Kalimat “Kembali Ke Diri” dalam pengertian mencoba memahami diri kita sendiri dari aspek penafsiran, penghayatan dari hati secara mandiri. Tidak terhasut oleh narasi politik yang membuat kita kadang kehilangan jati diri. Tersulut emosi, sehingga menjudge siapapun dengan pandangan emosional tanpa memiliki aspek-aspek penting dalam melihat dan menilai setiap fenomena. Termasuk fenomena narasi Sunda dalam kerangka politik dan perdebatan publik.
Dua minggu terakhir saya tergelitik dengan fenomena politik dengan perdebatan narasi Sunda. Membuat beberapa pihak saling mendelegitimasi sesama warga Sunda itu sendiri di media sosial. Terutama kepada Tokoh Sunda Kang Dedi Mulyadi. Dengan situasi itu, saya berusaha membuat video di akun sosial media tiktok mencoba membawa netizen pada konteks yang lebih esensi.
Secara subjektif menurut saya, serangan kepada Kang Dedi Mulyadi sebagai Tokoh Sunda terbagi dalam dua kategori. Pertama; Kelompok terorganisir, yang secara politik memiliki agenda untuk melucuti trust dan pengaruh Kang Dedi Mulyadi sebagai tokoh publik yang berusaha secara konsisten mempertahankan, dan membangun kembali Spirit Sunda di Jawa Barat dengan penuh pengorbanan. Kedua; Kelompok sporadis dan latah politik, yang terhasut atas upaya kelompok pertama untuk membawa alam bawah sadar netizen untuk melupakan jati dirinya sebagai warga Sunda.
Untuk itu dalam tulisan ini, mencoba menerangkan Sunda itu sebenarnya apa? Dari berbagai literatur secara Etimologi Sunda menurut Rouffaer (1905: 16) menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari akar kata "sund" atau kata "suddha" dalam bahasa Sanskerta yang mempunyai pengertian bersinar, terang, berkilau, atau putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289).
Dalam bahasa Kawi dan bahasa Bali pun terdapat kata Sunda, dengan pengertian: bersih, suci, murni, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, atau waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardi Warsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219).
Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter orang Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), wanter (berani), dan pintar (cerdas). Karakter ini telah dijalankan oleh masyarakat Sunda sejak zaman Kerajaan Salakanagara, Tarumanagara, Sunda-Galuh, Pajajaran hingga sekarang. -Wikipedia-
Di luar pengertian etimologis. Sunda memiliki etika dan pandangan hidup yang sangat lengkap. Jika kita kembali ke diri, dalam pengertian mencoba memahami kembali seluruh unsur dalam pengaturan kehidupan Sunda itu sendiri, baik secara historis maupun kebudayaan. Dari beberapa literatur kita akan menemukan beberapa pandangan hidup Sunda yang masih memiliki relevansi dalam kehidupan sehari-hari.
Selain Agama, peradaban orang Sunda juga mempunyai pandangan hidup yang diwariskan oleh nenek moyangnya dan tidak bertentangan dengan Agama. Pandangan hidup orang Sunda yang diwariskan dari nenek moyangnya dapat diamati pada ungkapan tradisional sebagai berikut:
"Hana nguni hana mangké, tan hana nguni tan hana mangké, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna. Hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang. Hana ma tunggulna aya tu catangna." (Sanghyang Siksa Kandang Karesian)
Artinya: Ada dahulu ada sekarang, bila tak ada dahulu tak akan ada sekarang, karena ada masa silam maka ada masa kini, bila tak ada masa silam takkan ada masa kini. Ada tunggak tentu ada batang, bila tak ada tunggak tak akan ada batang, bila ada tunggulnya tentu ada batangnya.[Wikipedia]
Penjabaran dalam ungkapan tradisional ini. Menandakan bahwa penghormatan kepada yang lebih dulu atau lebih tua merupakan ajaran yang tumbuh dalam peradaban Sunda sejak dahulu.
Selain pandangan hidup sebagaimana disebutkan diatas. Pengaturan relasi sosial Sunda tercermin dalam dua model hubungan keteraturan. Jika kita benar-benar membaca dan mempelajarinya secara netral, akan menemukan jati diri Sunda itu sendiri yang hampir terlupakan akibat situasi politik dan media sosial serta rendahnya minat literasi di tengah banyaknya sumber informasi sebagai buah dari kemajuan teknologi.
Secara historis dan sosiologis, ada dua hubungan sosial atau relasi sosial Sunda yang secara konkret dapat menjadi acuan untuk kembali ke diri. Atau kembali memahami diri sendiri sebagai warga Sunda.
Pertama; Hubungan antara sesama manusia
Hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakat Sunda pada dasarnya harus dilandasi oleh sikap “silih asah, silih asuh, dan silih asih”, artinya harus saling mengasah atau mengajari, saling mengasuh atau membimbing dan saling mengasihi sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan, seperti tampak pada ungkapan-ungkapan berikut ini:
Kawas gula eujeung peueut yang artinya hidup harus rukun saling menyayangi, tidak pernah berselisih.
Ulah marebutkeun balung tanpa eusi yang artinya jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya.
Ulah ngaliarkeun taleus ateul yang artinya jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keburukan atau keresahan.
Ulah nyolok panon buncelik yang artinya jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain dengan maksud mempermalukan.
Buruk-buruk papan jati yang artinya berapapun besar kesalahan saudara atau sahabat, mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya.
Kedua; Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya
Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan hidup orang Sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjunjung tinggi hukum, membela negara, dan menyuarakan hati nurani rakyat. Pada dasarnya, tujuan hukum yang berupa hasrat untuk mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga keadaan, dan menjaga solidaritas sosial dalam masyarakat. Masalah ini dalam masyarakat Sunda tertuang dalam ungkapan-ungkapan:
Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balaréa (harus menjunjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara, dan bermufakat kepada kehendak rakyat.
Bengkung ngariung bongkok ngaronyok (bersama-sama dalam suka dan duka).
Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju (memohon pertimbangan dan kebijaksanaan yang seadil-adilnya, memohon ampun) [Wikipedia]
Jika kita kembali kepada tiga hal, “Sunda secara etimologi, Sunda Dalam Pandangan Hidup dan Sunda Dalam Hubungan Sosial” Semestinya kita tidak akan bersikap skeptis kepada sesama warga Sunda, terutama kepada tokoh-tokoh penting yang terus memperjuangkan spirit Sunda sebagai kebudayaan di Jawa Barat. Terutama kepada Kang Dedi Mulyadi yang secara konsisten menerjemahkan spirit Sunda dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Alasannya sederhana. Situasi politik hanyalah dinamika sesaat, atau setidaknya situasi lima tahunan yang belum tentu menghadirkan manfaat penting dalam kehidupan kita kedepan.
Tetapi spirit kebudayaan dan hubungan sesama warga negara. Khususnya sesama warga Sunda adalah peradaban yang akan terus ada sepanjang hidup umat manusia. Maka sekali lagi sebagai penutup dalam tulisan ini mengajak pembaca untuk “Kembali Ke Diri” agar mengenali kembali Sunda sebagai jati diri Jawa Barat. Jika secara sadar kita mampu kembali ke diri, maka tidak akan mungkin membenci atau menghina Kang Dedi Mulyadi di media sosial.
Sebarkann..!
Hatur Nuhun
Jakarta 11 Januari 2024
Juson Simbolon
Blogger Fans Kang Dedi Mulyadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H