Ancaman-ancaman tersebut memang harus menjadi perhatian, terutama perhatian Pemda dalam menelurkan kebijakan ekspolitasi yang pro terhadap lingkungan. Dalam artian komitmen terhadap hak dan kewajiban perusahaan pengeksploitasi belantara Kaltim plus pengawasannya.
Tapi seperti peribahasa "Sudah jatuh tertimpa tangga pula", itulah gambaran Kaltim saat ini. Jika melihat apa yang didapat dari usaha pertambangan ternyata tidaklah sebanding dengan biaya yang dikeluarkan dalam upaya pemulihan lingkungan yang rusak.
Hal ini sungguh tidak berimbang jika hasil yang didapat APBD Kaltim rata-rata hanya Rp 11 triliun saja. Apakah hal itu belum cukup menguatkan dalam menelurkan kebijakan yang lebih pro lingkungan sekarang?
Bila kita review, Kaltim memang dimanja pada sektor ekonomi berbasis SDA tak terbarukan. Dari tahun 1970-1990 sektor kehutanan menjadi tulang punggung dan membawa Kaltim dengan pertumbuhan ekonomi 7.42% per tahun.
Pada era 90-an sektor pertambangan Migas dan Mineral menjadi basis ekonomi menggantikan keterpurukan industri perkayuan membawa Kaltim pada tingkat pertumbuhan 5.71% per tahun.
Di 2015 lalu sektor pertambangan Kaltim kian redup. Pertumbuhan ekonomi Kaltim menjadi minus 0.85%, lebih rendah dari tahun 2014 yakni 2.02% saja. Bank BI menyebutkan pada kuartal I/2016 juga masih mengalami pertumbuhan minus 1.61%.Â
Dan ketika harga batubara hancur saat ini, hal manis di atas tampaknya menjadi mimpi buruk bagi APBD Kaltim dan juga kota/kabupaten di wilayah Kaltim.
Pelajaran dari Kaltim!
Pemerintah Kaltim memang telah mengeluarkan instruksi kepada bupati dan wali kota se-Kaltim untuk menertibkan izin pertambangan bermasalah sejak 2014 lalu, istilah yang dipakai adalah moratorium izin tambang.
Penertiban perizinan ini akan menjadi penting agar tumpang tindih lahan bisa dihindari serta reklamasi lahan bisa segera dilakukan secara proposional.
Hasil monitoring Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) hingga tahun 2013 menemukan total penguasaam lahan tambang di Kaltim, berkisar lebih dari 7 juta Ha. Terdiri dari 1451 izin usaha pertambangan (IUP) luas 5.314.294,69 Ha.