Tidak ada seorang-pun yang mau disebut pembohong. Namun, wajar saja sih, jika saya atau kamu yang tertangkap basah berbohong, pasti lihai mengumbar alasan, untuk mempertahankan harga diri dari rasa salah dan malu itu.
Akhirnya jika sudah kepepet ya mengaku dengan menyemburkan istilah itu hanyalah White-lying.
Apa? Berbohong untuk kebaikan? Ah, namanya kebohongan ya tetap saja menyakitkan bagi orang yang dibohongi.
Nah, dalam konteks sosial, kebohongan sudah menjadi barang yang harus dihindarkan oleh siapa saja, karena impact dari perbuatan itu tentu saja akan mengkultuskan sifat yang tidak baik pada diri kita. Karena kejujuran adalah hal selalu ditanamkan oleh nenek moyang kita sebagai orang timur.
Nah, bagaimana jika berbicara pada dimensi lain, politik misalnya. Apakah kebohongan yang dimaksud se-alergi apa yang kita pernah kita cap, seperti barusan di atas. Karena pas sekali jika diperbicangkan dengan momen saat ini kan?
Lagi ramai perseteruan Politisi Yusril Ihza Mahendra (YIM) dan juga Habib Riziq Syihab (HRS), yang saling menyemburkan stigma pembohong. Akibat pernyataan HRS soal pendapat keisalaman salah satu Capres tidak meyakinkan, kepada YIM bebrapa waktu dahulu.
Karena kedua-nya merasa benar, tentu saja klaim apapun yang dilontarkan keduanya akan terus bersaut-sautan untuk bertahan. Hingga YIM 'tega' mengeluarkan bukti berupa screen-shoot WA percakapan keduanya, sebagai pembenaran YIM atas perkataannya tentang ucapan HRS .
Saling sembur predikat pembohong tentu akan bermakna politis karena keduanya kebetulan terlibat dalam kegiatan politik saat ini --dengan menjadi salah satu pendukung Capres---
Apakah HRS mengakuinya? Belum, dan pasti dia pasti akan punya senjata lain untuk meng-klaim jika ucapan YIM itu bohong, dan dialah yang benar. Terus yang benar dan yang bohong siapa? Dan pasti kebohongan itu mengisayaratkan sesutu kepada kita, ya tentu makna politisnya.
Dari dimensi politik, bisa saja kita katakan jika, kebohongan itu bisa menjadi alat untuk mendulang tujuan tertentu, ya politis.
Buktinya ya gampang, secara umum saja sih, dari silih berganti kepemimpinan dalam konteks Presiden, apakah semua elemen rakyat merasa puas? Pasti ada saja bagian yang tidak pas dan merasa dibohongi atas realitas yang mereka rasakan saat ini.
Terus siapa sih pembohongnya itu? Akan menjadi tafisr masing-masing, dan yang ditunjuk pembohong juga lantas tidak serta-merta mengakuinya dong!
Poinnya, kebohongan dari dimensi politik, bisa saja kampanye dianggap sebagai ajang usaha 'pembohongan' atas janji kampanye yang belum atau tidak sama sekali terwujud.
Lalu apakah rakyat kecewa? Tidak juga, mereka tentu akan mencari calon 'pembohong' lainnya dalam pentas politik lima tahunan untuk untuk bisa menolong kepentingannya. Itu mah sudah hukum alam!
Meskipun ada juga yang kecewa dan tidak mempercayai semua politisi yang dianggap pembohong dengan tidak mau memilih mereka dalam hajatan Politik yang kita kenal Golput.
Politik dan kebohongan!
Demokrasi tentu saja selalu membukakan pintu bagi setiap orang berpendapat, sehingga dengan mudah menyemburkan opini negatif maupun positif dalam rangka membantu tatanan pemerintahan dalam melayani rakyatnya.
Sampai disitu, penafsiran bebas berpendapat dibelokkan sesuai jalan politis masing-masing orang, karena memang makna bebas berpendapat dalam demokrasi tidak bermakna tunggal.
Munculah kebohongan sebagai tak-tik baru untuk merayu pemilih dalam upaya menghimpun keberpihakan politik. Lihat saja, dalam setiap perdebatan kampanye misalnya, selalu saja tersaji opini yang bertentangan dengan rasa kejujuran yang dirasakan masing-masing pendebat saja. Meski salah, Â klaim saja itu benar!
Artinya, kebohongan sudah menjadi tak-tik politik dalam memainkan hati rakyat dalam mengentalkan rasa loyalitas pemilih dengan bungkus apa saja. Jika masyarakat kita dan generasi muda kita mengerti sampai di sini, tentu saja menilai aktivitas politis ya memang semacam ini, lantas kta tidak harus baperan menjadi fanatisme berlebihan.
Ada yang kenal Roger Stone? Dia salah satu konsultan politik yang meramu kebohongan menjadi tak-tik jitu dalam memenangkan Pilpres di Amerika Serikat.
Eit, inget! Penyebutan nama Roger Stone ini tidak ada hubungannya dengan nama-nama Capres yang sedang bertanding Di Indonesia sat ini. Ini hanyalah contoh, jika kebohongan adalah suatu celah demokrasi yang berharga dalam kegiatan politik.
Stone disebut sebagai konsultan politik yang menggunakan cara Rasis dan menyemburkan Hoak dalam pemilihan Presiden USA beberapa tahun silam.
Rumus tak-tik politik Stone adalah serang, serang, serang jangan pernah bertahan. Lalu ada juga, jangan mengaku, sangkal semua dan luncurkan serangan balik.
Dalam praktiknya, Stone meramu isu atau hoax yang sempurna seperti, menyatakan cincin kawin Obama terselip ayat-ayat Al-quran, lalu juga kriminalitas berkaitan erat dengan warga kulit hitam, dan Bill Clinton punya anak laki-laki kulit hitam bernama Denny Williams hasil hubungannya dengan pelacur.
Wah ngeri-ngeri sedap semburan hoax dan kebohongannya itu kepada lawan politiknya. Hingga akhirnya dengan narasi atas dasar kebohongan itu, dia dianggap berhasil membantu Trump dalam merebut kursi Presiden USA, dengan simpatisan suara yang mendominasi.
Dalam politik, apa saja menjadi halal-kan? Dan kesuksesan Trump dengan tak-tik ini sudah menjadi model yang juga diperjuangkan dalam peralihan kekuasaan di banyak negara. Dan menjadi tantangan tersendiri dalam kompetisi politik di negara demokrasi, termasuk di Indonesia.
Poinnya adalah, saya tidak bermaksud menunjuk, pihak mana dari 01 atau 02 yang menjiplak tak-tik mereka itu, saat sekarang.
Namun poinnya, Â pertama adalah, ada satu hal yang bergeser dari kemauan kita untuk bisa menegakkan Demokrasi ini dengan pondasi kejujuran. Lewat apa, tentu saja hal yang sederhana, perdebatan yang solutif diantara kedua kontestansi ini.
Dan yang kedua, agar kita menjadi paham jika, politik akan menggunakan segala macam cara yang menjadi celah dalam meraih kesuksesan politik.
Dan jika kita sudah mengerti kedua hal itu, kita kemudian menjadi sadar, dan segera dapat mengidentifikasi dan mencari tahu mana hal yang berbau kebohongan dan tidak dalam selipan opini di setiap kontestan politik yang bertanding saat ini.
Karena kita juga tidak bisa jua menyalahkan jika pilihan kita masih atas dasar pada  selera suka atau tidak suka pada kandidat calon, bukan layak atau tidak.
Nah, jika memang begitu, apakah tetap mau memberikan warisan kebohongan dari setiap  puncak hajatan pesta demokrasi itu nanti, terus menerus tak berujung?
Apakah ada tak-tik politik yang fair? Lihat saja SlowakiaÂ
Dalam dunia luar, selain USA. Kita bisa meneropong negara Slowakia, dimana para politisnua berhasil percaya diri dengan tidak menjiplak tak-tik politik kebohongan yang diperagakan USA.
Guardian, mengabarkan seorang wanita bernama Zuzana Caputova (45) berhasil menjadi kampium dalam kontestasi politik di negaranya. Wanita yang juga pengacara itu, berhasil menjadi Presiden wanita pertama dengan raihan 58.4%, dan memulai menjabat sebagai Presiden pada Juni mendatang.
Sosok Zuzana menyibak hal penting, jika dia berhasil membuktikan jika konstestasi Pemilu tidak harus selalu tampil menyerang
Di saat kampanye misalnya, Dia hanya melakukan kampanye positif, yakni kampanye berdasarkan nilai-nilai progresif dan reformasi politik.
Dalam kampanyenya, ia menggunakan slogan "Berdiri melawan kejahatan". Meski begitu, ia tidak menyerang pribadi lawannya dan menyebarkan pentingnya nilai-nilai "humanisme, solidaritas, dan kejujuran ".
Sebelum terjun ke dalam dunia politik, pada tahun 2016, Zuzana aputov adalah seorang aktivis yang menjadi terkenal setelah memblokir tempat pembuangan limbah yang rencananya akan dibangun di kota kelahirannya.
Dirinya juga ikut berperan dalam protes anti-pemerintah yang timbul akibat dari pembunuhan seorang jurnalis investigasi dan tunangannya, Jn Kuciak dan Martina Kunrov.
Setelah dua minggu pertama pemungutan suara terlampaui, ia dengan mudah memenangkan pemilihan putaran kedua melawan Maro efovi. Lawannya tersebut seorang komisioner energi Uni Eropa yang didukung oleh partai Smer. Smer merupakan partai yang mulai menggunakan populisme sejak beberapa tahun terakhir.
Nah dari Slowakia ini, kita pasti akan belajar banyak, jika apapun tak-tik politik atas dasar kebohongan yang diperagakan oleh 01 atau 02 tidak berhasil. Apakah kita masih mau menggunakan tak-tik konyol itu. Atau beralih kepada tak-tik politik yang berlandaskan kejujuran.
Tahapannya bisa kok dimulai dari sekarang, dengan tidak melakukan pembohongan atas semua kampanye yang bersifat halusinatif yang saat ini didengungkan oleh para politisi tanah air, termasuk tim kampanye kedua pasang calon.
Saya sih maunya yang realistis dan standar saja! Entah kamuu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H