Aku mengangguk, berusaha menunjukan wajah antusias walau sudah kudengar cerita ini berkali-kali
"Ibumu seperti lelaki. tapi dari rambut panjang dan senyumnya, bapak tau bahwa dia perempuan. di pinggir sawah, Bapak duduk dan memerhatikan. Kemudian, biasa saja ia mengajak bapak bergabung dan mulai hari itu, hari pertama bapak mengenal ibumu. Kami berteman."
"walau tomboy bukan main, ia tidak ingin anak laki-lakinya jadi keras. Ia malah merawatmu dengan nilai-nilai kelembutan. kalau kamu bertanya kenapa bapak tidak pernah marah? Ibumu-lah alasannya."
yang ini aku baru tau
"Ia punya masa kecil yang pahit. Di pahanya, ada bekas luka yang kalau ditunjukan padamu, mungkin kau tidak akan pernah mau bertemu eyang lagi"
"ia selalu ingin kamu disirami kasih sayang setiap hari. Sekarang nak, jawab lah bapak." Bapak mendekatkan wajah ke arahku
"sudah cukupkah kasih sayang ibumu selama ini?"Â
Aku menunduk, serasa segala pedih yang kutumpuk pecah detik itu juga. Air mata mengalir deras.Â
"Aku telah mencintai ibumu" lanjut bapak
"dan kini aku melanjutkan hidup tanpa dia, seperti berjalan di tanah yang bergoyang nak."
Bapak ikut menangis sesaat, memegang lengan kursi, kemudian minum seteguk teh hangat yang ia bawa ke atas meja.