Mohon tunggu...
Satria Adhika Nur Ilham
Satria Adhika Nur Ilham Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Nominasi Best in Spesific Interest Kompasiana Awards 2022 dan 2023 | Movie Enthusiast of KOMiK 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Almira, dan Berseminya Cinta di Desa M

30 Juni 2024   22:27 Diperbarui: 30 Juni 2024   22:33 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi aku dan Almira di desa M yang berada di dekat pantai. Sumber foto: picnicmakers.com

Langit berwarna biru cerah beserta awan-awan yang tersusun rapih menyambutku pagi ini. Kicauan burung di langit terdengar berirama, diiringi dengan hembusan angin sejuk yang membelai kulit. Matahari masih belum sepenuhnya menampakkan diri. Mobil berlalu-lalang di depanku, aku sibuk melirik jam tangan. Sudah jam 7 pagi, tapi mereka belum juga datang.

Sebuah mobil berwarna hitam lewat dan berhenti tepat di hadapanku. Aku menatap mobil tersebut, sebuah mobil kelas menengah yang tak terlalu besar. Pintu mobil terbuka, dua orang mahasiswi keluar sembari tertawa-tawa pelan. Mobil tersebut berisi empat mahasiswa dan dua mahasiswi yang mengenakan almameter berwana kuning. Kami baru berkenalan beberapa pekan lalu, ketika pembagian kelompok KKN.

Dua mahasiswi itu bernama Almira dan Jihan. Entah kenapa, sejak tadi mereka berdua heboh sendiri melihatku yang sedang menunggu di pinggir jalan. Seperti sedang melihat cowok ganteng saja, pikirku dalam hati. Apa jangan-jangan aku memang ganteng ya?

"Sorry bro, tadi kita baru berangkat jam setengah 6 pagi. Gara-gara si Almira noh, jadi telat." Ucap Aldi yang mengendarai mobil.

"Ah, santai aja. Gue juga baru nyampe kok." Jawabku sambil tersenyum. Aku meletakkan tasku ke dalam bagasi mobil. Lalu, aku masuk dan duduk di kursi paling belakang. Di sampingku ada Nathan dan Keanu. Kursi tengah diisi oleh Jihan, Almira, dan Rama.

Aku tersenyum lebar melihat suasana ceria di dalam mobil. Rasanya menyenangkan bisa menjalin pertemanan baru, terutama dengan orang-orang yang seru seperti mereka. Dari arah kursi tengah, aku mendengar Almira berbisik-bisik dengan Jihan, "Kenapa dia nggak duduk di samping gue saja sih?"

"Apa Ra? Mau duduk di deket Setya?" celetuk Keanu dari belakang.

"Apa sih," jawab Almira yang terlihat senyum-senyum sendiri.

Hatiku mendadak penuh bunga walau hanya mendengar celotehan sederhana. Mungkin hal ini terjadi karena sudah tiga tahun ini aku tak pernah mengalami jatuh cinta. Terakhir kali hanya pada saat masa SMA, itu pun selalu berujung gagal. Aku tersenyum, baru saja menjalin pertemanan baru, sudah ada yang naksir denganku. Ah, siapa tahu kali ini takdir berpihak denganku.

Kami berenam melanjutkan perjalanan menuju Desa M yang memakan jarak tempuh sekitar 500 KM. Aldi mengendarai mobil dengan santai, tidak terburu-buru. Ia menyetel sebuah lagu DJ remix terkini. Almira yang berada di kursi tengah sontak langsung menutup mulut dan hendak muntah.

"Please, stop deh. Mending setel lagu aslinya aja, gausah versi remix DJ gitu. Rara selalu mual kalau denger lagu DJ. Iya nggak Setya?" ujar Almira yang melempar pertanyaan ke arahku. Ternyata nama panggilannya adalah Rara.

Aku sedikit kaget, mengangguk-angguk pelan, "Iya," jawabku singkat.

Almira menoleh ke arahku, sembari tersenyum manis, "Tuh, dengerin kata Setya, by the way, you're so cool. Jawabnya singkat banget ya?"

Eh, memangnya aku harus menjawab apa? Aku hanya tersenyum sembari mengangguk-anggukan kepala. Almira menghembuskan pelan napasnya, sembari kembali melihat ke arah depan. Mungkin ia kesal karena responku kurang menarik.

"Ih, padahal enak tahu Ra, lagu-lagu DJ gitu kan bikin semangat." Ujar Jihan. Rama terlihat setuju, sementara Keanu sudah terbenam dalam smartphone-nya. Nathan, di sisi lain, terlihat berusaha untuk tidur, tapi sepertinya suara kami yang berisik terus mengganggunya.

Aldi akhirnya mengalah, "Yaudah deh, gue ganti. Daripada lo muntah, nanti yang repot kan satu mobil."

Wajah Almira berubah cerah, akhirnya ia bisa duduk dengan tenang tanpa perlu mendengar lagu jedag-jedug yang membuat kepala pusing tujuh keliling. Aku sejak tadi memperhatikan Almira. Entah mengapa, hatiku bak dipenuhi kesenangan yang tak terbendung tatkala mendengar suaranya dan melihat tingkah lakunya yang ceria.

Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Aku sontak menggeleng-gelengkan kepala, "Inget Set, tujuan lo kesini untuk Kuliah Kerja Nyata, bukan Kuliah Ketemu Nyaman." Ucapku dalam hati. 

AC mobil yang dingin serta nuansa yang hening membuatku tertidur pulas sepanjang perjalanan. Tak hanya aku, teman-temanku yang berada dalam mobil ini juga ikut tertidur, kecuali Aldi. 

Aldi menoleh ke arah belakang, melihatku yang sedang memeriksa ponsel. "Udah bangun aja lo Set,"

Aku mengangguk, "Berapa jam lagi sampainya?"

"Mungkin sekitar 1 jam lagi,"

Almira yang terlelap menjatuhkan kepalanya ke arah Jihan. Ia tampak terbangun sebentar, mengecek ponselnya, lalu tertidur lagi. Aku sedari tadi memperhatikan, melihatnya dari belakang saja sudah membuatku senang.

"Oh ya Set, gue baru nelpon Pak Kartono, kepala desa M. Katanya nanti kalau sudah sampai, kita bisa langsung liat-liat lokasi sekitaran desa yang sekiranya bisa kita bantu untuk perbaiki. Kita juga bisa wawancara warga mengenai kendala apa aja yang sedang mereka hadapi di desa." Jelas Aldi sembari menyetir mobil.

"Untuk kelompoknya gimana Di? Semuanya ikut atau dibagi dua?"

"Udah kayak es kiki aja dibagi dua," Keanu mendadak nyeletuk.

"Shhht, tidur lagi aja deh lo. Gini Set, untuk yang keliling lokasi sekitaran desa nanti gue, Rama, sama Jihan. Nanti untuk yang wawancara warga lo, Almira, Keanu, sama Nathan," ujar Aldi.

"Oke," jawabku singkat. Selain menyupir mobil, Aldi juga ketua kelompok KKN kami. Waktu pertama kali kami bertemu, kami semua sepakat bahwa Aldi yang terlihat paling bijaksana dan cocok menjadi pemimpin.

___

Kami akhirnya tiba di Desa M setelah perjalanan yang cukup panjang. Desa ini terletak di antara hamparan pegunungan hijau yang menyejukkan mata. Dari kejauhan, kami bisa melihat deretan rumah-rumah sederhana yang berdiri di tepi pantai berpasir putih. Pantai tersebut terhampar luas dengan ombak yang bergulung-gulung menghantam batu karang besar di ujung desa.

Saat keluar dari mobil, udara segar yang bercampur dengan aroma laut langsung menyambut kami. Di sekeliling desa, pohon-pohon kelapa dan berbagai macam vegetasi tropis tumbuh subur memberikan kesan asri dan alami. Beberapa rumah penduduk tampak berwarna-warni dengan atap merah yang kontras dengan hijaunya pepohonan di belakangnya. Di sepanjang pantai, kami melihat beberapa penduduk duduk di bawah payung-payung besar yang sedang menikmati pemandangan laut sambil bercengkrama.

Keindahan desa ini seolah-olah meluruhkan segala penat dari perjalanan kami. Di dekat pantai, beberapa warung kecil menjual makanan dan minuman khas desa menambah nuansa tradisional yang kuat. Suara ombak yang bergemuruh berpadu dengan canda tawa anak-anak yang bermain di pasir, menciptakan harmoni alami yang membuat kami merasa seakan-akan berada di surga tersembunyi.

Pak Kartono, kepala desa, menyambut kami dengan hangat. "Selamat datang di Desa M," ujarnya sambil tersenyum lebar. "Kami telah menyiapkan tempat menginap untuk kalian di rumah-rumah warga. Semoga kalian betah di sini."

Kami kemudian diarahkan untuk menaruh barang-barang di rumah-rumah sederhana yang terbuat dari bambu dan kayu, namun tetap kokoh dan nyaman. Dari sini, kami bisa melihat pemandangan laut yang memukau, di mana garis horizon bertemu dengan langit biru cerah.

"Nath, don't forget to bring camera ya. Buat merekam hasil wawancara warga, biar nggak repot ketika bikin laporan." ujar Almira mengingatkan Nathan.

"Iye Raraa cakep, tenang aja gue gabakal lupa." Jawab Nathan sambil memegang pundak Almira dari belakang. Almira tertawa pelan, "Apaan sih, lepas deh."

Aku sejak tadi tidak banyak bersuara, hanya mengikuti mereka berdua yang sibuk bercanda berdua. Aku kira Almira tidak sedang dekat dengan siapa-siapa, ternyata ia akrab sekali dengan Nathan. Apa mereka berdua sudah berpacaran ya? Mendadak aku mengutuk diriku sendiri yang lagi-lagi gagal mengambil kesempatan. Ah, tapi bisa jadi ini hanya firasatku saja.

Kami memulai mewawancarai warga, mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak, hingga para remaja yang ada di desa ini. Mereka semua bercerita mengenai pendapatan mereka yang berkurang pasca pandemi. Ternyata, desa ini adalah desa wisata yang kehilangan pengunjungnya semenjak pandemi melanda. Akhirnya, wisatawan mulai melupakan pantai ini dan UMKM warga lokal pun mau tak mau harus gulung tikar.

Adapun para remaja, mereka bercerita perihal akses pendidikan yang sulit. Sulit untuk membangun sekolah di dekat pantai, dan anak-anak remaja belajar di pelataran rumah warga yang dijadikan sekolah sementara. Guru-gurunya diutus dari Kementerian Pendidikan. Hanya saja, sudah setahun ini mereka tak datang. Sekarang, anak-anak hanya belajar bermodalkan buku-buku yang dulu pernah dipakai.

"Bapak sudah mencoba melakukan promosi via media sosial?" tanya Almira pada salah satu warga.

"Bagaimana ya mbak, ekonomi sedang sulit begini mana sempat untuk buka media sosial. Lagipula untuk beli kuota kan juga butuh biaya mbak. Jaringan sinyal di sini juga tidak sebagus di perkotaan." jawab salah satu warga.

Almira manut-manut, mulai mencatat segala macam problematika yang dialami warga. Sekarang giliranku bertanya, "Untuk masalah pendidikan, kami berniat untuk mengadakan program pelatihan mengajar serta sosialisasi mengenai digitalisasi pendidikan. Untuk masalah internet dan segala macamnya, nanti akan kami bantu. Kira-kira bapak ibu apakah mengizinkan?"

Para warga tertarik dengan tawaranku, wajah mereka langsung terlihat cerah. Almira menyenggol bahuku dan melihatku sembari menaikkan alis, mungkin ia mempertanyakan program yang aku ajukan tanpa adanya persetujuan dari anggota kelompok KKN.

Aku hanya nyengir, "Santai aja Ra, gue yakin Aldi dan kawan-kawan pasti bakal setuju."

Satu-dua pertanyaan dilontarkan warga, aku dan Almira menjawab apa adanya. Nathan sejak tadi sibuk merekam wawancara yang kami lakukan, karena memang kalau urusan kamera dia yang paling handal.

Kami akhirnya kembali ke tempat istirahat, bertemu dengan Jihan, Aldi, dan Keanu yang terlihat sedang bersantai sembari memakan jagung bakar.

"Gimana tadi wawancaranya?" tanya Aldi

"Alhamdulillah lancar, tapi si Setya noh, asal nawarin program ke warga tanpa diskusi dulu sama kita." Jelas Almira.

Aku terdiam, sedikit takut kalau Aldi dan kawan-kawan akan marah kepadaku.

"Program apa emangnya? Makan siang gratis?" tanya Keanu sembari bercanda.

"Ngaco, ini lebih penting daripada makan siang bro, ini masalah pendidikan. Jadi gue menawarkan program pelatihan mengajar dan sosialisasi digitalisasi pendidikan. Urusan wifi dan lain-lain nanti tinggal Rama yang ngurus. Ya kan Ma?"

"Ya tapi enggak gitu juga dong Set, minimal diskusi dulu lah sama kita. Lo kira masang wifi dan benerin jaringan internet itu gampang? Itu kan urusannya sama provider jaringan, butuh waktu lama." Jawab Rama sedikit kesal.

"Diem diem cabe rawit nih Setya" canda Jihan.

"Hushh, jangan gitu, kasian tauu Iyaa, dia keren tau bisa berani kayak gini."  Ujar Almira membelaku.

Kami berenam melanjutkan diskusi kami hingga larut malam. Walau terjadi perdebatan beberapa kali, akhirnya kami membuat kesepakatan. Keesokan harinya hingga beberapa pekan setelahnya, kami mulai menjalankan program kerja kami. Aku melihat Almira dan Nathan sering bersama, hanya saja saat ku tanya teman-teman ternyata mereka berdua bersaudara. Huh, aku pikir mereka berdua menjalin hubungan romansa. 

Kesempatan itu aku manfaatkan untuk mendekati Almira. Selama sebulan aku berada di sini, aku dan Almira sudah saling bercerita dan berbagi rahasia satu sama lain. Tak jarang Almira juga mengajakku untuk berjalan-jalan bersama. Seperti saat ini, kami berdua sedang bercengkrama di tepi pantai.

"Tyaa, ayo tadi katanya mau nyari jajanan."

Aku menghela napas berat lalu menatap Almira yang menunjukkan muka kesal, "Nongkrong dulu lah di sini sebentar."

Almira berdecak, kembali duduk di pinggir pantai. Ia merasa bosan, tujuannya di sini adalah untuk bersenang-senang dan melupakan proker yang membuatnya kelelahan, bukan untuk berdiam diri di pinggir pantai dan menatap malam. Di sampingnya, aku justru menumpukkan semua atensinya pada Almira yang hanya menatap lurus ke depan. Sambil menghela napas pelan mengharapkan ketenangan di setiap hembusan.

Hening. Hingga akhirnya aku bersuara, seakan membuat detik dan rotasi bumi berhenti berjalan.

"Ra, apa kabar?" Almira bergeming, kaget. Ia bahkan tak memiliki jawaban atas pertanyaan itu. Berat dan sulit untuk menjawab pertanyaan sesederhana 'apa kabar?' karena pada dasarnya Almira benci pertanyaan semacam itu. Ia menggigit bibir, mencoba meredam isak. Aku menyentuh tangan Almira dan mengeluarkan kalimat yang berhasil meruntuhkan pertahanan Almira.

"Gapapa, Ra. Lepasin aja. Gapapa kalau lo merasa lagi nggak baik-baik aja,"

Tangis Almira pecah, seakan menjadi pengiring dinginnya angin malam dan sinar rembulan di pantai malam ini. Pikirannya membawanya menuju memori yang berisi ketakutannya selama ini. Almira selalu berusaha menjadi yang terbaik, bahkan ia rela menghabiskan waktunya selama berjam-jam untuk belajar demi masuk Perguruan Tinggi Negeri. Namun, ia menjadi lupa dengan dirinya sendiri, Almira tidak tahu apa yang sebenarnya ia inginkan selama ini. Ia hanya menuruti keinginan kedua orang tuanya yang selalu menuntutnya agar memiliki nilai yang tinggi dan masuk kampus top di negeri ini.

Ketika sudah masuk kampus top, ekspektasi kedua orang tuanya bertambah lagi. Almira harus mendapatkan nilai yang bagus untuk mempertahankan beasiswanya di kampus Negeri. Kalau sekali saja ada penurunan nilai, maka beasiswanya akan dicabut.

"Kenapa kamu lebih tahu aku dibanding diriku sendiri sih, Ya..." suara Almira tercekat karena gadis itu masih mencoba menahan apa yang sebenarnya ingin ia ungkapkan.

"Aku merasa nggak cukup, Ya. Aku merasa nggak cukup baik, nggak cukup berharga dan nggak cukup hebat untuk dibanggakan oleh orang-orang di sekitarku. Aku menghabiskan banyak waktu untuk menemukan apa yang hilang, apa yang belum aku lakukan dan apa yang sebenarnya aku cari." Di tengah isakannya, Almira mencoba menata kata. Menumpahkan segala rasa yang ia pendam sendiri sedari lama.

Aku hanya diam dan membuka telinga, siap untuk mendengarkan segala keluh kesah yang Almira lontarkan kepadaku.

"Aku takut gagal menjadi apa yang orang lain harapkan, aku takut ekspektasi mereka hancur karena tahu bahwa diriku punya banyak kekurangan. Aku selalu berusaha keras untuk terlihat sempurna dan mencoba melakukan segala yang aku bisa. Tapi, kenapa aku masih..." Almira menunduk, menatap ujung sandal dan jalan yang ia pijak. Tak kuat melanjutkan kalimat yang ingin ia keluarkan.

"Feel deficiently?" tanyaku sembari menatap mata Almira.

Gadis itu mengulum bibir. Mengangkat kepalanya, menatap kosong ke arah depan seraya mengusap air mata yang telah berjatuhan.

"Capek, Ya... Aku merasa kalau ternyata selama ini semua hal yang aku lakukan nggak kunjung menghasilkan apa-apa. Terus kalau aku nggak menemukan apa yang kurang dalam diri aku, kenapa aku nggak pernah merasa cukup dengan semuanya? Aku bingung, Setya. Aku capek," suaranya mulai melirih. Almira kembali menundukkan kepalanya dan mulai mengeluarkan kembali tangisan yang selama ini ia tahan setiap malam.

"Ra... " aku berusaha menata kalimat untuk merespon Almira.

"Kalau lo tetap merasa nggak cukup baik untuk siapa-siapa setelah setelah semua hal baik yang lo lakuin, mungkin lo bukan mencari rasa cukup itu di orang lain, tapi di diri lo sendiri. Akibat selalu merasa kurang, lo selalu menuntut lebih ke diri lo sendiri, yang membuat lo jadi nggak pernah mengapresiasi apa yang sudah diri lo lakukan. Ra, setidaknya jangan sampai gagal buat sayang sama diri lo sendiri. Jangan terus-terusan menuntut validasi dari orang lain, nanti lo bisa kehilangan tujuan." Aku menatap Almira yang belum juga mengangkat kepala. Gadis itu masih berusaha menyembunyikan tangisannya dari wajahku.

Aku menghela napas sejenak, menarik napas sebelum melanjutkan kalimatnya, "Ra, lo nggak bisa menyenangkan semua orang yang ada di sekeliling lo dengan standar, ekspektasi dan pemahaman mereka yang jelas akan berbeda. Kalau lo nggak bisa merasa cukup buat orang lain, setidaknya lo perlu merasa cukup buat diri lo sendiri. Just be yourself, orang-orang berhak untuk menilai atau merasa nggak suka sama lo, dan lo juga berhak untuk nggak peduli akan semua hal itu." Kalimatku bagai pukulan telak yang ia dapatkan, seolah menyadarkan semua hal yang tengah ia khawatirkan.

"Nggak akan ada habisnya, Ra. Nggak akan ada habisnya kalau lo terus mengejar standar orang lain atas diri lo. Rasa cukup itu nggak cuma dicari, tapi bisa diciptakan sendiri. Sama siapa? Ya, sama diri lo sendiri. Lo yang punya kendali atas diri lo, Almira." setelah suaraku tak terdengar lagi, Almira mengangkat kepalanya. Almira menatapku yang juga tengah menatapnya lekat-lekat sedari tadi. Menyadari bahwa semua hal yang berada di pikiran Almira hanyalah hal yang akan terus mengurungnya dengan sia-sia.

"Ra, lo tahu kan lingkaran itu nggak ada ujungnya?" Almira mengangguk seolah menyetujui pertanyaan yang aku lontarkan. Aku menarik napas, tersenyum simpul melihat ekspresi wajah sembab Almira yang menurutnya sangat menggemaskan. "Lo tuh sama aja kayak berlari dalam lingkaran kalau lo mengejar jawaban dan pengakuan dari orang lain. Jelas nggak bakal ada ujungnya, yang ada cuma capeknya doang, Almira."

"Lo itu bahkan lebih dari kata cukup untuk orang-orang di sekitar lo. Sekarang tinggal balik ke diri lo sendiri yang juga harus merasa cukup. Kasih waktu buat diri lo, berdamai dan beradaptasi sama diri sendiri juga perlu, Ra." Aditya merapihkan rambut Almira yang berantakan sembari menepuk kecil pucuk surai milik gadis itu.

Aku menatap lurus ke arah netra indah berwarna cokelat milik Almira. "Hidup cuma sekali, jangan terlalu mengejar ekspetasi orang lain ke diri lo. Jangan nyakitin diri lo sendiri hanya karena mau menyepadankan standar dari orang lain atau karena pikiran buruk lo yang terlalu berlebihan. Lo aja bisa kan baik ke orang lain, masa baik ke diri sendiri nggak bisa?"

Hanya anggukkan kecil yang bisa Almira tunjukkan, seolah seluruh kalimatku memang jawaban dari segala pertanyaan yang ada dalam dirinya selama ini.

"Everyone's version of their best is different, so don't ever let anyone tell you or make you feel like you're not enough. Don't forget to be nice to yourself, Almira Anastasya."

Selesai. Selesai sudah simpul-simpul kusut yang sempat mengikatnya.

Lega. Seakan ribuan tanya luntur seketika. Tak lagi ada. Entah hilang ke mana.

"Setya, kamu nggak tau, kan, seberapa sering aku bersyukur pada Tuhan karena dengan adanya kehadiran kamu yang selalu menciptakan tenang? Makasih banyak ya, Setya Pranadya." Almira tersenyum manis ke arahku, walau matanya masih terlihat sembab.

Aku tertawa kecil, merasa sedikit geli tetapi senang juga di hati.

"Udah ah, yuk! Jangan nangis lagi, jelek."

Almira berdecak sambil menatap sinis ke arahku.

Aku tersenyum, "Mau kopi susu, nggak?"

"Mau lah." Ucap Almira sambil berdiri seolah siap untuk pergi mencari kopi susu demi merayakan kebebasan hati dan juga pikiran yang sempat membuatnya terbebani.

Malam itu Almira kembali, senyum yang terbit dari bibirnya telah hidup lagi. Tenang sudah pikirannya. Bebas sudah jiwanya yang selalu merasa tak cukup semua ini. Telah sadar bahwa ia terlalu sibuk mencari semua yang sebenarnya telah ia miliki.

Begitu juga denganku, tersenyum selayaknya manusia yang telah menyelesaikan tugasnya. Kini aku dan Almira berjalan kaki menuju warung di dekat pantai mencari kopi susu favoritnya Almira. Dari kejauhan, Nathan dan kawan-kawan bersorak-sorak meneriakkan sesuatu.

"Cie ciee, jadi kapan nih mulai jadian?"

___

Cerita ini adalah fiksi belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun