"Jadi mereka (JPKL) yang bawa galonnya ke kita, dan bukan kita yang mencari sampel galonnya. Hasilnya kemudian kita berikan kepada mereka. Tapi yang perlu digarisbawahi, kita tidak tahu sampel galonnya dari mana dapatnya, apakah sampling-nya mewakili yang ada di pasaran juga kita tidak tahu. Proses sampling-nya seperti apa, kita tidak tahu," katanya.
Kengototan dan Kengawuran JPKL
Dari penjelasan TUV NORD Indonesia Laboratories, terlihat bahwa klaim-klaim bombastis yang disebarkan JPKL melalui media online adalah klaim sepihak yang jauh dari kebenaran. Kalau JPKL mengklaim bahwa kesimpulan yang dibuatnya didasarkan pada "eksperimen" atau "penelitian ilmiah," terlihat bahwa dari metode yang dilakukannya sendiri tidak layak disebut ilmiah.
Pertama, JPKL itu organisasi wartawan yang tidak punya kapasitas, apalagi kredibilitas, sebagai lembaga penelitian. Cara pengambilan dan pemilihan sampel galon (dan apa yang kemudian dilakukan terhadap sampel galon itu sebelum diserahkan ke laboratorium penguji) hanya diketahui oleh JPKL. Tidak ada lembaga independen manapun yang terlibat di proses ini.
TUV NORD Indonesia kemudian cuma disuruh menguji sampel yang sudah dipilih JPKL. Jadi TUV Nord Indonesia sebenarnya cuma "diperalat," agar bisa dipinjam namanya untuk "membuktikan secara ilmiah" tentang bahaya BPA di air galon isi ulang.
Kedua, yang juga menunjukkan kengawuran JPKL, yang diuji oleh TV NORD adalah kandungan BPA pada galon, bukan pada air di dalam galon. Padahal yang dikonsumsi oleh masyarakat justru adalah airnya. Memangnya masyarakat itu memakan galon? Ini kekeliruan fatal.
Kalau toh ada kandungan BPA di galon, peneliti dari IPB, Dr Eko Hari Purnomo, sudah menegaskan bahwa BPA tidak larut dalam air. BPA ini hanya larut dalam pelarut organik seperti alkohol, eter, ester, keton, dan sebagainya. Jadi air di dalam galon itu bisa dibilang aman dikonsumsi. Dari dua aspek di atas, terlihat bahwa kesimpulan dan klaim JPKL sangat lemah dan sulit dipertanggungjawabkan.
Namun, selama ini JPKL tetap kukuh dengan kengawurannya. Dari hasil penelitian abal-abal itu, JPKL kemudian tinggal mengemas konferensi pers atau diskusi, yang mengundang keterlibatan pihak ketiga yang polos dan tidak paham konteksnya. Seperti, LSM pemerhati kesehatan anak, dan sebagainya. Keterlibatan mereka sebenarnya cuma diperalat untuk publikasi yang lebih keren.
Dari cara-cara yang dilakukan JPKL ini menimbulkan banyak pertanyaan. Agenda apakah sebenarnya yang dibawa JPKL, karena tindakan JPKL yang sok melakukan "penelitian ilmiah" sebenarnya sudah di luar ranah jurnalistik? Mengapa mereka begitu ngotot memperjuangkan klaim bahaya BPA dalam air galon isi ulang? Apakah JPKL sebenarnya cuma menjadi alat dari "persaingan dagang yang tidak sehat" untuk mengunggulkan produk tertentu? ***
*Satrio Arismunandar adalah penulis buku dan mantan jurnalis Harian Kompas dan Trans TV. Ia salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H