PENDAHULUAN
      Ekonomi politik adalah kajian yang mencoba memahami bagaimana kekuasaan dan kebijakan publik memengaruhi distribusi sumber daya dan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, ekonomi berfungsi sebagai sistem distribusi barang dan jasa, sementara politik bertugas menetapkan aturan yang mengatur sistem tersebut. Di era modern, ekonomi politik semakin relevan karena globalisasi, krisis ekonomi, dan ketegangan geopolitik terus memengaruhi hubungan antara negara, pasar, dan masyarakat.
      Artikel ini bertujuan untuk menggali bagaimana pendekatan ekonomi politik dapat digunakan untuk menganalisis fenomena ekonomi global, termasuk ketimpangan ekonomi, peran institusi internasional, dan dampak kebijakan neoliberal. Dengan fokus pada isu ketimpangan ekonomi, pembahasan ini akan memperlihatkan bagaimana interaksi antara kekuasaan politik dan pasar membentuk struktur ekonomi global yang ada saat ini.
Â
PEMBAHASAN
      Ketimpangan ekonomi global bukanlah sesuatu yang terjadi secara alami. Fenomena ini lahir dari kebijakan politik dan struktur ekonomi yang sering kali didorong oleh kepentingan tertentu. Dalam pendekatan ekonomi politik, kekuasaan kerap dilihat sebagai alat bagi kelompok elit untuk mempertahankan status quo dan akses terhadap sumber daya.
Ketimpangan Kapitalisme
      Kapitalisme sebagai sistem ekonomi memiliki dua ciri utama: akumulasi modal dan persaingan. Dalam skala global, kapitalisme sering kali menciptakan kesenjangan antara pihak yang diuntungkan dan dirugikan. Negara-negara maju, yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik besar, sering mendikte aturan perdagangan internasional melalui institusi seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia. Institusi-institusi ini umumnya mempromosikan kebijakan neoliberal, seperti deregulasi dan privatisasi, yang sering menguntungkan negara maju dan korporasi multinasional.
      Misalnya, program penyesuaian struktural yang diterapkan IMF pada negara-negara berkembang sering kali menyebabkan pengurangan subsidi, privatisasi perusahaan negara, dan penghapusan proteksi perdagangan. Kebijakan ini, meskipun bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, justru sering memperparah ketimpangan karena mengurangi akses masyarakat miskin terhadap layanan publik seperti kesehatan dan pendidikan.
Peran Negara dalam Memperburuk atau Mengurangi Ketimpangan?
      Negara memiliki peran penting dalam menentukan tingkat ketimpangan ekonomi melalui kebijakan fiskal dan redistribusi. Namun, dalam banyak kasus, negara justru menjadi alat untuk memperkuat kepentingan elit ekonomi. Contohnya, pengurangan pajak korporasi dan individu kaya di beberapa negara maju sering kali memperburuk ketimpangan pendapatan.
      Dalam pendekatan ekonomi politik, negara dipandang sebagai arena kekuasaan tempat berbagai aktor, seperti elit ekonomi, masyarakat sipil, dan lembaga internasional, berinteraksi untuk memengaruhi kebijakan. Oleh karena itu, keberhasilan negara dalam mengurangi ketimpangan sangat tergantung pada seberapa efektif kebijakan publik dirancang untuk melayani kepentingan masyarakat luas, bukan hanya kelompok tertentu.
      Salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan negara adalah melalui kebijakan fiskal, seperti pengenaan pajak progresif dan redistribusi pendapatan. Pajak progresif memungkinkan negara mengumpulkan dana lebih besar dari kelompok berpenghasilan tinggi, yang kemudian dapat digunakan untuk mendanai program sosial seperti pendidikan, layanan kesehatan, dan jaminan sosial. Kebijakan ini telah terbukti berhasil di negara-negara seperti Swedia dan Norwegia, yang mampu menciptakan masyarakat yang lebih setara tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Model ini menunjukkan bahwa distribusi kekayaan yang lebih merata bukan hanya ideal, tetapi juga realistis.
      Namun, kebijakan redistribusi sering kali menghadapi tantangan besar, terutama dari pengaruh kelompok elit yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi. Dalam banyak kasus, kelompok ini menggunakan pengaruhnya untuk mendorong kebijakan yang melindungi kepentingan mereka, seperti pengurangan pajak korporasi atau perlindungan monopoli. Hal ini membuat negara berisiko menjadi alat pelanggengan ketimpangan daripada agen perubahan. Oleh karena itu, diperlukan institusi yang kuat, transparan, dan akuntabel agar kebijakan publik dapat terlepas dari pengaruh kepentingan sempit.
      Selain itu, negara juga dapat mengurangi ketimpangan melalui penciptaan lapangan kerja yang layak. Ini dapat dilakukan dengan meningkatkan investasi di sektor infrastruktur dan pelatihan tenaga kerja. Dengan memastikan investasi asing langsung (FDI) membawa manfaat nyata bagi masyarakat lokal seperti transfer teknologi atau pekerjaan dengan upah layak negara dapat memperluas peluang ekonomi bagi berbagai lapisan masyarakat. Kebijakan ini memberikan ruang bagi mereka yang sebelumnya tertinggal untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi secara lebih setara.
     Â
Pengaruh Globalisasi Dalam Memunculkan Ketimpangan
      Globalisasi telah membawa banyak manfaat bagi perekonomian dunia, seperti peningkatan perdagangan, pertumbuhan ekonomi, dan kemajuan teknologi. Namun, di balik semua itu, globalisasi juga menciptakan ketimpangan ekonomi yang mencolok, baik di antara negara-negara maupun di dalam satu negara. Negara-negara maju, yang memiliki akses lebih baik terhadap teknologi, modal, dan jaringan perdagangan internasional, sering kali menikmati keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan negara-negara berkembang. Sebaliknya, negara berkembang yang bergantung pada ekspor bahan mentah sering kali terperangkap dalam posisi lemah dalam rantai pasok global, membuat mereka sulit untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya secara merata.
      Ketimpangan ini juga tercermin dalam pasar tenaga kerja. Di negara-negara berkembang, investasi asing sering kali menciptakan lapangan kerja di sektor manufaktur, tetapi dengan upah rendah dan kondisi kerja yang kurang layak. Di sisi lain, pekerjaan dengan keterampilan tinggi yang mendukung pertumbuhan ekonomi global lebih banyak tersedia di negara-negara maju. Perbedaan ini diperburuk oleh akses pendidikan dan pelatihan yang tidak merata, membuat banyak pekerja di negara berkembang sulit bersaing dalam pasar tenaga kerja global yang semakin menuntut keterampilan tinggi.
      Selain itu, globalisasi memberikan peluang besar bagi perusahaan multinasional untuk mengoptimalkan keuntungan melalui praktik seperti penghindaran pajak atau memindahkan operasi ke negara dengan regulasi yang lebih longgar. Dampaknya, negara maju kehilangan pekerjaan dengan upah layak, sementara negara berkembang sering kali hanya menerima sedikit manfaat dari kehadiran perusahaan-perusahaan besar ini. Kondisi ini menuntut kebijakan global yang lebih adil dan kolaboratif agar manfaat globalisasi dapat dinikmati secara merata oleh semua pihak, bukan hanya oleh segelintir pelaku ekonomi yang sudah kuat.
Dilema Perdagangan Bebas Â
      Perdagangan bebas sering diklaim mampu meningkatkan efisiensi ekonomi dan kesejahteraan global. Namun, dalam praktiknya, perdagangan bebas lebih sering menguntungkan negara-negara maju dengan akses teknologi dan modal. Sebaliknya, negara-negara berkembang sering kali terjebak dalam perdagangan produk primer dengan nilai tambah rendah. Sebagai alternatif, konsep perdagangan adil (fair trade) menawarkan pendekatan yang lebih manusiawi dengan memastikan bahwa produsen di negara berkembang mendapatkan harga yang wajar untuk produk mereka. Namun, penerapan perdagangan adil sering terbatas pada sektor kecil dan sulit bersaing dengan dominasi sistem perdagangan bebas global. Perusahaan multinasional (MNC) memainkan peran penting dalam ekonomi global, sering kali memiliki kekuatan lebih besar dibandingkan banyak negara berkembang. Mereka memanfaatkan arbitrase pajak dan biaya tenaga kerja murah untuk keuntungan mereka, meskipun hal ini sering kali merugikan pekerja dan lingkungan. Namun, beberapa MNC mulai mengadopsi praktik bisnis berkelanjutan sebagai tanggapan terhadap tekanan konsumen dan masyarakat sipil.
      Â
Ekonomi Politik dan Krisis Lingkungan
      Krisis lingkungan adalah contoh lain dari bagaimana pendekatan ekonomi politik dapat memberikan wawasan mendalam. Banyak masalah lingkungan, seperti perubahan iklim dan deforestasi, muncul dari kebijakan ekonomi yang mengabaikan keberlanjutan demi keuntungan jangka pendek. Kerusakan lingkungan sering dianggap sebagai eksternalitas dalam ekonomi konvensional, yaitu biaya yang tidak dimasukkan dalam harga pasar. Pendekatan ekonomi politik menyoroti bahwa eksternalitas ini sering diabaikan karena aktor ekonomi yang kuat, seperti perusahaan energi fosil, memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan publik. Beberapa negara mulai mengadopsi kebijakan hijau untuk mengatasi krisis lingkungan. Contohnya, Uni Eropa telah meluncurkan Green Deal yang bertujuan mencapai emisi nol bersih pada 2050. Namun, kebijakan ini menghadapi tantangan besar, terutama dari negara dan industri yang bergantung pada bahan bakar fosil.
      Gerakan lingkungan dan masyarakat sipil memiliki peran penting dalam menekan pemerintah dan perusahaan untuk bertindak lebih berkelanjutan. Kampanye seperti Fridays for Future menunjukkan bagaimana tekanan publik dapat memengaruhi kebijakan global.
Peran Ideologi dalam Ekonomi Politik
      Ideologi memiliki pengaruh besar dalam membentuk kebijakan ekonomi dan politik. Neoliberalisme, yang menekankan pasar bebas dan minimnya intervensi negara, telah menjadi ideologi dominan sejak akhir abad ke-20. Namun, kritik terhadap neoliberalisme semakin meluas seiring dengan meningkatnya ketimpangan ekonomi dan krisis lingkungan. Populisme telah muncul sebagai respons terhadap kegagalan neoliberalisme. Gerakan populis sering kali menantang institusi dan kebijakan yang dianggap hanya menguntungkan elit ekonomi. Namun, populisme juga berpotensi mengancam nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia jika tidak dikelola dengan baik.
      Ekonomi politik masa depan kemungkinan akan didominasi oleh perdebatan antara model neoliberal, sosial-demokrat, dan pendekatan baru seperti ekonomi sirkular. Kebijakan yang mengintegrasikan keberlanjutan, keadilan sosial, dan pertumbuhan ekonomi akan menjadi tantangan utama bagi para pengambil kebijakan.
      Kemajuan teknologi seperti otomatisasi dan kecerdasan buatan telah membawa tantangan baru. Di satu sisi, teknologi dapat meningkatkan efisiensi. Namun, di sisi lain, manfaat teknologi sering terkonsentrasi pada mereka yang memiliki akses terhadap pendidikan dan modal.
Ekonomi Politik dalam Pandemi COVID-19
      Pandemi COVID-19 mengungkapkan bagaimana kekuasaan politik memainkan peran penting dalam menghadapi krisis. Respons terhadap pandemi mencerminkan pentingnya negara dalam melindungi masyarakat sekaligus menjaga stabilitas ekonomi.Banyak negara mengadopsi kebijakan fiskal agresif, seperti bantuan langsung tunai dan subsidi usaha kecil, untuk meredam dampak pandemi. Meski demikian, kebijakan ini meningkatkan utang publik yang akan menjadi tantangan di masa depan.
      Distribusi vaksin yang tidak merata memperlihatkan ketimpangan global. Negara maju mendominasi pasokan vaksin, sementara negara berkembang bergantung pada inisiatif seperti COVAX yang memiliki keterbatasan. Pandemi mempercepat tren seperti digitalisasi dan pekerjaan jarak jauh, yang akan memiliki dampak jangka panjang terhadap pasar tenaga kerja dan ketimpangan ekonomi.
Â
Kesimpulan
      Pendekatan ekonomi politik memberikan wawasan yang kuat untuk memahami hubungan antara kekuasaan dan pasar. Ketimpangan ekonomi, globalisasi, krisis lingkungan, dan peran ideologi adalah contoh bagaimana kekuasaan politik memengaruhi distribusi sumber daya.
      Untuk menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan, diperlukan kebijakan yang mempertimbangkan efisiensi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Ini membutuhkan kolaborasi antara negara, institusi internasional, masyarakat sipil, dan sektor swasta. Dengan memahami dinamika kekuasaan di balik kebijakan ekonomi, kita dapat bergerak menuju dunia yang lebih adil dan inklusif.
Â
Â
Refrensi
- Stiglitz, J. E. (2012). The Price of Inequality: How Today's Divided Society Endangers Our Future. W.W. Norton & Company.
- Harvey, D. (2007). A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press.
- Piketty, T. (2014). Capital in the Twenty-First Century. Belknap Press.
- Rodrik, D. (2011). The Globalization Paradox: Democracy and the Future of the World Economy. W.W. Norton & Company.
- European Commission. (2020). The European Green Deal. [Online] Available at: https://ec.europa.eu
- Thunberg, G. (2019). No One Is Too Small to Make a Difference. Penguin Books.
- Sen, A. (1999). Development as Freedom. Anchor Books.
- UNDP. (2021). Gender Equality in the Global Economy. United Nations Development Programme.
- World Bank. (2020). Poverty and Shared Prosperity 2020: Reversals of Fortune. World Bank Publications.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H