Dear diary, sial kau
Bercanda, entah aku harus menulis apa di buku konyol ini. Omong-omong, hai. Namaku Claretta. Konon, Claretta artinya berkilau. Namun kenyataannya, aku hanyalah gadis kulit putih 17 tahun yang membosankan. Aku bukan gadis spesial, itu maksudku, dan itu tidak masalah.
Kami pindah ke Jakarta dua tahun lalu, dan bukan wilayah yang asyik juga, selain hanya ada kemacetan, polusi, demonstrasi, dan lainnya. Kotaku juga baru menang hadiah utama untuk udara paling tercemar di Indonesia beberapa tahun berturut-turut, jadi... hore.
Bu Inaranti menyuruhku untuk berjanji melakukan ini, katanya bisa membuatku lebih gembira.
***
Ruangan Bimbingan Konseling dipenuhi oleh rak-rak buku psikologi, ditambah dengan satu meja dan dua kursi yang tentunya selalu diduduki oleh siswa yang sedang mempunyai masalah. Tidak, lebih tepatnya untuk siswa yang ingin menceritakan masalahya.
Aku diam, menunggu Bu Inaranti yang sedang menulis sesuatu, entah apa. Aku dipanggil kesini bukan karena aku ingin bercerita, mungkin karena ada hal yang ingin dibicarakan. Entahlah, aku tidak peduli.
Bu Inaranti meletakkan pulpennya, lalu tersenyum kepadaku.
"Belakangan ini ibu mendapat laporan dari wali kelasmu, katanya kamu sering tidak fokus ketika belajar. Ada apa? Apakah kamu sedang ada masalah?"
Aku balas menatap datar, "Bukan urusan ibu untuk tahu masalah saya."
Bu Inaranti menyentuh tanganku dan menggenggamnya.
"Setidaknya kamu bisa lebih lega ketika menceritakan masalahmu."
Aku menarik tanganku, dan membalas dengan malas. Jujur, aku paling tidak suka jika ada orang yang ikut campur masalahku.
"Tidak akan ada yang bisa memahami masalahku."
Baiklah, tampaknya aku berhasil membuat Bu Inaranti terdiam. Guru BK tersebut mengambil satu buku kecil di rak buku, lalu menyerahkannya kepadaku. Aku membaca sekilas, namanya buku diary. Ah, buat apa bu Inaranti memberiku buku tak berguna ini?
"Janji kau akan melakukan ini." Ucap Bu Inaranti dengan wajah tersenyum.
Aku masih diam dan menatap Bu Inaranti dengan tatapan tak peduli.
"Mungkin bisa membuatmu lebih gembira dan lega." Bu Inaranti kembali tersenyum, wajahnya yang mulai berkeriput ditambah dengan senyuman hangatnya membuatku sedikit percaya dengan perkataannya.
Aku mudah naik pitam. Aku tak mau begitu, tapi itu spontan. Ini karena kakakku meninggal musim kemarau lalu.
"Kini aku harus menulis apa? Aku tak paham."
"Apapun. Segalanya. Apapun yang terpikirkan."
Tak ada lagi yang mampu memberiku saran.
"Anggap kau bicara pada diri sendiri, dan hanya kau yang akan membacanya." Guru BK kembali memberi penjelasan.
Tak ada lagi yang mampu memberiku saran. Guru BK pun tak bisa.
"Boleh aku memakai ponselku saja?" tanyaku dengan sopan. Menurutku lebih mudah menggunakan ponsel dibanding buku diary. Pertama, karena aku tidak perlu repot membeli pulpen. Kedua, aku tidak suka menulis di kertas.
Bu Inaranti diam dan berpikir sejenak, "Ponselmu akan mengganggu, bukan? Aku mau kamu menjalani sesuatu yang lebih menyehatkan."
Sulitnya membuat Bu Inaranti setuju denganku. Memang, hal paling menyebalkan adalah ketika berbincang dengan guru BK.
"Hal ini memang sulit, tapi aku ingin setidaknya kau berusaha memiliki pengalaman SMA yang normal."
Aku langsung mengambil buku diary yang diberikan guru BK dan menatapnya sejenak.
Baiklah, aku mengangguk setuju. Menurutku, dia lumayan baik. Walaupun dia terlihat tua dan membosankan.
***
Jadi, semoga ini awal pengalaman SMA normal, apa pun artinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H