Prof. Azra, pemateri pertama, mengatakan bahwa pendidikan Indonesia belumlah berubah sejak kemerdekaan. Filsafat pendidikan masih filsafat lama yakni hukum tabularasa. Peserta didik masih dianggap sebagai kertas putih yang harus dijejali dengan berbagai pelajaran.
Era digital atau e-learning belum mengubah atau belum memengaruhi pendidikan kita secara substansial maupun struktural. Malahan semakin tidak memanusiakan (dehumanisasi). Misalnya, penggunaan finger print sebagai absensi dosen/guru, menurut Prof. Azra, justru tidak manusiawi. Digitalisasi harusnya ditekankan pada pemanfaatannya pada pengembangan ilmu pengetahuan, pengajaran dan penelitian. Konten kurikulum kita juga belum berubah. Hanya berubah sebutan, istilah atau namanya saja.
Beliau menyinggung soal jumlah mata pelajaran (atau beban sks) yang diajarkan di sekolah terlalu banyak dan kurang relevan dengan zaman. Banyaknya mata pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa malah mematikan kreativitas dan menindas imajinasi.
Sehingga pelajar (siswa/mahasiswa) tidak bisa fokus sebab begitu banyaknya pelajaran yang harus dan wajib dipelajari. Solusinya, beberapa (muatan) mata pelajaran perlu dibuang atau tidak perlu dipelajari karena tanpa dipelajari pun semua orang bisa mencarinya di internet.
Kebijakan/peraturan pemerintah masih bersifat represif. Misalnya dalam urusan sertifikasi profesi atau akreditasi lembaga yang terlalu menekan dan memberatkan yang jika tidak dituruti akan berdampak merugikan secara individu maupun lembaga. Beliau mengatakan bahwa kita masih membutuhkan peraturan, namun jangan sampai represif.
Solusi bagi pendidikan harus dimulai dari bawah. Artinya, harus ada institusi pendidikan yang berani melawan arus alias tampil beda. Bukan tanpa risiko memang, namun harus berani berinovasi secara substansial. Tantangan pertama tentunya berasal dari sistem pendidikan itu sendiri.
Pandangan di atas memang perlu masukan dan kritikan. Kritikan atau saran dikembalikan kepada pembaca masing-masing. Karena tentunya konteks yang kita alami berbeda-beda, oleh karena kekayaan budaya di Indonesia, maka kita perlu menyesuaikannya dengan kultur daerah kita masing-masing.
II
Masalah pendidikan kita tidak berdiri sendiri, begitu kata pemateri kedua, Dr. Masduki Ahmad. Ibarat lingkaran setan, masalah pendidikan kita sulit diuraikan dan dicari pangkal awalnya. Kemiskinan, pendidikan rendah, masalah keluarga, budaya, masalah kesehatan, akses, infrastruktur, fasilitas, dan lain sebagainya, menjadi isu-isu yang langsung berpengaruh pada pendidikan.
Di zaman global saat ini, yang menjadi tantangan pendidikan kita adalah meningkatkan sumber daya manusia yang unggul, profesional dan berintegritas. Pengembangan sumber daya manusia paling strategis dan efektif dimulai dari sekolah, selain keluarga tentunya.
Kelemahan kita adalah sedikit sekali yang benar-benar memiliki passion di dunia pendidikan. Profesi keguruan belum menarik sehingga menjadi pilihan akhir karir. Kebijakan pendidikan kita jarang mengkaji efek samping dari kebijakan yang diputuskan. Dan di era digital ini, masih saja menerapkan "jawaban tunggal". Maksudnya, guru/dosen masih dianggap (atau menganggap diri) sebagai sumber pengetahuan. Jika tidak mengikuti kata guru, maka tidak dapat nilai.