Mohon tunggu...
Satrio Arismunandar
Satrio Arismunandar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku, esais, praktisi media, dosen ilmu komunikasi, mantan jurnalis Pelita, Kompas, Media Indonesia, Majalah D&R, Trans TV, Aktual.com. Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Penulis buku, esais, praktisi media, dosen ilmu komunikasi, mantan jurnalis Pelita, Kompas, Media Indonesia, Majalah D&R, Trans TV, Aktual.com. Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jurnalis Penyebar Hoaks dan Disinformasi soal BPA pada Galon Guna Ulang

15 Mei 2021   20:28 Diperbarui: 23 September 2022   07:30 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kewajiban utama media dan jurnalis adalah menyampaikan kebenaran. Media dan jurnalis seharusnya memberi informasi yang akurat, sesuai fakta, proporsional, dan memberi pencerahan buat masyarakat. Tetapi benarkah demikian dalam praktiknya? Sayang sekali, tidak. Kenyataannya, ada saja jurnalis yang menyalahgunakan profesinya, dan secara sengaja --bahkan sistematis-- menyebarkan hoaks dan disinformasi.

Tujuan penyebaran hoaks dan informasi oleh jurnalis bisa bermacam-macam. Bisa untuk sekadar mencari sensasi, mengejar klik (click bait) di media online, memperbanyak tiras di media cetak, atau mengejar rating di media radio dan TV, yang ujung-ujungnya untuk menggaet pemasang iklan.

Namun, yang lebih berbahaya adalah jika media atau jurnalis itu punya agenda tertentu, yang sebetulnya sudah di luar ranah jurnalisme. Agenda itu, misalnya, adalah menjadi alat kepentingan kelompok tertentu. Kepentingan itu bisa bersifat politik. Seperti, menjatuhkan politisi yang jadi pesaing dalam Pilkada.

Tetapi bisa juga bersifat ekonomi. Seperti, untuk menjatuhkan produk tertentu dan memenangkan produk lain dalam persaingan bisnis. Agenda-agenda semacam itu adalah praktik yang tercela dan melanggar kode etik jurnalistik.

Dalam kaitan agenda semacam itu, tampaknya ada kasus yang melibatkan perkumpulan jurnalis, yang menamakan diri Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan (JPKL). Sejauh yang terpantau, JPKL sejak November 2020 telah "berkampanye" menyebarkan hoaks dan disinformasi tentang bahaya air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang, yang dikatakannya mengandung BPA yang berbahaya bagi anak-anak.

Apa itu BPA? Bisphenol A, yang biasa disebut BPA, adalah substansi yang biasa digunakan dalam pembuatan bahan dan barang tertentu, yang dimaksudkan untuk bersentuhan dengan makanan. Seperti, plastik polikarbonat dan resin epoksi, yang digunakan dalam pernis dan pelapis. BPA digunakan antara lain untuk pembuatan galon, yang biasa dipakai untuk menyimpan AMDK. Galon ini bisa dipergunakan berulang kali untuk air minum isi ulang.

BPA dapat bermigrasi (berpindah) ke makanan/minuman dari bahan atau barang yang bersentuhan, misalnya, dari tempat menyimpan makanan atau tempat air minum. Ini mengakibatkan paparan BPA pada makanan yang dikonsumsi tersebut.

Galon Guna Ulang Aman Menurut BPOM

Karena ada risiko kesehatan, penggunaan BPA sebagai monomer dalam produksi bahan dan barang plastik harus disahkan oleh regulasi Komisi Eropa, dengan batasan-batasan dan aturan tertentu.

Sedangkan di Indonesia, ketentuan penggunaan subtansi BPA dalam produk plastik --yang berhubungan dengan makanan/minuman untuk dikonsumsi manusia-- diatur oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pengaturan ini antara lain diberlakukan pada produk galon isi ulang, yang lazim digunakan untuk AMDK.

Nah, Biro Hubungan Masyarakat dan Dukungan Strategis Pimpinan di laman resmi BPOM RI, telah mempublikasikan aturan itu. Berdasarkan hasil pengawasan BPOM terhadap kemasan galon AMDK yang terbuat dari Polikarbonat (PC) selama lima tahun terakhir, menunjukkan bahwa migrasi BPA ada di bawah 0.01 bpj (10 mikrogram/kg) atau masih dalam batas aman.

"Untuk memastikan paparan BPA pada tingkat aman, Badan POM telah menetapkan Peraturan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Peraturan ini mengatur persyaratan keamanan kemasan pangan termasuk batas maksimal migrasi BPA maksimal 0,6 bpj (600 mikrogram/kg) dari kemasan PC," demikian rilis BPOM.

Dalam pantauan BPOM, galon guna ulang yang banyak digunakan di Indonesia berkategori aman, karena migrasi BPA-nya masih di bawah ambang yang ditetapkan. Produk kemasan yang telah memenuhi syarat dan uji dari BPOM akan mendapatkan Nomor Izin Edar (NIE). Hal itu ditegaskan Direktur Standardisasi Pangan Olahan, Sutanti Siti Namtini. NIE yang diterbitkan BPOM menandakan pemenuhan persyaratan pangan terhadap keamanan, mutu, dan gizi (jurnas.com, 14 November 2020).

"(Maka) jika sudah mendapatkan izin edar, artinya produk tersebut sudah sesuai dengan standar keamanan pangan yang ditetapkan pemerintah, baik dari segi kualitas produk dan proses produksinya," jelas Sutanti. "Semua air kemasan yang beredar di pasar, baik dalam kemasan guna ulang maupun kemasan PET, aman untuk dikonsumsi karena telah memiliki nomer izin edar."

Penggunaan kemasan plastik dalam produk pangan dimaksudkan untuk melindungi keamanan dan kualitas pangan, sejak diproduksi hingga dikonsumsi. Selama puluhan tahun, konsumen Indonesia mengkonsumsi air kemasan galon guna ulang secara aman, karena kemasan ini bisa digunakan berulangkali, setelah melalui proses pensortiran dan pencucian secara modern dan hiegienis di pabrik.

Kalangan aktivis lingkungan bahkan memuji kemasan galon guna ulang, karena lebih ramah lingkungan dibandingkan kemasan galon plastik sekali pakai. Ini sejalan dengan target pemerintah, untuk mengurangi 70 persen sampah plastik di lautan pada 2025. Bahkan, kalangan aktivis lingkungan termasuk Greenpeace menyesalkan pemerintah memberi izin air kemasan galon sekali pakai, karena akan menambah jumlah sampah plastik yang beredar di lingkungan.

Mencatut Nama Arist dan Kak Seto

Namun, JPKL tampaknya tidak puas dengan penetapan BPOM itu. JPKL adalah perkumpulan Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan, yang dibentuk pada 10 November 2019. Menurut pengakuan JPKL, visi JPKL adalah "kesehatan dan lingkungan yang baik menjamin kesejahteraan bangsa."

Sedangkan misinya adalah: "melaksanakan fungsi edukasi masyarakat terhadap isu-isu kesehatan dan lingkungan. Membangun sarana dan prasarana pelatihan jurnalis kesehatan dan lingkungan. Mewujudkan tata kelola organisasi profesi yang profesional dan akuntabel. Mendorong lahirnya kebijakan publik yang pro terhadap isu kesehatan dan lingkungan."

Kalau kita baca, kesannya visi dan misi JPKL sangat luhur.  Tetapi anehnya, jika memang visi dan misinya begitu mulia, mengapa JPKL tak segan-segan melakukan berbagai cara yang tidak etis dalam melakukan kampanyenya? 

JPKL "memlintir informasi" dari nara sumber dan mencatut nama-nama tokoh terkenal, untuk mendukung klaim-klaim JPKL, agar bisa mencapai tujuannya. JPKL tampaknya tak segan-segan menerapkan taktik "tujuan menghalalkan cara."

Contohnya, Ketua Komisi Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, dikutip seolah-olah mengeritik penggunaan BPA pada galon guna ulang, yang akan membahayakan anak yang mengkonsumsi air minum dari galon tersebut. Tetapi Arist kemudian membantah keras pencatutan namanya dalam berita itu.

Kepada Antaranews.com (14 November 2020), Arist menegaskan, "Saya tidak pernah diwawancarai akhir-akhir ini dan itu pernyataan tiga tahun lalu, bukan sekarang."

Pernyataan mengenai kandungan BPA tersebut, kata Arist, dalam konteks plastik secara umum. Jadi tidak spesifik ke air minum di kemasan galon plastik isi ulang (jawapos.com, 14 November 2020).

Korban pencatutan nama dan "pemlintiran informasi" lainnya adalah psikolog anak ternama Seto Mulyadi, yang akrab dengan panggilan Kak Seto. Nama Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) itu dicatut dan dikait-kaitkan dalam berita tentang bahaya BPA dalam AMDK galon guna ulang.

Seto pun marah. "Saya tidak ada hubungannya sama sekali dengan hal itu, karena memang bukan bidang saya," ujar Seto (sumbawanews.com, 16 April 2021).

Seto mengakui pernah dimintai tanggapannya oleh seseorang (JPKL) mengenai BPA AMDK galon guna ulang, yang disebutkan bisa membahayakan kesehatan bayi, balita, dan calon bayi dari ibu hamil.

"Tapi waktu itu saya hanya mengatakan, saya memang peduli perlindungan anak. Kalau ada masalah yang menyangkut makanan, minuman diperdebatkan, saya bilang itu harus ditanyakan langsung ke BPOM atau Kementerian Kesehatan yang tepat untuk mengklarifikasi. Itu saja. Jadi saya sama sekali tidak mengatakan sesuatu terkait BPA yang ada di galon guna ulang itu," tuturnya.

"Tapi saya kok diikut-ikutkan dalam masalah persaingan dagang. Saya curiga ini ada persaingan dagang dan coba-coba melibatkan saya. Saya tidak mau. Saya hanya peduli pada perlindungan anak. Dalam hal ini saya anggap pencatutan saja. Itu hanya memanfaatkan nama saya saja," ucap Seto.

Sebetulnya bukan cuma Arist dan Seto yang dicatut namanya. Ada beberapa nara sumber lagi yang merasa keterangannya "diplintir," tapi nama-nama dan kasus mereka tidak akan dibahas di sini karena akan terlalu panjang.

Petisi JPKL Dicopot Karena Disinformasi

Tak cukup dengan menyebar berita hasil plintiran di media online, untuk mendukung kampanyenya, JPKL juga menggalang petisi di situs Change.org. Change.org adalah platform petisi terbesar di dunia, yang mewadahi setiap orang yang berkampanye untuk memobilisasi pendukung, dan bekerja dengan pengambil keputusan untuk mencari solusi.

JPKL membuat petisi berjudul "Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM): Selamatkan Bayi Kita dari Racun Bisphenol A (BPA)." Dengan bangga, JPKL  sempat mengumumkan, hanya dalam tempo 1 bulan, JPKL sudah mampu menggalang lebih dari 50 ribu warganet untuk menandatangani petisi yang dibuat JPKL (suaramerdekajkt.com, 5 Maret 2021).

Isi petisi tersebut adalah mengajak masyarakat untuk bersama JPKL mendesak BPOM, agar mengeluarkan peraturan Label Peringatan Konsumen galon guna ulang yang mengandung BPA. Alasannya, "untuk melindungi konsumen usia rentan, agar air di dalam galon guna ulang tidak dikonsumsi oleh bayi, balita dan janin pada ibu hamil."

JPKL bersuara keras. "Bagi bayi, balita dan janin pada ibu hamil, tak ada toleransi bagi BPA. Jangan mau ambil risiko dengan mempercayai kata--kata ambang batas. Kalau bagi orang dewasa masih bisa ditoleransi. Kalau bagi bayi, balita dan janin harus diberikan yang terbaik, demi melindungi kesehatan bayi dan balita Indonesia," kata JPKL.

Tampaknya JPKL mau mengarahkan agar diberlakukan zero toleransi terhadap zat BPA dalam  produk galon guna ulang. Seolah-olah konsumen, khususnya bayi dan anak, akan  bertumbangan karena minum air dari galon guna ulang. Padahal tidak pernah terdengar kasus ada bayi atau anak, yang sakit karena terpapar BPA akibat minum air dari galon guna ulang. JPKL sengaja mau membuat heboh.

JPKL tak ubahnya seperti orang yang berteriak-teriak, agar mewaspadai dan menghindari sinar matahari, karena bisa menyebabkan kulit terbakar. Sinar ultraviolet dari matahari juga dibilang bisa merusak kornea mata.

Ya, tentu saja. Kalau kita berjemur di tepi pantai begitu lama di bawah sinar matahari yang terik, kulit bisa terbakar. Kalau kita menatap matahari terlalu lama, sinarnya juga bisa merusak mata. Segala sesuatu, bukan cuma BPA, jika dikonsumsi atau terpapar ke manusia dalam ukuran yang melebihi ambang batas tertentu, bisa berdampak negatif.

Tetapi selama hal itu dikonsumsi atau kita terpapar dalam ukuran yang sangat minimal, di bawah ambang batas bahaya yang ditentukan (ada ukurannya secara ilmiah), ya bisa dibilang tidak akan berdampak negatif apa-apa.

Seperti halnya dengan adanya bahaya sinar matahari, toh para turis tetap saja berjemur matahari di tepi pantai. Tidak ada yang heboh atau ribut, bahwa berjemur itu akan membuat kulit terbakar atau sinar matahari akan merusak kornea mata.  

Mengapa? Karena orang mengerti, semua risiko bahaya itu bisa ditanggulangi dengan cara yang proporsional dan sederhana. Seperti, mengatur durasi waktu agar kulit tidak terlalu lama dijemur matahari. Atau, menggunakan krim pelindung kulit. Bisa juga, mengenakan kacamata hitam agar mata tidak terpapar oleh silaunya sinar matahari.

Jadi, jika JPKL bilang, "jangan mau ambil risiko dengan mempercayai kata--kata ambang batas," seruan JPKL itu justru terlalu mengada-ada. Kuncinya secara rasional justru terletak pada disiplin menaati ambang batas.

Apakah orang harus "ngumpet" terus, agar tidak terkena sinar matahari, dan dengan demikian menghindarkan terbakarnya kulit dan rusaknya kornea mata? Saya kira, mayoritas orang yang berakal sehat tidak akan memilih langkah ekstrem seperti itu. Apalagi sinar matahari pada kadar yang wajar justru punya efek menyehatkan, menghasilkan Vitamin D yang dibutuhkan tubuh.

Karena pendekatan ekstrem JPKL yang bernuansa pelintiran, hoaks dan disinformasi itulah, petisi JPKL dicopot oleh pengelola Change.org. Ada hal-hal yang bisa memaksa Change.org untuk menurunkan petisi dari para penggagasnya (wartaekonomi.co.id).

Direktur Komunikasi Change.org, Arief Aziz, pada 3 April 2021, mengatakan, sama dengan platform lainnya, di Change.org juga ada flagging mechanism atau hal-hal yang dilarang, yang dibuat dalam panduan komunitas. Dia mengatakan, konten yang mengandung disinformasi merupakan hal yang dilarang dimuat dalam petisi. Konten terlarang lain adalah yang mengandung kekerasan, pornografi, dan ujaran kebencian.

Menurut Arief, kasus disinformasi tidak bisa sembarangan ditetapkan sebagai petisi disinformasi. Untuk kasus disinformasi, Change.org bisa memutuskan langsung untuk menurunkan petisinya, jika ada surat resmi dari pihak berwenang, yang menyatakan bahwa petisi itu merupakan disinformasi. Yang berwewenang dalam hal ini adalah pemerintah atau lembaga hukum lainnya.

Change.org mempunyai tim kebijakan atau policy yang menangani kasus-kasus seperti ini. "Jadi, kalau misalnya ada satu hal yang kita lihat di sini bahwa disinformasi petisi itu efeknya bisa berdampak buruk sekali, mungkin saja kita putuskan untuk kita turunkan. Dengan adanya kemudian permintaan dari yang berwewenang, petisi itu menjadi lebih kuat untuk kita turunkan," tegasnya.

Arif mencontohkan kasus petisi yang dibuat JPKL, yang telah diturunkan (tidak ada lagi di situs Change.org) karena mengandung konten berisi disinformasi.

"Kita diminta Kemenkominfo yang mengirimkan surat lewat sosial media kita, untuk menurunkan petisi itu karena dianggap disinformasi. Kemudian kami langsung mengirim surat secara formal ke tim global kami di pusat, supaya bisa diproses pencabutan petisinya. Kita juga memberitahukan penggagas petisi apa yang telah terjadi dengan alasan penurunan petisinya," tutur Arif.

Arief juga mengatakan, Change.org tidak memperbolehkan para pembuat petisi menggunakan hacking system untuk memperbanyak email-email yang tidak teridentifikasi yang menandatangani sebuah petisi. "Ini terlihat dari ada orang yang menandatangani petisi itu lebih dari sekali. Nah, kita memiliki mesin tertentu untuk spoting hacker itu dan jumlah petisinya akan turun secara otomatis," ujarnya.

Semoga perilaku JPKL, yang menggunakan berbagai cara tak etis untuk melakukan kampanye anti-galon guna ulang dengan dalih menolak BPA, tidak berlanjut. Hal ini karena cara-cara JPKL itu bertentangan dengan kode etik jurnalistik. ***

***

*Satrio Arismunandar adalah mantan jurnalis Kompas dan Trans TV, pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan pernah mengajarkan ilmu jurnalistik di UI dan beberapa universitas swasta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun