Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Permintaan di Pagi Itu

28 Desember 2015   07:12 Diperbarui: 28 Desember 2015   08:18 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Selamat pagi," sapanya.

"Halo, selamat pagi. Bagaimana kabarmu?" Tanyaku

"Ah, baik. Masih dengan nama yang sama dan wajah yang sama juga. Ya, kau tahu. Aku begitu mencintai diriku ini."

"Makin cintakah kau dengan dirimu?"

"Aku kira memang iya. Dan selalu begitu dari waktu ke waktu."

"Ya, aku paham. Karena memang tak ada orang lain yang mencintai dirimu, begitu?"

"Tidak, kau salah, temanku. Kau lihat bagaimana orang lain juga mengagumiku. Bukan hanya aku yang mencintai diriku. Namun orang lain pun begitu," sambil membakar ujung rokoknya.

"Bagaimana bisa kau begitu? Sedangkan aku saja sudah sedemikian malas dengan diriku sendiri."

"Kau tahu, begitu hingar-bingarnya dunia saat ini. Semua orang ingin menampakkan dirinya. Nikmati sajalah yang terjadi. Biarkan dirimu disaksikan oleh banyak orang."

"Seperti kau? Hahahaha, aku tak yakin bisa melakukannya. Juga karena aku tak tahu kenapa aku harus melakukannya. Apa untungnya bagiku jika hanya menampakkan wajah semata seperti itu?"

Perdebatan klise tentang eksistensi yang dikonotasikan sebagai hanya popularitas semata telah membuatku bosan. Bukan bosan dengan keinginan seperti itu. Namun juga kebosanan pada diriku.

"Jangan bertindak seperti orang naif seperti itu. Dan jangan membohongi dirimu. Siapa yang tidak ingin dikenal dan merasakan dirinya dikagumi oleh orang lain?"

"Siapa katamu? Aku! Akulah satu-satunya orang yang tidak ingin diriku dikenal oleh orang lain. Ya, aku terlalu naif dan kampungan untuk mengabaikan diriku yang bukan siapa-siapa ini. Aku memang naif, dan semoga tetap naif sepanjang hidupku."

"Oh temanku. Janganlah abaikan segala potensi yang ada pada dirimu itu. Lihat, lihatlah dirimu. Lihatlah segala kemampuan tersembunyi yang ada dalam dirimu. Tunjukkan kepada mereka siapa dirimu. Mereka tentu ingin melihatmu."

"Mereka ingin melihatku? Aku tak ingin membodoh-bodohi mereka dengan segala potensi diriku. Biar mereka belajar sendiri. Aku tak ingin mengajari mereka dan pada akhirnya mengidolakan aku. Biarkan saja orang lain melihat dirinya sendiri. Aku justru tak ingin memandangi diriku."

"Aku tahu, aku mengerti. Namun potensi diri juga merupakan anugerah Tuhan untukmu. Apa kau akan menyia-nyiakan anugerah itu?"

"Segala potensi yang ada pada diriku tentu akan kukembalikan pada Tuhan. Kau tak tahu bagaimana aku memanfaatkan potensiku. Jelas, kita memanfaatkan potensi itu dengan cara masing-masing. Dan tentu aku tak mau bersikap pragmatis sepertimu dengan mengarahkan potensi demi sebuah popularitas yang kau katakan eksistensi diri itu."

"Baiklah, temanku. Aku maklum dengan segala pandanganmu itu. Dan jika itu merupakan prinsipmu yang sudah sedemian masif, akhirnya aku bisa apa untuk menanggapnya.

Kita bertemu lagi nanti, kawan. Aku harus pergi dulu. Biasalah ini panggilan yang sudah harus ditepati. Sampai jumpa."

"Ya, hati-hati lah kau."

Dia berlalu dengan gaya berjalan khasnya. Ya aku mengerti orang seperti dia. Karena aku benar-benar kenal dia. Aku tahu bagaimana dia bertransformasi dengan segala seluk beluk dari segi psikis sampai penampilan. Tentu, karena aku dan dia sudah saling mengenal dari kami kecil. Bermain bersama dan mempunyai mimpi dan angan-angan masing-masing tentang bagaimana kami akan menjadi seseorang di hari depan nanti.

Tentang perdebatan tentu juga buka hal baru bagi kami. Saling bertengkar mengenai suatu hal atau karena perbedaan pendapat sudah menjadi bagian yang inheren dalam pertemanan kami. Ya, itulah sedikit gambaran relasi emosional pertemanan di antara aku dan dia.

Hari yang pagi dan sederhana dengan secangkir kopi dan teh panas mengisi kekosongan di saat tak tahu harus berbuat apa hari ini. Kekosongan itu kemudian terisi dengan kedatangan seseorang yang tak terlalu sudah cukup berumur dan menyapaku.

"Selamat pagi, Mas."

"Ya, pagi, Pak. Ada apa ya? Bisa saya bantu?"

"Ya, saya dari Agen Popularitas mencari orang-orang yang berkompeten untuk dijadikan terkenal. Dan saya menawarkan kepada Mas untuk bergabung bersama kami dan memulai karier."

"Ah, maaf Pak. Saya terlalu cinta dengan kesederhanaan saya. Bapak bisa lihat sendiri bagaimana tempat saya tinggal ini dengan segala keserbacukupannya. Jika saya ingin menjadi terkenal tentu saya sudah berusaha dari dulu. Namun, memang tidak ada kemauan dari diri saya dan beginilah keadaan saya yang saya syukuri."

"Tapi tentu juga Mas ingin mempunyai kehidupan yang lebih baik dari sekarang. Dan semua orang pasti menginginkan hal itu. Tawaran ini tentu akan membuka jalan hidup Mas ke arah yang lebih baik. Saya kira Mas tak akan menolak tawaran kami, bukan?"

"Ya, saya memang bisa saja menerima tawaran itu dengan berbagai alasan, atau bahkan tanpa harus memikirkannya seperti orang lain yang menginginkan menjadi terkenal. Tapi saya tetaplah saya, yang tak menginginkan popularitas kampret seperti mereka. Sudah banyak orang terkenal, dan saya tak berminat untuk memperparah keadaan.

Ya, parah. Dan seperti itulah keadaannya. Tapi tidak mungkin keparahan itu dihentikan. Namun tinggal hanya menunggu pergantian kuantitas menjadi kualitas. Ya, Anda tentu tahu sendiri. Saya tak akan memperparah keadaan. Saya tetap ingin begini."

"Lalu bagaimana jika Andalah yang akan memulai transformasi itu? Bagaimana jika seandainya orang lain akan mengikuti Anda dan mulai berani menunjukkan wujudnya di saat kuantitas berlebihan saat ini?"

"Jika itu saya? Jika itu memang saya kehendaki. Jelas, bahwa saya tak ingin sok pahlawan dengan mengubah keadaan. Jika saya memang harus melakukannya, tentu tanpa saya kehendaki pun saya akan tetap mengubah keadaan itu. Tapi biarlah orang lain saja yang mengubahnya. Keadaan pasti berubah walaupun bukan saya yang mengubahnya. Saya kira Anda paham itu.

Oh ya. Ngomong-ngomong kenapa Anda bisa mendatangi saya ke sini?"

"Oh, teman Anda lah yang menunjukkan kepada saya bahwa dia mempunyai seorang teman yang berkompeten."

"Oh begitu. Dia tak tahu apa-apa mengenai saya. Yang dia ketahui hanya sebatas kulit saja. Dan Anda sudah ditipu olehnya. Saya tak merasa memiliki kemampuan apapun dan tak berminat untuk menunjukkannya kepada dunia jika pun saya punya kemampuan."

"Baiklah, saya memang tak ingin memaksa. Kalau memang memaksa. Saya permisi. Selamat siang." 

"Ya, silahkan."

Orang-orang tak mengerti. Apa aku harus bertoleransi untuk mengerti? Ya, aku mengerti. Aku memberi pengertian. Namun mana yang dominan di antara meminta dan memberi? Ya, apa tak perlu lagi kita pertanyakan hal itu? Bagaimana meminta dan bagaimana memberi? Atau ada kehendak laten pada suatu pemberian? Tidak jarang itu terjadi.

Klise. Ya, silahkan berosan-bosanan dengan hal itu. Silahkan meminta, namun jangan terlalu banyak meminta. Tentu itu sedikit mengganggu dan tidak etis. Silahkan meminta, namun jangan lupa memberi. Atau tak usah meminta saja. Kalau permintaan memang tak ada habisnya.

"Selamat pagi, Mas. Kedatangan saya kesini ingin meminta Mas......"

"Ya ya ya, saya mengerti. Apapun permintaan Anda akan saya berikan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun