Mohon tunggu...
Alfian Arbi
Alfian Arbi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aquaqulture Engineer

Aquaqulture Engineer I Narablog

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kangen Senja Itu

20 November 2018   14:13 Diperbarui: 20 November 2018   16:30 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teringat lagi cerita-cerita mistis tempat wisata yang kami kunjungi. Katanya-katanya, di sepanjang jalan menuju hutan-wisata itu, pernah terjadi pembunuhan dan mutilasi keji satu keluarga.

Potongan tubuhnya dibuang di dekat kali di belakang pohon bengkirai tua. Arwahnya, terkadang muncul meminta tolong, jika senja.

Benar atau tidak. Mungkin bisa menjawab, mengapa Minibus tua ini berjalan lamban pulang. Bulu-kudu-ku berdiri, tatkala Minibus itu berhenti di senja itu.

"Ada apa pak Her ?" tanyaku pada sopir

"Ga tau napa mogok," sahutnya pelan.

 "Ahhh,  berasap mesinnya,"sahutnya.

Aku bergegas keluar, mencari  arah asap itu muncul dan membuka kap mobilnya.

"Aww, Radiatornya bocor, over-heaaattt," sahutku.

Pikiranku tambah tak-keruan, kupaksakan bibirku mengembang, melengok kearah rombongan yang berjumlah  8 orang besertaku, dalam Minibus.

Jam sudah pukul 17.15 WIT, senja mulai menyapa. Gesekan ranting pe-pohonan mulai terdengar keras tergoda angin. Tanggung-jawabku sebagai pemandu wisata di-uji.

Dibelakangku, terdengar rintihan orang kesakitan.

Astaga! Seorang tua berambut putih berjalan membungkuk dengan tongkat. Tangan kanannya memegang perut, tangan kirinya menunjuk ke arah belakang.

"Mr Fred, are you Ok,?" tanyaku.

Dia mengangguk dan segera berlari ke arah pohon besar di belakangku. Rasa kebelet untuk BAB memang sukar ditunda. Mr Fred, satu-satunya wisatawan asing, sudah terbiasa keluar-masuk hutan.

Kubiarkan angin meniup mesin tua itu. Perlahan kupegang bagian Radiator, merasakan seberapa panasnya. Mengamati wadah cadangan air, di atas radiator.

"Airnya kurang dari 75%," batinku

Jika ada air dingin, gampangnya tinggal dituangkan saja hingga penuh, biar dinginnya cepat.

"Tapi dimana ada airnya? Hah, di kali itu?," teringat cerita mistis lagi.

"Gimana, Mas" tanya Lukman,  melongok dari jendela mobil.

Aku kaget, aku menghampiri rombongan, dan meyakinkan semuanya aman. Kulihat Istrinya, Prita masih bersabar mendekap Kevin, anaknya.

Dua wanita lainnya, Kanaya mulai serius, sangat khawatir. Sedangkan Anggi sibuk menikmati hasil jepretannya seharian, melalui layar kameranya sambil mengunyah coklat.

Ilustrasi I pexels.com
Ilustrasi I pexels.com
"Wah, jepretan keren sekali," candaku kepadanya, dibalasnya dengan tiga batang coklat.

"Nih, mas saya kasi coklat, buat pujian-nya," sahutnya ketus.

Kuraih coklat tadi, dan lekas kuberikan kepada Kevin, Prita dan Kanaya.

"Eh, ada coklat enak, sambil menunggu mobil ready, asik nih makan coklat," candaku kepada mereka.

"Braaakkk"

Lukman keluar, dan menutup pintu Minibus dengan keras. Dia bergegas ke sisi jalanan.

"Pemerintah di sini kerjanya apa ya? kok jalanan tidak diurus kayak gini. Kalau-pun ada yang bisa menjemput kita, pasti datang-nya malam, karena jalanan jelek begini, mana sinyal susah lagi," ujarnya.

HP-ku bergetar. SMS-ku terbalas, sinyal satu-bar malu-malu muncul menghantarkan pesan baik. Temanku segera datang dalam waktu 2 jam-an, namun sedan-nya hanya berkapasitas 4 orang.

Aku mencoba kembali menghubungi petugas di kawasan wisata, sapa-tau berhasil.

"Ok pak, segera ya. Jangan lupa bawa senter, kalau ada juga jeriken yang berisi air," pintaku mengakhiri sambungan telpon.

Tiga-puluh menit berlalu, hanya menunggu. Serangga malam, mengintip dibalik pohon besar, bersiap menyayikan suara merdunya, memanggil binatang-binatang bersantap malam.

"Priiiit, Priitt, Priitt........."

Ahh, suara peluit sayup terdengar di balik pohon. Gelap menyapa, menahan kaki-ku mendekat ke arah suara di balik pohon besar.

Kanaya menjadi gelisah, dan terus menyalakan senter HP-nya, terus melawan gelap. Dia melihat ada Sinar memancar, seperti mata yang menyala yang mulai membesar, mendekat ke arah kami.

ilustrasi Ipexels.com
ilustrasi Ipexels.com
Ternyata pak Amat, petugas hutan, yang datang dengan motornya.

"Syukurlah," batinku.

 "Ini jeriken, masih berisi bensin sedikit, bekas menyimpan bensin cadangan untuk motor-kami, sayang dibuang," ujarnya.

Ah, harapku, jeriken tadi berisi air. Ya sudahlah, kuminta Her dibantu Lukman mencari ranting-kering, membuat api unggun kecil dengan bensin, sebagai penerangan sementara.

Suara peluit itu, terdengar lagi dari arah pohon besar di belakang kami. Cerita mistis itu, menebalkan rasa takutku.

Kanaya kembali gelisah. Kevin takut melihat api dan meringis. Nyamuk mulai genit menempel di kulit. Suara tepukan ke kulit, berkali-kali terdengar menggema.

"Semua pakai lotion anti-nyamuk dulu, banyak Nyamuk hutan, bisa demam nanti," ujar Lukman, merogoh isi tasnya.

"Peluit itu, pertanda ada yang minta tolong," ucap Amat, ketika mendengarnya.

Astaga, jangan-jangan hantu? Oh iya, aku baru ingat Fred, dan segera menengok ke arah pohon besar itu. Lalu kuhubungin HP-nya tak terangkat.

"Di balik pohon itu, pasti ada sungai kecil,?" tebak-ku.

"Adaaa," sahut Amat.

Alamak, rasa takutku menebal.

"Ayo kita ke sana mas,"ajak Amat.

"Biar saya dan pak Her di sini, berjaga-jaga" ajak Lukman.

Akhirnya, dengan rasa takut, aku mengikuti langkah Amat, ke arah pohon besar itu yang terdapat sungai kecil di bawahnya.

Ilustrasi I pexels.com
Ilustrasi I pexels.com
Aku melihat botol air berukuran 2 liter, berserak di tas Kanaya, dan  memintanya. Berharap, bisa membawa air yang cukup untuk mendinginkan radiator minibus ini, ketika menemukan Fred di Kali.

Melihat ke bawah, dari balik pohon, sosok putih menyerupai potongan kain kafaan terlihat. Aku hanya teringat rambut putihnya.

"Astaga, itu Fred"

Kami menemukan Fred tergeletak, kakinya terkilir, ketika menaiki bukit, usai BAB.

Pak Amat, segera membopong badan Fred yang ringkih dalam kegelapan. Aku mendorongnya untuk mendaki ke atas, ke arah pohon besar. Untungnya, Pak Amat, hapal sekali medan ini.

"Ahh, semoga arwah-arwah mereka tidak muncul," doaku.

Setiba di rombongan. Aku segera membalut kaki Fred, berutung tas Fred menyisakan obat-obatan penahan rasa nyeri dan perban.

"Fred langsung ikut dengan pak Amat ke Pintu masuk depan, sementara lainnya menunggu saja di sini,"ujarku.

 "Pak her, itu ada air di botol, coba tuangkan ke wadah air radiatornya ya," pintaku, sambil membantu mengangkat Fred ke motor dibantu Lukman.

Aku menuliskan nomor kontak teman, yang sedang kemari di secarik kertas. Dan meminjam Smart-phone Prita yang masih terhubung internet, membagikan posisi lokasi kami via Whatsapp kepada temanku tadi.

"Pak, kalau sudah sampai dan mendapat sinyal, di pintu, telpon nomer ini, tunggu sampai datang, biar Fred diantar ke rumah sakit. Aku khawatir kesehatannya, karena sudah tua. Lalu telpon kami,"pintaku

"Ini uang, siapa tahu di dekat pintu ada warung membeli beberapa botol air mineral," timpal Prita, merogoh Rp 100.000 dari kantong jaket Kevin.

Aku meminta rombongan bersabar. Kondisi tidak memungkinkan, jika rombongan di-evakuasi satu persatu menggunakan motor yang berdurasi 30 menit pulang-pergi ke pondok pintu hutan. Terlebih suasana gelap.

"Brumm, brumm, brummm..."

Menunggu selama 2 jam hingga pukul 19.00 WIT, ternyata membuahkan hasil. Mesin mobil dingin, membuat Minibus bisa berjalan lagi. Her nampak lelah, kuharap penyakit jantungnya tidak kambuh.

"Biar saja dia tidur, saya biasa ikutan off-road" Lukman menyahut.

Malam itu perut kami mulai lapar. Ada sisa dua pax nasi bungkus, lekas kuberikan Her dan juga Kevin yang menggerang lapar.

"Pak Her dan kevin makan dulu ya," Pintaku.

Anggi yang jua terserang lapar, lekas mengeluarkan koleksi coklat yang memenuhi tasnya. Tapi, Kanaya masih terdiam tegang.

"Ini  masih ada Coklatnya, buat nge-nyangin perut," Ujar Anggi dengan senyuman kepada kami.

Ajaib, Minibus tua mulai berjalan maju. Dalam kondisi radiator yang bocor, tentu saja mesin mudah panas lagi. Padahal jarak tempuh masih 35 Km menuju Penginapan.

"Nanti setiap 8 Km kita berhenti dulu ya, kita cek lagi airnya, dan isi," Ujarku.

Petualangan dimulai gelap malam di sepanjang jalan menawarkan sejuta keindahan. Aneka binatang malam, lukisan pekatnya malam menyapa kami.

“Ya ampun, kuskus lucu,” Celetuk Anggi, dan meminta mobil berhenti , lalu keluar menjepret objek itu. Kakinya terjerembab  lubang.

“Kakiku,” jeritnya

Aku bergegas keluar, menuntunnya kembali ke mobil.

Salep pereda nyeri milik Fred masih tersisa, kugunakan pada kaki Anggi yang sakit.

Pengalaman sepertinya menjadi bonus, menambah segudang cerita buat rombongan .

"Ini bakal jadi tulisan bagus , begitu buruknya akses jalan, di daerah wisata ini, biar bisa di-tindaklaunjuti Pemda-nya" ujar Lukman, yang kebetulan menghadiri Kompasianival 2018 Jakarta, besok .

Senyum Kanaya sudah mengembang.  Anggi, masih sibuk menjepret objek malam dari balik jendela. Kevin terlelap , setelah makan dan meminum obat asma-nya . Begitu jua Her yang terbaring,di kursi belakang.

Lega hatiku, aku berharap bisa kembali ke penginapan pukul 20.00. Tanpa halangan apapun, apalagi menjumpai hal mistis itu di perjalanan.

Kutengok  spion. Cahaya putih dan suara mengikuti kami, rasa takutku kambuh. Hp-ku berbunyi mengejutkanku .

"Hallo, bagaimana wujud arwah-arwah itu pak," ucapnya, bercanda.

Itu telpon  pak Amat, sengaja mengawal kami dari arah belakang dengan motornya, dan Fred dalam perjalanan ke RS terdekat. 

Duuh leganya hatiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun