Plot dalam film ini terbilang asyik untuk diikuti. Tak butuh teori berat tentang politik ala-ala pencurian di film-film barat, film ini mampu menawarkan sesuatu yang ringan namun tetap berisi, yakni dengan menjadikan anak muda sebagai karakter utama.
Dengan menjadikan anak muda sebagai karakter utama, nampaknya Angga Dwimas Sasongko paham betul bahwa pencurian dalam film ini tak boleh langsung berhasil dengan cara-cara keren seperti film pencurian pada umumnya.Â
Film ini dengan perlahan membangun ceritanya dan menunjukkan bahwa para remaja ini hanyalah pencuri amatiran yang terpaksa mencuri.
Dengan latar belakang dari masing-masing karakter yang diberikan sejak paruh awal film ini dimulai, penonton diajak untuk mampu memahami apa yang menjadi landasan motivasi para komplotan ini untuk mencuri.Â
Alasan mereka juga realistis, mulai dari hutang orangtua, biaya kuliah, dan berbagai permasalahan yang juga dialami oleh remaja sekarang.
Konflik batin berkenaan dengan uang juga dialami oleh mereka, apalagi dengan adanya dialog adegan Piko bersama Ucup yang tengah menghadapi konflik batin, dengan mengatakan
"Kami bukan pencuri pak! Tugas kami membuat lukisan palsu yang sama persis dengan lukisan asli."
Namun ketika diberikan tawaran berupa uang sejumlah milyaran rupiah, mereka langsung mengiyakan. Konflik batin mengenai uang ini memang bisa terjadi kepada siapa saja, tak hanya anak muda. Apalagi jika kemiskinan, hutang, dan kebutuhan melanda, mau tak mau mereka mengambil pekerjaan apapun yang ada.
Tak bisa disalahkan juga bila film ini kurang mengeksplor masalah internal setiap karakternya lebih dalam. Ya! hanya keluarga Piko yang benar-benar disorot hingga akhir film ini.Â