Mohon tunggu...
Dilan Imam Adilan
Dilan Imam Adilan Mohon Tunggu... Dosen - Lelaki Biasa

Suka menulis dan minat membaca. Dosen di Fakultas Ilmu Sosial-Politik Universitas Nurtanio Bandung. Founder Lajnah Intelektual Muda Persis.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kemiskinan dan Filantropi Islam (Sebuah Refleksi)

5 Juli 2022   10:50 Diperbarui: 5 Juli 2022   10:57 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Organisasi Islam yang mendeklirkan 'sumber ajaran' sebagai solusi dari setiap persoalan, dengan istilah kembali pada Al Qur'an dan As Sunnah mencapai titik nadir yang kronis di ambang kematian. Jargon hanya sekedar jargon, jauh sekali dari "substansi" dan aplikasi yang mesti di amalkan oleh seluruh anggota organisasi Islam tersebut. 

Mestinya, ada komitmen yang mesti ditunaikan lembaga keagamaan untuk mengatasi berbagai problem kemanusiaan di kehidupan sosial diantaranya kemiskinan. Maka dalam hal ini, lembaga filantropi Islam menjadi terdakwa yang mesti di vonis bersalah. Karena sampai saat ini, kemiskinan tetap merajalela dan menggejala di masyarakat Islam.

Di lain pihak, agama atau lembaga yang mengatasnamakan agama begitu cepat merespons situasi politik untuk terlibat dan mendapatkan keuntungan dengan menjual suara umat dengan bungkus pemimpin "utusan terbaik", pemimpin pilihan umat atau pemimpin yang di ridhoi Allah. Kita tidak melihat lembaga atas nama agama, merespon situasi ekonomi dan turut bergerak terhadap kesengsaraan anggota agama atas kebijakan ekonomi. 

Masalah-masalah terkait dengan ketidakadilan, rasialisme, penjajahan, dan isu kemiskinan seakan-akan padam. Kepentingan individu di lembaga agama dengan cara membuat kebijakan parsialistik, serta mengakomodir gerakan nepotisme sudah kadung menjadi program jihad yang terlihat nyata dan benar-benar realistis.

Kembali pada Al-Qur'an dan Assunah tidak pernah dibaca secara kontekstual untuk menjawab persoalan yang dihadapi umat manusia atau jangkauan sederhana umat kelompok lembaga agama/anggota organisasi agama. 

Lalu, kemudian hadirnya lembaga filantropi Islam yang seharusnya menjadi refleksi bersama kepedulian lembaga agama terhadap problem social justru lebih dikenal sebagai perusahaan dengan konsentrasi pada penyerapan aspirasi ala bussines marketing.

Karena masyarakat tidak pernah terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan untuk mempertanyakan seperti apa tanggung jawab lembaga agama. Serta apa yang harus dilakukan filantropi agama dalam konteks penyelesaian problem kemiskinan secara structural maupun kultural.[1]

 Lembaga filantropi Islam, hari ini tidak memiliki spirit yang jelas. Bahwa filantropi islam itu harus benar-benar dan sesungguhnya berusaha untuk memberantas kemiskinan. Teologi Pembebasan[2] yang non Kapitalistik tidak ada nilai-nilai untuk membebaskan umat islam khususnya agar terlepas dari kemiskinan yang dalam konteks kajian disebut dengan kajian teologi pembebasan. Jadi nilai-nilai agama itu mendorong seseorang untuk melakukan gerakan pembelaan terhadap orang-orang yang tertindas. 

Juga konsep filantropi itu, bukan kapitalistik tapi mencoba mendorong orang-orang terlepas dari kemiskinan contoh seperti John Calvin dengan Calvinisme, seseorang yang kaya lah yang akan masuk surga.  

Banyak dan menjamurnya lembaga zakat dalam skala mikro maupun makro dari ruang lingkup daerah, provinsi ataupun tingkat nasional bahkan sampai pengelolaan di tingkat masjid menjadi kabar gembira akan geliat pengelolaan ekonomi umat baik dalam penghimpunan, pengelolaan, sampai pada tahap pendistribusian. 

Geliat positif ini menunjukan begitu banyak perhatian dari para dermawan, aghnia, dan masyarakat secara umum untuk turut serta dalam menekan tingkat kemiskinan atau dengan istilah yang lebih mulia yaitu "pembebasan kemiskinan". 

Dampaknya, tentu berharap terjadi kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Lalu penting bagi kita kemudian, mengevaluasi dan me-reinterpretasi gerakan filantropi yang "bejibun" ini, karena tingkat kemiskinan di Indonesia masih tinggi di angka 32 juta rakyat Indonesia terjebak dalam kemiskinan. Apa ada yang salah dari hadirnya lembaga filantropi Islam di Indonesia? 

 Upaya untuk melakukan pengembangan pola dan strategi dalam pengelolaan dana filantropi sudah banyak. Namun, belum menyentuh pada nilai dan spirit yang dibawa oleh lembaga filantropi Islam tersebut karena kebanyakan lembaga filantropi SDM yang hadir disana, di isi oleh ekonom, orang manajemen, yang cenderung "profit oriented" dengan strategi marketing bisnis yang kuat. 

Dalam setiap kali fundrising, yang ingin dicapai ialah "pengumpulan dana yang banyak" bukan upaya untuk membebaskan umat dari ketertinggalan. Umat Islam yang tertinggal, basicnya ialah mereka yang lemah dalam ekonomi. Sesungguhnya hal itu kemudian mengakibatkan nilai dan spirit yang dibawa begitu rentah dan lemah.

 Solusi

 Perlu menguatkan basis nilai dan spirit dengan teologi pembebasan. Bagaimana nilai-nilai dan dorongan ajaran agama menekan dan memberikan pencerahan terhadap umat. 

Calvinisme merupakan satu paham di kalangan Kristen Protestan yang di gawangi oleh John Calvin yang menyampaikan pada anggota Kristen Prostestan bahwa merekalah "yang kaya" yang akan masuk surga, lembaga filantropi Islam sebagai lembaga pemberdayaan umat harusnya menganjurkan umatnya untuk menjadi orang kaya.

 Al-Adaalah (adil) adalah konsep tegaknya kesetaraan sosial, termasuk dalam ranah perekonomian. Sebagai agama pembebas, Islam memberikan landasan teologi yang menuntut penganutnya untuk menghapus penindasan dalam bidang sosial dan ekonomi. Sebagai agama bagi umat terbaik (khyr ummah), ajaran Islam juga memberi perhatian khusus atas kemiskinan. Kemiskinan adalah salah satu musuh utama dalam membentuk masyarakat Islam. 

Dalam tulisan berargumen bahwa Islam adalah agama yang juga memiliki nuansa profan (membumi) dan mampu menjadi solusi bagi persoalan yang ada pada masyarakat sekarang ini, termasuk kemiskinan.[3]

 Kemiskinan serta kebutuhan hidup masyarakat beragama memprihatinkan, dapat kita simpulkan dari banyaknya perilaku menyimpang dan masalah social dari masyarakat Islam (dalam hal ini). Adanya banyak kasus konversi agama (murtad), hutang piutang yang menjerat, perbuatan asusila seperti kasus pencurian, jual organ tubuh, jual diri, bahkan sampai bunuh diri terjadi sebagai akibat dari kemiskinan.

Filantropi Islam Transformatif

Model baru dalam menyelesaikan problem itu dengan cara me-reformulasi Filantropi Islam Transformatif dan praktik yang benar-benar "jujur" dari Filantropi Islam.  Filantropi Islam menyatu dengan gerakan dakwah spirit pembebasan ekonomi berupaya; tidak hanya melakukan edukasi dengan tabligh dan tarbiyyah dalam menyemaikan ajaran pembebasan kemiskinan ala Filantropi Islam Transformatif, juga melakukan pemenuhan kebutuhan dasar (sandang, pangan bagi prioritas mustahiq) dan juga pemberdayaan profesi/entrepreneurship untuk kebangkitan ekonomi orang-orang miskin[4]

Dorongan teologis juga untuk semua kelas umat Islam bahwa menjadi orang kaya "aghnia" adalah sebuah kewajiban. Senantiasa mempromosikan wajib zakat, memaksa umat melakukan sedekah dan wakaf. Bukan karena dijanjikan kalau menanam satu akan tumbuh 700 benih yang akan tumbuh dan bersemai menghasilkan buah melampaui itu ada nilai-nilai kebangkitan ekonomi yang bermula dari ZISWAF. 

Dalam pengembangan wakaf produktif oleh lembaga filantropi Islam tidak hanya menjadi investasi namun dikelola menjadi usaha produktif sehingga menjadi solusi. Wakaf produktif dengan pemanfaatnya, menjadi lahan kebun, pariwisata, dan bukan wakaf yang tidak menghasilkan pemasukan.

Lembaga filantropi Islam tidak hanya menjual konsep kedermawanan yang mendatangkan keberkahan, rahmat dan pertolongan dari Allah. Sebab, secara konsep, filantropi dalam Islam akan menyelamatkan kehidupan secara luas. Potensi filantropi umat Islam terwujud dalam bentuk zakat yang hukumnya wajib, infak, shadaqah, wakaf, hibah dan lainnya.[5] 

 Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, melainkan juga pranata-pranatanya. Sedangkan yang dimaksud asuransi sosial adalah bagaimana sejauh mungkin mengurangi bentuk-bentuk bantuan yang hanya bersifat karitatif. Sebagai gantinya, diupayakan untuk lebih menekankan pada bentuk bantuan yang dapat berfungsi sebagai asuransi sosial bagi kelompok masyarakat yang membutuhkan. program bantuan yang bisa bermanfaat sebagai penyangga kebutuhan masyarakat dalam jangka lebih panjang, dan bukan sekadar program darurat bersifat karitatif.[6] 

 Dalam buku "Melayani Umat: Filantropi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Muhammadiyah". Hilman menjelaskan, bahwa filantropi berasal dari bahasa Yunani 'philein' yang berarti cinta dan 'anthropos' yang berarti manusia. "Filantropi yaitu kegiatan yang dilakukan untuk mencintai sesamanya (manusia). Filantropi Islam itu sendiri tidak semata-mata hanya infak, zakat maupun shodaqoh.". Spirit kedermawanan yang hadir dalam Filantropis Islam di Indonesia terkait dua hal, yaitu kultur dan struktur. Kultur berhubungan dengan adanya zakat, shodaqoh dan juga infak. Sedangkan struktur berhubungan dengan struktur internal organisasi Islam tersebut dan ekternal yaitu negara atau pemerintah.

 Selain itu filantropi Islam mesti mendorong Negara sebagai struktur terkuat, dalam penyediaan fasilitas pendidikan, kebutuhan lapangan kerja, lingkungan sehat dan pelayanan publik agar persoalan kemiskinan mampu ditangani bersama-sama. 

Dalam beberapa hal, SDM dan SDA tidak dapat dikelola dengan baik. Sebagai contoh realitas nasib masyarakat petani dan pertanian di Indonesia menunjukkan hal berbeda dengan potensi sumber daya alam tersebut. 

Pertanian dan masyarakat tani mengalami proses pemiskinan sistemik dan massif. Berapa pun input diberikan, produksi padi petani tidak banyak bertambah. Atapun kalau bertambah, harga jual produksi pertanian sangat tidak seimbang dengan biaya produksi pertanian sehingga input sering melebihi output. Kemiskinan merupakan problem yang bersumber dari kondisi eksternal diakibatkan oleh hubungan timpang dalam tatanan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. 

Dalam relasi timpang itu, kelompok masyarakat yang kurang memiliki akses tidak memperoleh penghormatan atau perlindungan atas hak dasarnya. Terjadi strukturalisasi dalam proses pemiskinan dan ketidakmampuan (karena tidak memiliki kompetensi) dalam bersaing di dunia global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun