Mohon tunggu...
satria winarah
satria winarah Mohon Tunggu... Programmer - yang mengenal dirinya yang mengenal Tuhannya

Seorang programmer yang membagi hatinya dengan sastra, sejarah, dan militer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kembang Api Tahun Ini

17 Mei 2021   22:38 Diperbarui: 17 Mei 2021   23:02 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu ledakan terjadi. Hanna berlari sekencang yang ia bisa. Kaki pendek dari gadis berumur empat tahun itu tidak bisa melangkah dengan sempurna. Ujung kukunya membentur batu kecil, membuat Hanna langsung terjerembab ke atas tanah. Rasa perih menggigit ujung ibu jari kakinya seiring darah mengalir dari balik kuku yang memerah. Dengan telapak tangannya yang mungil, Hanna berusaha membersihkan debu pada pipinya. Ledakan itu terjadi lagi.

Suara ledakan itu sangat keras, seperti ada tamparan yang mendarat di telinganya. Dari balik bangunan yang tinggi menjulang, Hanna bisa melihat kepulan debu yang menyembur ke atas cakrawala. Hanna tidak tahu kalau kembang api tahun ini akan sangat menakutkan. Bukan hanya Hanna, teman-temannya dan beberapa orang dewasa juga tampak berlarian ke rumah masing-masing. Siapa sih yang meledakkan petasan sekeras itu di pagi hari ini?

“Hanna!” Bashir kakak Hanna datang dari belakang dan segera membangunkannya. “Ayo cepat kita pulang.”

Duarr!!! ledakan terjadi lagi beberapa blok di depan mereka. Bumi berguncang ke kanan dan ke kiri, membuat Hanna terjatuh kembali. Telinga Bashir dan Hanna berdengung kencang, seperti ada sirine yang berteriak di dalamnya. Hanna menutup kedua telinganya dengan penuh rasa takut. Air mata mulai mengalir dari sudut mata gadis empat tahun itu. Api dan cahaya merah dari ledakan itu tampak berkilatan di depan mereka. Saat itu juga, mereka mendengar suara gemuruh yang membuat bumi bergetar sekali lagi. Suara gemuruh terdengar seperti puluhan guntur yang meledak bersamaan. Gedung yang baru saja dihantam ledakan itu ambruk. Melahirkan tsunami debu yang menyapu seluruh penjuru.

Beberapa detik kemudian, gulungan ombak debu menerpa Bashir dan Hanna. Dua bocah kecil itu segera menutup hidung dan mata mereka. Mereka saling memeluk dengan erat, ketika ombak debu itu mendorong mereka berdua hingga tersungkur. Tak hanya debu, ada banyak batu kecil dan kerikil yang bertebaran di dalam gulungan ombak debu itu. Satu persatu menghujani kepala mereka hingga bocor. Darah mengalir dari pelipis dan dahi mereka.

Selama beberapa saat, mereka tertelungkup di atas jalan itu. Tubuh mereka tertimbun debu setebal lima sentimeter. Baru ketika gelombang itu sudah menyusut, Bashir dan Hanna bangkit kembali. Dengan tangan mungilnya mereka berdua mencoba membersihkan wajah mereka. Jemari mungil Hanna perlahan membasuh kelopak mata yang dipenuhi debu. Lalu beralih ke hidung dan bibir. Hanna perlahan membersihkan debu yang memasuki lubang hidungnya. Bashir dan Hanna terbatuk dengan keras karena jutaan debu yang masih bertebaran di udara.

“Ayo cepat kita pulang!” ajak Bashir tak putus semangat. “Ini bukan kembang api. Ini rudal!”

Bashir tujuh tahun dan Hanna empat tahun. Dengan baju terbungkus debu mereka berjalan menuju rumahnya beberapa blok di depan mereka. Di sekitar mereka orang-orang berlarian dengan panik. Ada yang masuk ke rumah, ada juga yang justru berlari ke arah ledakan untuk menyelamatkan korban.

“Hasbunallah wani’mal wakil, ni’mal maula wani’man nashir,” ucap orang-orang yang berlarian menuju pusat ledakan.

Bashir dan Hanna akhirnya sampai di rumahnya yang ada di lantai empat sebuah flat. Tapi ternyata, flat itulah yang baru saja roboh tadi.

“Ummi…?!” jerit Hanna di tengah kepulan debu, di hadapan reruntuhan gedung yang menggunung.

Bashir menahan Hanna yang hendak berlari ke reruntuhan. “Ummi!!!” jerit Hanna lagi.

Tanpa menjerit, air mata sudah mengalir di pipi Bashir. Tangannya tanpa terasa mencengkeram bahu Hanna dengan kencang agar adiknya itu tidak lari. Sebagai kakak dan sebagai laki-laki, Bashir tahu ibu dan adik bayinya tidak akan selamat. Betapa sulitnya menerima kenyataan itu tanpa air mata. Hatinya seperti ditusuk seribu duri. Tubuh Bashir bergetar dalam tangis yang tak terbendung lagi.

Sementara Hanna, gadis kecil itu masih tidak percaya. Dalam harapnya yang tak masuk akal, Hanna ingin ibunya masih hidup di dalam puing-puing batu itu, begitu juga adik bayi mereka.

Puluhan orang kini sudah membantu menggali dan mengangkat sebagian puing-puing untuk mencari korban. Melihat hal itu Hanna semakin meronta. Jemari mungilnya tiba-tiba sanggup mencongkel cengkeraman Bashir dari bahunya, lalu berlari ke atas reruntuhan.

“Hanna!” Bashir pun segera mengejar Hanna ke atas reruntuhan. “Jangan kesini. Bahaya,” ujar Bashir sambil berusaha menarik adik kecilnya lagi ke jalanan. Tapi itu tidak berguna. Hanna seperti punya kekuatan besar yang mampu mengalahkan tenaga Bashir.

Di atas reruntuhan, Hanna berkeliling mencari segala sesuatu yang bisa menjadi petunjuk keberadaan ibunya. Mungkin saja ada selimut, lemari, atau suatu barang yang mencuat di antara puing-puing yang bisa dijadikan patokan lokasi ibunya berada. Hingga setelah lama mencari, Hanna pun menemukannya. Benda itu adalah tempat tidurnya.

Tempat tidur besi itu tampak mencuat sedikit dengan besi-besi yang penyok. Setelah mendekat, Hanna bisa melihat ujung selimut yang tertutup debu dan reruntuhan.

“Ini dia Bashir! Ini kamar kita!!” teriak Hanna dengan telunjuk mungilnya terarah ke bawah. Bashir segera berlari menuju Hanna.

Bashir segera meraih selimut itu dan berusaha menariknya, tapi ia tak mampu. Sebagian besar selimut benar-benar tertimbun bebatuan.

“Tolong! Ibuku disini. Toloong!!” teriak Bashir kepada warga sekitar yang sedang menggali puing-puing. Dengan cepat para warga pun segera menggali puing-puing di sekitar tempat tidur besi itu. Hanna dan Bashir pun menyingkir dan menyaksikan proses penggalian yang juga mengaduk-aduk hati mereka.

Bashir dan Hana tidak tahu apakah yang mereka nantikan ini sesungguhnya mereka harapkan. Mereka tentu ingin bertemu dengan ibu dan adik bayi mereka lagi, tapi apakah mereka siap melihat kenyataannya?

Seorang warga pun berteriak meminta bantuan. Ada sesuatu yang berhasil ia temukan. Lalu setelah satu demi satu bebatuan diangkat perlahan-lahan, darah segar masih mengalir dari jasad terliput debu itu. Perlahan-lahan, jasad itu diangkat. Seorang ibu yang memeluk anak bayinya. Tubuh itu masih lemas, dan darah masih mengalir dari kepalanya. Seluruh tubuhnya terliput debu abu-abu, tapi sebagian debu sudah tersapu aliran darah itu.

Bashir sudah menangis ketika melihat tangan terkulai ibunya keluar pertama-tama dari timbunan reruntuhan. Bashir sudah tahu apa artinya semua itu.

“Ummi?” tapi Hanna masih memanggil ibunya dengan polosnya. “Hanifa?” Hanna memanggil adik bayinya yang terkulai lemas tak bernyawa. Seluruh wajah dan tubuhnya tertutup debu, hingga tak terlihat lagi warna pakaian yang digunakan.

Tubuh yang terkulai tanpa nyawa itu diangkat. Sebuah kantong mayat sudah disiapkan di dekatnya. Bashir masih bisa menyaksikan tetesan darah ibunya yang menetes di reruntuhan dan dalam kantong mayat itu. Untuk sementara, jasad ibu dan anak bayi itu disatukan. Tapi ruh mereka tetap bersama selamanya.

Lantunan tahlil dan takbir menggema dari mereka yang turut membantu proses evakuasi korban. Begitu juga di hati Bashir dan Hanna. Sekarang atau nanti mereka akan lekas memahami apa artinya semua ini.

Dengan segala pelajaran yang didapatkan di waktu kecil seperti ini, kelak ketika sudah besar nanti, Bashir akan menjadi pejuang yang sama. Pejuang yang akan membela tanah airnya hingga titik darah penghabisan, melawan zionisme. Israel memang belum mati, tapi sedang menggali kubur mereka sendiri sekarang ini. Secara tak langsung mereka telah mendidik anak Palestina untuk menjadi pejuang yang lebih gigih daripada pendahulu mereka. Pejuang-pejuang yang kelak akan berdiri di garis depan melawan mereka di pertempuran akhir nanti.

Pejuang yang tak memiliki satupun keluarga untuk dikhawatirkan, justru pejuang-pejuang yang merindukan kematian. Pejuang-pejuang yang titik rindunya tidak ada di dunia, melainkan di Surga. Ketika prajurit-prajurit Israel masih merindukan istri dan anak-anak mereka di rumah, para pejuang Palestina justru merindukan anak-istri mereka yang sudah meninggal lebih dulu. Hingga tak ada satupun di dunia ini yang mengganjal hati mereka.

Sebagai seorang manusia, air mata memang tetap mengalir ketika sebuah kesedihan terjadi. Tapi jauh di dalam diri, ada tekad, keberanian, dan harapan, yang merindukan kematian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun