Artinya: Ada dahulu ada sekarang, bila tak ada dahulu tak akan ada sekarang, karena ada masa silam maka ada masa kini, bila tak ada masa silam takkan ada masa kini. Ada tunggak tentu ada batang, bila tak ada tunggak tak akan ada batang, bila ada tunggulnya tentu ada batangnya.[Wikipedia]
Penjabaran dalam ungkapan tradisional ini. Menandakan bahwa penghormatan kepada yang lebih dulu atau lebih tua merupakan ajaran yang tumbuh dalam peradaban Sunda sejak dahulu.
Selain pandangan hidup sebagaimana disebutkan diatas. Pengaturan relasi sosial Sunda tercermin dalam dua model hubungan keteraturan. Jika kita benar-benar membaca dan mempelajarinya secara netral, akan menemukan jati diri Sunda itu sendiri yang hampir terlupakan akibat situasi politik dan media sosial serta rendahnya minat literasi di tengah banyaknya sumber informasi sebagai buah dari kemajuan teknologi.
Secara historis dan sosiologis, ada dua hubungan sosial atau relasi sosial Sunda yang secara konkret dapat menjadi acuan untuk kembali ke diri. Atau kembali memahami diri sendiri sebagai warga Sunda.
Pertama; Hubungan antara sesama manusia
Hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakat Sunda pada dasarnya harus dilandasi oleh sikap “silih asah, silih asuh, dan silih asih”, artinya harus saling mengasah atau mengajari, saling mengasuh atau membimbing dan saling mengasihi sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan, seperti tampak pada ungkapan-ungkapan berikut ini:
Kawas gula eujeung peueut yang artinya hidup harus rukun saling menyayangi, tidak pernah berselisih.
Ulah marebutkeun balung tanpa eusi yang artinya jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya.
Ulah ngaliarkeun taleus ateul yang artinya jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keburukan atau keresahan.
Ulah nyolok panon buncelik yang artinya jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain dengan maksud mempermalukan.
Buruk-buruk papan jati yang artinya berapapun besar kesalahan saudara atau sahabat, mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya.
Kedua; Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya
Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan hidup orang Sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjunjung tinggi hukum, membela negara, dan menyuarakan hati nurani rakyat. Pada dasarnya, tujuan hukum yang berupa hasrat untuk mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga keadaan, dan menjaga solidaritas sosial dalam masyarakat. Masalah ini dalam masyarakat Sunda tertuang dalam ungkapan-ungkapan: