Mohon tunggu...
Darius Tri Sutrisno
Darius Tri Sutrisno Mohon Tunggu... Pramusaji - Penjaga warung kopi samiroto

Sadar belum tentu obyektif ;)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kesunyian Seorang Buruh

15 Juni 2019   09:03 Diperbarui: 15 Juni 2019   09:41 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara gaduh mulai terdengar. Bagaikan air yang mampu mengisi ruang-ruang terkecil. Suaranya merasuk dengan perlahan. Mengelus-elus gendang telinga. Kemudian mengeras dan semakin keras---memenuhi semua bagian indera pendengar. Ini ialah tanda dari mata harus dibuka lebar-lebar untuk memulai segala sesuatunya lagi.

Suara pertama ialah kucing mengejar mangsa. Kedua, suara pintu yang terbuka dan menutup kembali. Ketiga, suara barang pecah-belah. Keempat, suara orang berjalan. Kelima, pintu tertutup tidak terbuka lagi. Keenam, suara anak kecil menangis. Ketujuh, teriakan tetangga. Kedelapan, suara orang seakan meminta sesuatu. 

Lalu, yang kesembilan motor yang baru dinyalakan. Dan kesepuluh, suara dari sebuah alarm. Terakhir atau yang kesebelas ialah ajakan dari seseorang untuk segera bangun.

Matapun terbuka namun terlampau lengket untuk dibuka sempurna. Berjalan terseok-seok menuju kamar mandi dan tertidur di bangku panjang karena lamanya mengantri. Maklum, kamar mandi hanya disediakan tiga oleh pemilik kos. Demikian akan membuang-buang waktu dengan jumlah penghuni empat kali lipat dari jumlah kamar mandi. Ini yang membuat bangun lebih dini adalah keharusan.

Mendapatkan kos dengan harga 300 ribu sebulan sangatlah mungkin apabila di daerah padat industri. Mau tidak mau pendapatan buruh tetap menjadi tolok ukur segala kemungkinan bisnis. Termasuk bisnis kos-kosan.

Badan bersih dan kini tinggal berpakaian. "Seragam keagungan dimanakah engkau! Kemarilah, aku membutuhkanmu lagi!" Tumpukan baju dimana-mana dalam ruang tidur yang hanya sepetak. Dinding berwarna hijau tua, membentuk lubang, berbentuk abstrak, dibentuk kelembaban alam dan tembok yang terbilang tidak kedap alam. "Ketemu!" Seragam biru pucat itu ketemu.

Seragam itu dipakai---yang kemarin hari juga sudah dipakai. Memang, dua hari sekali baru berganti baju karena jatah seragam hanya tiga helai untuk masing-masing pekerja.

Semua sudah siap. "Apakah sarapan dulu ya. Tapi tidak sempat. Langsung saja ke pabrik." Berjalan sepuluh menit menuju halte. Menunggu lagi sekitar lima menit dan bus sudah penuh sesak. Berdesakan jadi tak terelakan.

Dalam perjalanan semua menoleh kanan kiri. Tampak semua seperti sedang beradu cepat menjemput rejeki. Bunyi klakson saling menyahut membentuk sebuah nada tak karuan. Memusingkan kepala dan dengan gampang mengikis kebahagiaan seseorang. 

Di sudut lain terlihat segerombolan orang yang berbaris menyimak instruksi di depan satu orang mandor proyek. Di kejahuan ada keluarga dengan dua orang anak yang lucu-lucu. Mereka cukup bahagia jika dilihat dari suasana hangat yang dipancarkan. Mereka menaiki mobil lalu pergi.

"Macet! Lagi-lagi macet. Macet terus, padahal sedikit lagi." "Kalau dalam 15 menit lagi masih macet---habis sudah."

Sampai sudah di depan gedung yang berdiri di atas tanah seluas dua hektar lebih. Melewati pos penjagaan, melewati warteg Bu Yumi, menyapa security yang melahap nasi campur. Nyaris, waktu memberi lima menit untuk kesempatan checklock.

Suasana ramai dalam pabrik. Para pekerja biasa menikmati waktu senggang dengan mengobrol. Ini dalam ruang bagian pemotongan yang di dominasi laki-laki. Pekerja perempuan berada di bagian finishing atau membentuk pola.

Mesin cutting beradu dengan tenaga manual. Kadang tenaga bersitegang dengan target produksi yang di tentukan. Ratusan pola per hari. Literan keringat yang tumpah. Konsentrasi seutuhnya dari seorang manusia. Dan kecekatan luar biasa dari sekumpulan manusia menciptakan suatu komoditas. 

Di sudut timur, tepatnya di lantai dua, berdiri bangunan kecil. Bangunan sekilas tampak biasa dari luar---yang sejujurnya tampak nyaman di bagian dalam. Di sana adalah kantor adminstratif pabrik. Sebagian bangunan ditempeli CCTV. Sebagian lain, terpampang dua kaca satu arah yang besar. Dari sini pengawas bekerja. Dari sana pula pekerjaan selain produksi berlangsung.

"Tingtingtingitingtingting..."

Bunyi bel istirahat. Menarik napas perlahan dan mengeluarkannya dengan kasar. Setiap orang melepas atribut dan perlengkapan kerja. Tidak semua menuju warteg Bu Yumi. Rombongan besar pekerja perempuan berbondong-bondong ke toilet dan dua atau tiga orang berjalan ke arah warteg.

"Pesanan seperti biasa Bu." Begitu juga pekerja lain, "Sudah samakan saja Bu yang penting perut kenyang." "Tambahlah Bu nasinya", timpal seseorang sambil menyodorkan piring. Nampak sekali tenaga terkuras habis setelah memotong puluhan kain.

Satu jam sudah habis. Makanan sudah habis. Rokok tinggal seperempat dari batangnya. Tapi badan terasa lemas kekenyangan. Masih ingin enak-enakan duduk di atas kursi sandar Bu Yumi.

Satu orang pergi kembali, disusul oleh yang lain. Menyisakan satu orang bujangan. Bujangan yang tidak kenyang tidak juga merasa lapar. Sekedar kehausan dan sekedar keinginan untuk merokok.

"Duluan saja nanti aku menyusul. Lagipula masih ada sisa waktu untuk sebatang rokok lagi"

Kancing baju sengaja di buka beberapa agar angin alam dapat hinggap walau sejenak. Gesekan angin pada kulit di siang hari yang panas memang selayaknya kekasih yang meredamkan amarah. Tipis rasanya menggesek-gesek kulit. Sangat nikmat dipenghabisan rokok itu.

"Terima kasih Bu. Masukan saja di catatan. Seminggu lagi aku lunasi."

Apa tenaga sudah terisi penuh? Bagaimana menjelaskan nasi Bu Yumi adalah suplemen pembangkit daya kerja? Apakah cukup jika melihat sisa waktu bekerja masih empat jam lagi dengan produksi yang melebihi daya upaya seorang pekerja? Hanya satu jawaban: tidak cukup. Perusahaan selalu mendapat lebih banyak.

Setelah memasang perlengkapan kerja, si bujang melanjutkan tugasnya. Dilihatnya jarum pendek jam berputar ke kiri lagi dan lagi. Berharap semua derita ini secepatnya usai.

"Tinnngtinngtinngtinngtingg..." "Lega mendengarnya.", kata Si Bujang dengan senyum ramah pada kawan sebelahnya.

Toliet penuh sesak oleh para pekerja yang ingin membasuh badan. Mengelap keringat agar tidak masuk angin. Menggosok-gosok tangan dan kaki. Mencuci muka dengan sabun kecantikan.

Sebentar lagi maghrib. Semua tergopoh untuk pulang kerumah, kontrakan atau menuju kos-kosan seperti Si Bujang.

Menaiki bis kota menyusuri jalanan yang mudah ditebak arus lalu lintasnya. Macet, macet dan macet. Bis tidak terlalu rame. Banyak kursi yang lowong. Sang kernet berada dibelakang bersandar pada tiang pegangan dengan membolak-balik uang pecahan dua ribuan. Sesekali dia berteriak pada karyawan karyawati di pinggir jalan. "Terminal, terminal, ayo terminal , terakhir mbak!"

Naiklah seorang karyawati dan duduk tepat di belakang supir. Dari gayanya, dia seperti pegawai perbankan. Memakai rok mini dan berjaket tipis. Di lengan sebelah kiri menjinjing sebuah tas berisikan sepatu high heels. Perawakannya lumayan---nyata bukan orang pabrikan.

Badan Si Bujang bau keringat meski telah dilap dengan air kran. Seragam biru itu setengah basah dari air bercampur keringat. Dia sejenak memejamkan mata. Akan tetapi lampu kuning kota mendominasi dari kanan maupun kiri. Sekejap demi sekejap menembus kelopak mata hingga sang kernet berteriak "terminal, terminal, ayoo terminal!"

"Apa mampir dulu ya untuk minum kopi. Tapi badan rasanya remuk. Ah langsung saja ke kos."

Dengan merokok sambil berjalan, si bujang menundukan kepalanya takut-takut ada lubang karena jalanan memang remang.

Sampai sudah di pemberhentian akhir. Melepas seragam, memasukannya dalam ember lalu mengambil handuk. Kali ini tidak ada antrian. Semua tetangga masih berada di jalanan mengais rupiah.

"Segar---selesai sudah." Punggung ditempelkan rata diatas kasur tipis. Makan malam yang telah direncanakan kandas dan akan di lunasi esok hari. Badan kelewat lelah, pikiran tersedot habis, dompet menipis dan besok kembali ke awal lagi selama enam hari. Sisa lima hari lagi, maka lima hari lagi runtinitas menguras tenaga itu berakhir.

Semua yang terberi oleh pendidikan, oleh alam, oleh Sang Kuasa, kian hari kian meredup. Kiat-kiat mati sebagai manusia segera mewujud.

Dengan mata terpejam Si Bujang berkata dan mengembuskan nafas panjang: "Cepatlah hari Minggu. Andai bisa dipercepat.." 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun