Mohon tunggu...
Aris P. Zebua
Aris P. Zebua Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seharusnya pendidikan merupakan hadiah bagi semua orang | Blog pribadi: satyaaris.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Era Digital dan Pendidikan Indonesia

31 Agustus 2018   22:36 Diperbarui: 31 Agustus 2018   23:04 1283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumen pribadi foto bersama sehabis seminar

Seorang teman membagikan link blognya di grup whatsapp. Bertepatan aku punya waktu luang untuk membaca, tanpa menunggu lama aku langsung mengunjungi blog yang dimaksud. Di sana penulis menceritakan kisahnya yaitu sebuah kegiatan yang baru saja ia ikuti dan terlibat di dalamnya sebagai salah seorang pemusik.

Saat sedang membaca tiba-tiba muncul keinginan untuk menulis. Sudah lama juga aku tidak menulis. Mungkin 'dewa menulis' belum mendatangiku. Ah, itu cuma alasan doang. Tapi aku mau menulis apa? Setelah membuang-buang waktu cukup lama untuk merenung, kuputuskan untuk menulis hal-hal yang kudapatkan dari seminar yang diadakan tanggal 25 Agustus yang lalu.

Areopagus Education Summit 2, itulah nama seminar dan workshop yang kuikuti kemarin. Dari namanya saja sudah ketahuan isi dari seminar ini. Ya, tentang pendidikan. Seminar ini merupakan yang kedua kalinya diadakan. Yang pertama diselenggarakan tahun lalu yang juga aku hadiri. Tahun ini panitia menyediakan tema E-Society: How It Transforms Education.

Ada enam topik dan satu workshop yang dibahas dalam seminar tahun ini. Enam topik tersebut dibawakan oleh para pemateri yang ahli di bidangnya. Topiknya antara lain: Education: A Strategic Investment (oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., CBE.), Think Globally Act Locally in Education (oleh Dr. Masduki Ahmad, S.H., M.M.), Inspriation and Teaching Digitally (oleh Dr. Nuhattati Fuad, M.Pd.) Tantangan Kurikulum Pembelajaran di Indonesia dan Workshop: How to Think Critically (oleh Weilin Han, M.Sc.), dan terakhir, VUCA on Education dan The E-Society  Transforms Education (oleh Tumbur Tobing, S.E., MBE., MCS.).

Membaca topik yang disediakan oleh panitia inilah yang awalnya membuatku bergairah untuk mendaftarkan diri. Bagaimana tidak, topik-topik seperti ini langka sekali, bahkan tidak pernah disampaikan pada berbagai pelatihan yang selama ini aku ikuti di lingkungan dinas pendidikan di tempatku berada. Biasanya hanya membahas seputar implementasi kurikulum baru yang mana tidak membawa perubahan pada cara mengajar guru di kelas.

Seminar dibuka oleh dua siswi SMA. Mereka menceritakan aktivitas di sekolah, dampak penggunaan fasilitas yang serba digital, dan pandangan orang tua mereka terhadap gadget. Dua siswa ini sangat percaya diri. Mereka memiliki kemampuan public speaking yang sangat baik.

Di sekolah, mereka didorong untuk menggunakan gadget dengan baik dan benar. Artinya, tidak melulu untuk bermain (game) seperti kebanyakan anak zaman now. Gadget sudah digunakan sebagai sumber dan media belajar di kelas, seperti menggunakan laptop dan smartphone.

Meskipun demikian, mereka dilatih untuk tidak bergantung sepenuhnya. Guru kadang-kadang memberikan penugasan yang membutuhkan interaksi antarsiswa, dilatih menggunakan alat belajar secara manual, serta dilatih untuk mengenal pandangan/pemikiran yang berkembang di masyarakat sekitar.

Penentangan justru didapat dari orang tua mereka yang sering menganggap mereka menggunakan gadget hanya untuk bermain. Sebenarnya mereka sedang mengerjakan tugas-tugas sekolah, begitu curhatan mereka. Memang saat ini banyak orang tua begitu mengkhawatirkan sang buah hati yang telah kecanduan menggunakan gadget.

Ada dua generasi yang bertemu di sini. Generasi pertama yaitu orang tua yang tidak biasa dengan gadget, dan sang anak yang sejak lahir telah mengenal gadget. Generasi sekarang memang bisa dikatakan sebagai native secara digital. Ketika dilahirkan dan mulai tumbuh besar, mereka sudah mengenal gadget. Jadi, sudah sewajarnya bila dunia pendidikan (sekolah) berubah mengikuti perkembangan zaman. Bagaimana dengan pendidikan Indonesia saat ini?

I

Prof. Azra, pemateri pertama, mengatakan bahwa pendidikan Indonesia belumlah berubah sejak kemerdekaan. Filsafat pendidikan masih filsafat lama yakni hukum tabularasa. Peserta didik masih dianggap sebagai kertas putih yang harus dijejali dengan berbagai pelajaran.

Era digital atau e-learning belum mengubah atau belum memengaruhi pendidikan kita secara substansial maupun struktural. Malahan semakin tidak memanusiakan (dehumanisasi). Misalnya, penggunaan finger print sebagai absensi dosen/guru, menurut Prof. Azra, justru tidak manusiawi. Digitalisasi harusnya ditekankan pada pemanfaatannya pada pengembangan ilmu pengetahuan, pengajaran dan penelitian. Konten kurikulum kita juga belum berubah. Hanya berubah sebutan, istilah atau namanya saja.

Beliau menyinggung soal jumlah mata pelajaran (atau beban sks) yang diajarkan di sekolah terlalu banyak dan kurang relevan dengan zaman. Banyaknya mata pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa malah mematikan kreativitas dan menindas imajinasi.

Sehingga pelajar (siswa/mahasiswa) tidak bisa fokus sebab begitu banyaknya pelajaran yang harus dan wajib dipelajari. Solusinya, beberapa (muatan) mata pelajaran perlu dibuang atau tidak perlu dipelajari karena tanpa dipelajari pun semua orang bisa mencarinya di internet.

Kebijakan/peraturan pemerintah masih bersifat represif. Misalnya dalam urusan sertifikasi profesi atau akreditasi lembaga yang terlalu menekan dan memberatkan yang jika tidak dituruti akan berdampak merugikan secara individu maupun lembaga. Beliau mengatakan bahwa kita masih membutuhkan peraturan, namun jangan sampai represif.

Solusi bagi pendidikan harus dimulai dari bawah. Artinya, harus ada institusi pendidikan yang berani melawan arus alias tampil beda. Bukan tanpa risiko memang, namun harus berani berinovasi secara substansial. Tantangan pertama tentunya berasal dari sistem pendidikan itu sendiri.

Pandangan di atas memang perlu masukan dan kritikan. Kritikan atau saran dikembalikan kepada pembaca masing-masing. Karena tentunya konteks yang kita alami berbeda-beda, oleh karena kekayaan budaya di Indonesia, maka kita perlu menyesuaikannya dengan kultur daerah kita masing-masing.

II

Masalah pendidikan kita tidak berdiri sendiri, begitu kata pemateri kedua, Dr. Masduki Ahmad. Ibarat lingkaran setan, masalah pendidikan kita sulit diuraikan dan dicari pangkal awalnya. Kemiskinan, pendidikan rendah, masalah keluarga, budaya, masalah kesehatan, akses, infrastruktur, fasilitas, dan lain sebagainya, menjadi isu-isu yang langsung berpengaruh pada pendidikan.

Di zaman global saat ini, yang menjadi tantangan pendidikan kita adalah meningkatkan sumber daya manusia yang unggul, profesional dan berintegritas. Pengembangan sumber daya manusia paling strategis dan efektif dimulai dari sekolah, selain keluarga tentunya.

Kelemahan kita adalah sedikit sekali yang benar-benar memiliki passion di dunia pendidikan. Profesi keguruan belum menarik sehingga menjadi pilihan akhir karir. Kebijakan pendidikan kita jarang mengkaji efek samping dari kebijakan yang diputuskan. Dan di era digital ini, masih saja menerapkan "jawaban tunggal". Maksudnya, guru/dosen masih dianggap (atau menganggap diri) sebagai sumber pengetahuan. Jika tidak mengikuti kata guru, maka tidak dapat nilai.

Kekurangan dari "jawaban tunggal" antara lain mematikan kreativitas dan membuat malas belajar, tidak ada kebenaran lain, mudah menyalahkan, tidak mau mendengar pendapat lain, dan memaksakan pendapat sendiri. Bukankah hal ini yang terjadi? Mungkin mahasiswa yang sedang menulis skripsi memahaminya hehe.

III

Tidak semua bisa aku jelaskan di sini apa yang disampaikan di seminar tersebut. Tapi ada yang menarik ketika sesi workshop. Dibuka dengan instruksi kepada peserta untuk berpasangan. Lalu diminta untuk saling menanyakan alasan memakai baju yang saat itu dipakai. Kemudian dilanjutkan dengan jenis kainnya apa? Kita jarang sekali menanyakan hal-hal sederhana seperti itu. Kita lupa bahwa ilmu pengetahuan berkembang pesat dari pertanyaan sederhana. Orang Indonesia memang jarang atau malu bertanya karena takut dianggap bodoh.

Berkaitan dengan tema seminar, peserta diminta untuk menggunakan smartphone masing-masing untuk mencari manfaat dari garam. Sebelumnya pemateri telah menanyakan apa manfaat garam dan bisik-bisik pun terdengar. Kebanyakan menjawab untuk penyedap rasa, pengewet, mencegah pembusukan.

Tetapi setelah mencarinya menggunakan smartphone, ternyata manfaat garam banyak sekali - mulai dari bumbu makanan, kosmetik, hingga mencairkan salju dan masih banyak lagi. Peserta, termasuk saya, tidak menyangka sebanyak itu. Poinnya adalah manfaat smartphone semaksimal mungkin, maka ia akan sangat berarti bagi pengetahuan kita.

Seterusnya pemateri meminta peserta untuk mencari negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Indonesia urutan kedua setelah Kanada. Lalu peserta diminta untuk mencari 10 negara penghasil garam di dunia. Semuanya menggunakan smartphone. Hasilnya Indonesia tidak termasuk penghasil garam terbesar, meskipun dikelilingi oleh lautan yang luas. Mengapa? Silakan jawab sendiri hehehe.

Bayangkan jika pemanfaatan gadget lebih optimal dalam pembelajaran sekolah. Guru bukan lagi sumber utama pengetahuan. Ada kemungkinan bahwa siswa lebih tahu dari guru. Peran guru adalah membimbing dan mengarahkan siswa dalam berinteraksi selama pembelajaran. Menciptakan pembelajaran yang mendorong rasa ingin tahu siswa dan membimbing mereka menemukan jawaban atau pemecahan masalah.

IV

Dr. Nurhattati, pemateri lain, mengatakan bahwa pendidikan harus diarahkan untuk kebutuhan generasi kita di masa mendatang. Bukan mempertahankan - apalagi memaksakan - kondisi saat ini. Generasi kita akan hidup dengan kondisi yang berbeda dengan saat ini. Peran orang tua dan guru adalah menyiapkan mereka.

Kebiasaan buruk para pendidik adalah selalu mengatakan "dulu di zamanku...." atau "kami dulu seperti ini dan seperti itu", dan lain sebagainya yang berujung pada pelarangan total penggunaan gadget. Generasi masa depan akan menghadapi masalah mereka sendiri. Era mereka adalah era digital. 

Sudah bukan zamannya lagi menghalangi anak untuk mengunakan gadget. Yang diperlukan adalah pengarahan dan pendampingan dari orang tua atau guru. Dan hanya dalam kondisi tertentu yang memerlukan interaksi sosial, seperti saat kumpul keluarga atau sahabat, barulah gadget dibatasi.

Sebaiknya para pendidik lebih melihat ke masa depan. Bukan tidak mungkin pendidik juga harus melek teknologi agar bisa "nyambung"dengan generasi sekarang dalam melakukan pendampingan.

Peran pendidik di sini sebagai fasilitator. Dan yang paling penting adalah menanamkan nilai-nilai moral kepada anak-anak sebagai pedoman hidup mereka, bukan memaksakan "gaya hidup" saat ini. Itulah tugas pendidik yang tentu dimulai dari keteladanan dari pendidik itu sendiri.

V

Dunia kita saat ini begitu kompleks, bergejolak, penuh ketidakpastian dan ambigu. Arus informasi begitu deras mengalir dan kita sangat mudah mengaksesnya. Informasi satu belum selesai dicerna, sudah muncul lagi informasi baru. Kita menjadi susah mengolahnya sehingga kadang kita tidak lagi kritis menanggapinya.

Untuk menghadapi dunia yang seperti ini kita perlu beradaptasi dan berinovasi di bawah tekanan yang berat. Begitulah kata pemateri Tumbur Tobing. Pemateri ini sangat saya kagumi karena beliau seorang yang memiliki ketajaman analisis dan kecerdasan yang luar biasa. Salah satu materi yang beliau sampaikan akan saya bagikan di sini -- saya tidak mungkin menyampaikan semuanya di sini.

Kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pendidik zaman ini adalah kelenturan berpikir, kemampuan mengeksplorasi argumen atau ide, kemampuan mengelola informasi dengan cepat, kemampuan mengontrol ide dan menghubungkan ide satu dengan ide lainnya, serta kemampuan melihat dari sudut pandang yang berbeda. Mengontrol ide maksudnya adalah menjaga agar hasil suatu ide tidak melantur kemana-mana.

Beliau membagi dua generasi dalam pendidikan. Digital immigrants dan  digital native. Yang pertama merupakan generasi yang baru mengenal dunia digital setelah dewasa yakni orang tua, guru atau dosen. Yang kedua adalah generasi yang sejak lahir sudah mengenal gadget.

Ada jurang antara dua generasi ini. Karena itu diperlukan jembatan untuk menghubungkan keduanya. Jembatannya adalah eksplorasi ide-ide, melakukan proyek berbasis kelompok/grup, membangun komunikasi dan diskusi.

Seharusnya pendidik tidak boleh lagi "alergi" dengan segala sesuatu yang digital. Malahan pendidik didorong untuk menguasainya dan memanfaatkannya secara optimal dalam pembelajaran.

Demikianlah tulisan sederhana ini yang lebih mirip curhatan hehe. Sebenarnya isi seminar Areopagus ini jauh lebih banyak dan sangat menginspirasi. Sayang sekali, justru peserta yang hadir sangat sedikit dari kalangan guru. Semoga tahun depan diselenggarakan kembali dengan mengundang pemateri yang hebat, bahkan kalau bisa mengundang pemangku jabatan yang berkuasa dalam mengutak-atik kebijakan pendidikan hehehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun