Seorang warga pun berteriak meminta bantuan. Ada sesuatu yang berhasil ia temukan. Lalu setelah satu demi satu bebatuan diangkat perlahan-lahan, darah segar masih mengalir dari jasad terliput debu itu. Perlahan-lahan, jasad itu diangkat. Seorang ibu yang memeluk anak bayinya. Tubuh itu masih lemas, dan darah masih mengalir dari kepalanya. Seluruh tubuhnya terliput debu abu-abu, tapi sebagian debu sudah tersapu aliran darah itu.
Bashir sudah menangis ketika melihat tangan terkulai ibunya keluar pertama-tama dari timbunan reruntuhan. Bashir sudah tahu apa artinya semua itu.
“Ummi?” tapi Hanna masih memanggil ibunya dengan polosnya. “Hanifa?” Hanna memanggil adik bayinya yang terkulai lemas tak bernyawa. Seluruh wajah dan tubuhnya tertutup debu, hingga tak terlihat lagi warna pakaian yang digunakan.
Tubuh yang terkulai tanpa nyawa itu diangkat. Sebuah kantong mayat sudah disiapkan di dekatnya. Bashir masih bisa menyaksikan tetesan darah ibunya yang menetes di reruntuhan dan dalam kantong mayat itu. Untuk sementara, jasad ibu dan anak bayi itu disatukan. Tapi ruh mereka tetap bersama selamanya.
Lantunan tahlil dan takbir menggema dari mereka yang turut membantu proses evakuasi korban. Begitu juga di hati Bashir dan Hanna. Sekarang atau nanti mereka akan lekas memahami apa artinya semua ini.
Dengan segala pelajaran yang didapatkan di waktu kecil seperti ini, kelak ketika sudah besar nanti, Bashir akan menjadi pejuang yang sama. Pejuang yang akan membela tanah airnya hingga titik darah penghabisan, melawan zionisme. Israel memang belum mati, tapi sedang menggali kubur mereka sendiri sekarang ini. Secara tak langsung mereka telah mendidik anak Palestina untuk menjadi pejuang yang lebih gigih daripada pendahulu mereka. Pejuang-pejuang yang kelak akan berdiri di garis depan melawan mereka di pertempuran akhir nanti.
Pejuang yang tak memiliki satupun keluarga untuk dikhawatirkan, justru pejuang-pejuang yang merindukan kematian. Pejuang-pejuang yang titik rindunya tidak ada di dunia, melainkan di Surga. Ketika prajurit-prajurit Israel masih merindukan istri dan anak-anak mereka di rumah, para pejuang Palestina justru merindukan anak-istri mereka yang sudah meninggal lebih dulu. Hingga tak ada satupun di dunia ini yang mengganjal hati mereka.
Sebagai seorang manusia, air mata memang tetap mengalir ketika sebuah kesedihan terjadi. Tapi jauh di dalam diri, ada tekad, keberanian, dan harapan, yang merindukan kematian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H