Mohon tunggu...
Satrio Anugrah
Satrio Anugrah Mohon Tunggu... Lainnya - Football Coach, Football Writer

Menulis untuk menyenangkan diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tangis di pinggir kuburan

27 Januari 2021   17:58 Diperbarui: 28 Januari 2021   11:59 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah 40 tahun bersama, tangisan bapak di pusara ibu bukanlah hal yang mengagetkan buatku. Nisan kayu itu dibasahi air mata. Gundukan tanah baru berhias mawar melati dipeluknya seakan itu adalah tubuh ibu yang begitu ia cinta. Aku seperti anak durhaka karena hanya menangis sebentar saja. Tadi pagi, saat bapak terisak mengatakan bagaimana ibu meninggal aku menangis sejadi-jadinya. Rekan kerja dan bosku mengira aku kesurupan karena kencing di sembarang tempat pada awalnya. Ketika kusampaikan bagaimana ibuku meninggal mereka diam, membiarkan aku pulang.

Ibu dikebumikan setelah dzuhur. Aku bersama kerabat dekat kembali ke rumah lebih cepat karena ditunggu pelayat. Bapak baru kembali jelang maghrib, tergopoh langkahnya, basah pipinya. Bapak paham agama, ia alumnus salah satu pesantren terkenal di jawa. Namun seburuk-buruknya prasangka, bapak seperti tak ikhlas. Tak ada satupun pelayat yang ia beri pandang, akulah yang sibuk tersenyum, menyapa, dan memohon maaf pada mereka seumpama selama hidup ibu punya dosa. 

Bapak mengurung diri di kamar sepanjang malam. Aku tidur di ruang tamu bersama paman dan beberapa orang sepupu. Dari balik pintu, ku dengar isak dan ratap bapak pada ibu. ku antar ke dalam sepiring nasi beserta lauk, juga teh hangat dan kulihat bapak terlelap dengan foto ibu terselungkup di dada. Ya tuhan, bapak telah kehilangan hidupnya.

4 tahun terakhir, aku bekerja di kota. Sebagai anak satu-satunya aku ingin menopang hidup orangtua sekaligus enggan meninggalkan mereka hidup berdua saja di desa. sebulan aku bekerja, kabar buruk tiba. Ibu terkena stroke. Hatiku bergetar sedih saat harus memberikan gaji pertama dalam bentuk sebuah kursi roda.

Sejak itu aku lebih sering pulang ke rumah untuk menengok ibu. Ibuku seorang yang lincah, selalu ada saja yang ia kerjakan. Pernah satu waktu ia mengganti lampu ruang tamu yang mati dengan tangga yang ia pikul sendiri dari rumah tetangga. Kini, aku lemas melihat semangat itu terkunci di atas kursi roda. Ibuku yang cantik, ibuku yang baik, mendapat kemalangan yang tak terperi macam ini. Aku marah, hasrat yang tersisa adalah untuk membenci hidup, namun aku lihat ibuku kini mengisi waktu dengan lebih sering membaca kitab suci. Bahkan bila ia lihat mataku mulai berair karena sedih, segera ia berucap "lucu ya lihat ibu ga bisa lompat-lompat lagi?".

Bapak tak pernah sedikitpun membiarkan aku membantunya merawat ibu. Memandikan, mengganti baju, membersikan pispot, semua dilakukan sendirian. "Ini tugas bapak!" sergahnya. Tiap sore, Bapak mengajak ibu bercengkerama di depan rumah. Menyaksikan matahari terbenam di balik kebun jagung. Tiap Malam, Bapak mengganti jadwal mengaji dengan menemani ibu menonton sinetron. Musibah ini malah membuat mereka semakin dekat. Aku seperti orang asing yang numpang tinggal di rumah. 

Kondisi ibu memburuk 2 bulan belakangan, hatiku yang hancur tidak bisa dibandingkan dengan apa yang bapak rasakan. Seminggu setelah kematian, bapak masih rutin ke makam, menangis, dan pulang membawa mata sembab. di hari ketujuh pula, Bapak untuk pertama kalinya sejak ibu meninggal, memintaku duduk untuk bicara empat mata.

"Bapak mau cerita" katanya singkat.

Aku menyiapkan diri untuk mendengarkan khidmat.

"Bapak menjumpai ibumu pertama kali di sungai saat ia memancing ikan mujair bersama anak lelaki"

Aku mengangguk, berusaha menunjukan wajah antusias walau sudah kudengar cerita ini berkali-kali

"Ibumu seperti lelaki. tapi dari rambut panjang dan senyumnya, bapak tau bahwa dia perempuan. di pinggir sawah, Bapak duduk dan memerhatikan. Kemudian, biasa saja ia mengajak bapak bergabung dan mulai hari itu, hari pertama bapak mengenal ibumu. Kami berteman."

"walau tomboy bukan main, ia tidak ingin anak laki-lakinya jadi keras. Ia malah merawatmu dengan nilai-nilai kelembutan. kalau kamu bertanya kenapa bapak tidak pernah marah? Ibumu-lah alasannya."

yang ini aku baru tau

"Ia punya masa kecil yang pahit. Di pahanya, ada bekas luka yang kalau ditunjukan padamu, mungkin kau tidak akan pernah mau bertemu eyang lagi"

"ia selalu ingin kamu disirami kasih sayang setiap hari. Sekarang nak, jawab lah bapak." Bapak mendekatkan wajah ke arahku

"sudah cukupkah kasih sayang ibumu selama ini?" 

Aku menunduk, serasa segala pedih yang kutumpuk pecah detik itu juga. Air mata mengalir deras. 

"Aku telah mencintai ibumu" lanjut bapak

"dan kini aku melanjutkan hidup tanpa dia, seperti berjalan di tanah yang bergoyang nak."

Bapak ikut menangis sesaat, memegang lengan kursi, kemudian minum seteguk teh hangat yang ia bawa ke atas meja.

"kini ia berpesan pada bapak untuk hidup bersama orang lain."

"dengan siapa pak?" tanyaku

"Dengan Bu Risma, orang kampung sebelah"

"bu Risma yang teman sekolah bapak dulu? yang dijodohkan eyang pada bapak tapi bapak memilih ibu?"

"tidak ada Risma yang lain lagi"

"apakah bapak bicara begini untuk meminta izinku?"

"Jangan bodoh!" bentak Bapak

"Aku tidak butuh izinmu. Aku tidak bisa menikah dengan orang lain. Aku tidak bisa hidup dengan yang lain!"

Bapak seketika berdiri. Memakai peci dan melangkah ke kamar. Ia keluar dengan baju koko dan buku yasin di genggaman. 

"Bapak ke makam" Ia berucap pelan. Pergi meninggalkan pintu terbuka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun