Ganggu aja sih..."

Memang begitulah si majikan. Tak pernah memahami apa kehendak Sarimin. Sebaliknya, Sariminlah yang selalu menuruti kehendak bosnya. Disuruh jadi pembalap dia mau. Disuruh berguling-guling tak jelas arah, tujuan, makna dan filosofisnya pun dia mau. Itulah Sarimin. Pantas sajalah dia merasa bosan, karena sudah pernah mencoba berbagai profesi dari yang berskala nasional sampai internasional; dari yang tradisional sampai yang modern; dari yang rendahan sampai yang bergengsi tinggi.

Sedangkan si bos, kerjanya hanya bisa memerintah dan tak mau mencoba pekerjaan lain. Sifat perikebinatangan si bos memang lebih dominan. Sebaliknya, Sarimin justru lebih manusiawi, karena secara tak langsung, si bos yang berperikebinatangan itu sudah mengajarkan Sarimin untuk berperilaku lebih manusiawi.

"Alright, Min. Alright," kataku menenangkannya.

"Tapi menjalani aktivitas seorang manusia tak semudah itu, Brother."

"Lha, kami sendiri aja ngerasa jadi manusia itu susah kok," tambahku.

"Kau kan tahu sendiri. Kamu sudah lihat belum? Itu di Facebook. Begitu banyak manusia-manusia yang sudah tak lagi menggunakan akal sehatnya dan dengan mudah menyebarkan opini-opini tak bertanggungjawab, menyebar kebencian dengan cara yang tak manusiawi, dan berperilaku semakin galak saja dari hari ke hari," kataku sambil kulihat dia sedang membakar rokok dengan tangan kirinya menutupi api.

"U-u a-ak," katanya paham.

"Ya, memang itulah yang sedang terjadi, Min. Makhluk mana lagi yang tak berat menanggung beban tanggungjawab selain manusia? Kau, dan makhluk lain, adalah ciptaan yang beruntung karena tak harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Jadi, lebih baik urungkan saja niatmu untuk menjadi manusia. 

Tetaplah menjadi kodratmu. Tak usah kau menjadi seekor makhluk trans-spesies seperti saudara-saudaramu yang lain. Bukannya kau juga pernah cerita kalau mereka akhirnya menyesal telah menjadi seorang manusia? Bukannya kau pernah cerita soal sumpah serapah mereka kepada takdir dengan mengatakan: "kalau begini, lebih baik aku mati sebagai monyet tua!" Aku ingat ketika kau menceritakan demikian. Maka aku tak mau kau menyesal di akhir nanti sebagaimana saudara-saudaramu yang lain itu, Nyet."

"U-u a-ak," sambil mengangguk-angguk selayaknya seorang intelektual, kemudian menghembuskan asap rokoknya ke udara. Untung saja si udara tak terbatuk-batuk lalu muntah. Mungkin karena sudah terbiasa. Jangankan asap rokok. Asap limbah pabrik yang ngebul setiap hari pun tak pernah ditolak oleh udara. Ah... udara memang ciptaan Tuhan yang memiliki tingkat kesabaran tinggi, kupikir.

"Tapi, ya sudah kalau itu maumu," sambil kutepuk-tepuk punggungnya lalu kuseruput segelas teh panas yang bisa kuhadirkan hanya dengan sekedipan mata. Sayang, mataku saat ini sedemikian berat seolah-olah seorang mantan pacarku bergelayutan di atas kelopak mataku dengan gondola sehingga mengakibatkan tehnya pun sudah agak basi. Itu semua memang tergantung kondisi mata. Kondisi matanya baik, kedipannya baik --tidak terlalu lama juga tidak terlalu cepat--, dan kalau tak ada mantan yang bergelayutan, maka hasilnya pun baik. Karena itulah makanya aku begitu perhatian pada kesehatan mata. Bukan tak jarang kucuci mataku dengan cara meneteskan air sabun bubuk pencuci pakaian yang diklaim dahsyat menuntaskan kotoran dengan hanya sekali kucekan itu.

Kembali kupandang wajah Sarimin yang sangat serupa dengan wajah monyet lainnya.

"Yang sabar ya..." tambahku. "Kalau perlu nanti aku akan mintakan tolong kepada seorang temanku yang psikiater, yang juga seorang mantri sunat, supaya kau bisa bebas curhat sepuasnya kepada dia. Oh ya, dia juga rentenir. Siapa tahu kau butuh pinjaman uang," saranku.

"U-u a-ak," jawabannya sambil mengangguk selayaknya seekor monyet.

Aku pun berdiri, melemparkan gelas tehku beserta isinya sekuat tenaga, setinggi-tingginya ke udara sampai-sampai aku sedikit khawatir kalau-kalau gelasku tadi memecahkan jendela langit pertama karena bisa saja nanti membuat marah penghuninya dan membuat salah satu malaikat langit mendongakkan kepalanya sambil berteriak: "woi, siapa itu?!!"

Tapi, kupikir aku tak ambil pusing karena rasa kantuk yang membebani ini.

Aku mulai berjalan sebagaimana seorang pengembara, meninggalkan Sarimin, menuju timur dimana sang mentari mulai mengintip dengan usilnya sambil cekikikan dan siap-siap memberi kejutan kepada semua makhluk bumi.

Sampai kemudian Sarimin memanggilku: "Hei, you!"

Aku menoleh ke arahnya di belakangku.

"Don't call me min-man-min-man-min, alright. My name is Boy. Boymin," begitu katanya sambil menghembuskan asap rokok dan mengenakan kacamata hitamnya.

"Alright, Min, eh, Nyet," jawabku sambil tersenyum keren dan mengacungkan jempol.

Aku pun melanjutkan perjalananku yang masih sangat jauh untuk mencari kediamanku, rumahku, bantalku supaya bisa tidur nyenyak. Sambil terkantuk-kantuk sempoyongan kuberjalan. Sampai kemudian kutiba-tiba dikagetkan karena sang mentari benar-benar mengatakan: "BAAAA! Aaaahahahaha. Kaget yeeaaaa..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun