Karena pendekatan ekstrem JPKL yang bernuansa pelintiran, hoaks dan disinformasi itulah, petisi JPKL dicopot oleh pengelola Change.org. Ada hal-hal yang bisa memaksa Change.org untuk menurunkan petisi dari para penggagasnya (wartaekonomi.co.id).
Direktur Komunikasi Change.org, Arief Aziz, pada 3 April 2021, mengatakan, sama dengan platform lainnya, di Change.org juga ada flagging mechanism atau hal-hal yang dilarang, yang dibuat dalam panduan komunitas. Dia mengatakan, konten yang mengandung disinformasi merupakan hal yang dilarang dimuat dalam petisi. Konten terlarang lain adalah yang mengandung kekerasan, pornografi, dan ujaran kebencian.
Menurut Arief, kasus disinformasi tidak bisa sembarangan ditetapkan sebagai petisi disinformasi. Untuk kasus disinformasi, Change.org bisa memutuskan langsung untuk menurunkan petisinya, jika ada surat resmi dari pihak berwenang, yang menyatakan bahwa petisi itu merupakan disinformasi. Yang berwewenang dalam hal ini adalah pemerintah atau lembaga hukum lainnya.
Change.org mempunyai tim kebijakan atau policy yang menangani kasus-kasus seperti ini. "Jadi, kalau misalnya ada satu hal yang kita lihat di sini bahwa disinformasi petisi itu efeknya bisa berdampak buruk sekali, mungkin saja kita putuskan untuk kita turunkan. Dengan adanya kemudian permintaan dari yang berwewenang, petisi itu menjadi lebih kuat untuk kita turunkan," tegasnya.
Arif mencontohkan kasus petisi yang dibuat JPKL, yang telah diturunkan (tidak ada lagi di situs Change.org) karena mengandung konten berisi disinformasi.
"Kita diminta Kemenkominfo yang mengirimkan surat lewat sosial media kita, untuk menurunkan petisi itu karena dianggap disinformasi. Kemudian kami langsung mengirim surat secara formal ke tim global kami di pusat, supaya bisa diproses pencabutan petisinya. Kita juga memberitahukan penggagas petisi apa yang telah terjadi dengan alasan penurunan petisinya," tutur Arif.
Arief juga mengatakan, Change.org tidak memperbolehkan para pembuat petisi menggunakan hacking system untuk memperbanyak email-email yang tidak teridentifikasi yang menandatangani sebuah petisi. "Ini terlihat dari ada orang yang menandatangani petisi itu lebih dari sekali. Nah, kita memiliki mesin tertentu untuk spoting hacker itu dan jumlah petisinya akan turun secara otomatis," ujarnya.
Semoga perilaku JPKL, yang menggunakan berbagai cara tak etis untuk melakukan kampanye anti-galon guna ulang dengan dalih menolak BPA, tidak berlanjut. Hal ini karena cara-cara JPKL itu bertentangan dengan kode etik jurnalistik. ***
***
*Satrio Arismunandar adalah mantan jurnalis Kompas dan Trans TV, pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan pernah mengajarkan ilmu jurnalistik di UI dan beberapa universitas swasta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H