Tak heran, jika pihak Kementerian Perindustrian RI (Kemenperin RI) pun mempertanyakan adanya wacana itu. Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin RI, Edy Sutopo, dalam keterangan persnya, 16 September 2021, menyatakan keheranannya.
"Kenapa kita sering terlalu cepat mewacanakan suatu kebijakan, tanpa terlebih dahulu mengkaji secara mendalam dan komprehensif berbagai aspek yang akan terdampak," ujarnya.
Pertemuan Diam-diam Oleh BPOM
Menurut beberapa sumber, BPOM secara diam-diam telah mengadakan pertemuan dengan sejumlah pihak pada 13 September 2021 di kantornya. Pertemuan itu membicarakan wacana perubahan batas toleransi migrasi Bisfenol A (BPA) dalam kemasan makanan dan minuman, dari sebelumnya 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg) menjadi 0,1 bpj.
 Pertemuan itu juga mewacanakan pelabelan AMDK yang menggunakan kemasan plastik yang mengandung BPA, agar mencantumkan keterangan "Bebas BPA dan turunannya" atau "Lolos batas BPA" atau kata semakna.
Tentang informasi ini, Edy Sutopo bahkan menyatakan kaget,. karena tidak ikut diundang dalam pertemuan tersebut. Menurut Edy, seharusnya BPOM mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan itu.
Misalnya, kata Edy, BPOM harus melihat negara mana yang sudah meregulasi terkait BPA ini. Adakah kasus yang menonjol yang terjadi di Indonesia ataupun di dunia, terkait dengan kemasan yang mengandung BPA ini.
Juga, adakah bukti empiris yang didukung metode ilmiah untuk membenarkan wacana itu. Lalu, apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan. Edy mempertanyakan, "Dalam situasi pandemi, di mana ekonomi sedang terjadi kontraksi secara mendalam, patutkah kita menambah masalah baru yang tidak benar-benar urgen?"
Kondisi Psikologis Masyarakat
Edy juga menggarisbawahi dampak yang akan ditimbulkan kebijakan itu terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang existing, yang jumlahnya tidak sedikit. Ditambah lagi, dampak terhadap kondisi psikologis masyarakat, yang selama ini mengkonsumsi AMDK galon isi ulang.
Ditambahkan oleh Edy, BPOM perlu lebih berhati-hati dalam melakukan setiap kebijakan yang akan berdampak luas terhadap masyarakat. "Mestinya setiap kebijakan harus ada RIA (Risk Impact Analysis) yang mempertimbangkan berbagai dampak. Antara lain: teknis, kesehatan, keekonomian, sosial, dan lain-lain," tegasnya.