Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Permintaan di Pagi Itu

28 Desember 2015   07:12 Diperbarui: 28 Desember 2015   08:18 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jangan bertindak seperti orang naif seperti itu. Dan jangan membohongi dirimu. Siapa yang tidak ingin dikenal dan merasakan dirinya dikagumi oleh orang lain?"

"Siapa katamu? Aku! Akulah satu-satunya orang yang tidak ingin diriku dikenal oleh orang lain. Ya, aku terlalu naif dan kampungan untuk mengabaikan diriku yang bukan siapa-siapa ini. Aku memang naif, dan semoga tetap naif sepanjang hidupku."

"Oh temanku. Janganlah abaikan segala potensi yang ada pada dirimu itu. Lihat, lihatlah dirimu. Lihatlah segala kemampuan tersembunyi yang ada dalam dirimu. Tunjukkan kepada mereka siapa dirimu. Mereka tentu ingin melihatmu."

"Mereka ingin melihatku? Aku tak ingin membodoh-bodohi mereka dengan segala potensi diriku. Biar mereka belajar sendiri. Aku tak ingin mengajari mereka dan pada akhirnya mengidolakan aku. Biarkan saja orang lain melihat dirinya sendiri. Aku justru tak ingin memandangi diriku."

"Aku tahu, aku mengerti. Namun potensi diri juga merupakan anugerah Tuhan untukmu. Apa kau akan menyia-nyiakan anugerah itu?"

"Segala potensi yang ada pada diriku tentu akan kukembalikan pada Tuhan. Kau tak tahu bagaimana aku memanfaatkan potensiku. Jelas, kita memanfaatkan potensi itu dengan cara masing-masing. Dan tentu aku tak mau bersikap pragmatis sepertimu dengan mengarahkan potensi demi sebuah popularitas yang kau katakan eksistensi diri itu."

"Baiklah, temanku. Aku maklum dengan segala pandanganmu itu. Dan jika itu merupakan prinsipmu yang sudah sedemian masif, akhirnya aku bisa apa untuk menanggapnya.

Kita bertemu lagi nanti, kawan. Aku harus pergi dulu. Biasalah ini panggilan yang sudah harus ditepati. Sampai jumpa."

"Ya, hati-hati lah kau."

Dia berlalu dengan gaya berjalan khasnya. Ya aku mengerti orang seperti dia. Karena aku benar-benar kenal dia. Aku tahu bagaimana dia bertransformasi dengan segala seluk beluk dari segi psikis sampai penampilan. Tentu, karena aku dan dia sudah saling mengenal dari kami kecil. Bermain bersama dan mempunyai mimpi dan angan-angan masing-masing tentang bagaimana kami akan menjadi seseorang di hari depan nanti.

Tentang perdebatan tentu juga buka hal baru bagi kami. Saling bertengkar mengenai suatu hal atau karena perbedaan pendapat sudah menjadi bagian yang inheren dalam pertemanan kami. Ya, itulah sedikit gambaran relasi emosional pertemanan di antara aku dan dia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun