Senyum Belantara Kalimantan Timur (Kaltim) tak semanis dulu. Jika berkesempatan berkunjung ke Ibu kota Kaltim, Samarinda. Kita pasti menyaksikan satu dari banyak etalase belantara menyapa, melintasi jalur taman hutan (Tahura) Bukit Suharto dari Balikpapan menunju Samarinda. Jenis pohon Meranti, berdiri kokoh tegak, berbaris rapi menyambut di kedua sisi jalannya, melembutkan sinar matahari yang panas menjadi dingin seketika masuk menjelejahinya.
Pemerintahan orde baru, dulu menyebut kawasan ini “sacral”, dimana seluruh perusahaan HPH (hak pengusahaan hutan) wajib menanam benih pohon di kawasan itu, tak terkecuali juga perusahaan bidang pertambangan wajib melakukan reklamasi pengganti.
Sehingga, kawasan konservasi Bukit Suharto banyak dikunjungi oleh para tamu penting dari banyak negara. Konon Ratu Beatrix dari Belanda datang membuktikan keberhasilan sosok HM Soeharto menjaga kelestarian kawasan yang dulu sempat ditetapkan sebagai kawasan Hutan Lindung. Sebelum statusnya diberubah menjadi Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Suharto dengan luasan 61ribu Ha di 2004.
Jangan terhipnotis kagum, menyaksikan kisah manis belantara Tahura Bukit Suharto dengan segala kekayaan flora di dalamnya. Sebut saja sebaran flora Meranti, Keruing, Mahang, Mengkungan, Hora, Medang, Kapur, Kayu Tahan, Keranji dan perupuk. Ditambah lagi kekayaan fauna seperti Orangutan, Beruang Madu, Macan Dahan landak dan Rusa sambar.
Potensi keanekaragaman hayati menjadi alasan kuat pemerintahan Orba dalam memberi perhatian besar bagi pelestarian lingkungan di kawasan Tahura Bukit Soeharto ini dahulu. Namun harus disadari dalam beberapa masa terakhir 2000-an, kondisinya malah kian sekarat dan terancam akibat berbagai tekanan baik pertambangan dan kebakaran hutan.
Si Malakama: Eksploitasi dan Konservasi di Tahura Bukit Suharto
Kita juga sering melihat truk berbadan lebar (dump truck) 12 roda bermuatan batubara, lalu lalang di areal Tahura. Terdapat jalan-jalan itu kecil menuju jalan haulingke tengah areal Tahura, yang dahulu merupakan jalan eksperusahaan kayu pemegang ijin HPH. Jalan itu berstatus jalan kolaborasi, yang ijinnya dikeluarkan oleh kementrian kehutanan melalui SK Menhut no 270/2009 hingga SK terbaru nomor 577/2009. Namun diluar itu izin itu tidak sedikit pula ruas jalan bermunculan.
Jauh di dalam areal Tahura,kita bisa mendapati beberapa aktivitas tambang batubara. Lebih lagi, kawasan Tahura Bukit Suharto juga akan dilalui ruas jalan tol Balikpapan-Samarinda, dan saat ini proyeknya tengah dikebut oleh Pemprov Kaltim. Tarik ulur izin melintas di Tahura-pun masing sengit terjadi, terutama izin Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kemenhut.
Areal Tahura Bukit Suharto memang disebut-sebut mengandung cadangan batubara berkisar 150 juta MT. Dengan kondisi itupulalah dikeluarkannya eksploitasi pertambangan, dikarenakan kandungan batubara di areal tersebut diduga dapat menyulut kebakaran hutan setiap tahunnya (Antara News).
Bisa kita bayangkan apa dampaknya, jika semua perusahaan pemegang kuasa KP dalam areal Tahura Suharto, sudah melakukan tahap ekspolitasi di areal itu bersama-sama. Pertama pertumbuhan ekonomi muncul, yang merembet munculnya kawasan pemukiman baru di kawasan Tahura. Sudah pasti dampak ekologis berupa erosi, debu dan air, berkurangnya luasan areal hutan dan menurunnya keanekaragaman hayati. Hilangnya resapan air dan fungsi penyangga yang terkait dengan DAS (Daerah Aliran Sungai).
Tapi seperti peribahasa, “Sudah jatuh tertimpa tangga pula”, itulah gambaran Kaltim saat ini. Jika melihat apa yang didapat dari usaha pertambangan ternyata tidaklah sebanding dengan biaya yang dikeluarkan dalam upaya pemulihan lingkungan yang rusak.
Sumber judicial review terhadap UU Nomor 33 Tahun 2003 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah mencatat kerugian kerusakan akibat dampak eksploitasi SDA Belantara di Kaltim mencapai Rp 9 Triliun pertahun dan total pembiayaan 15 tahun kedepan ditaksir Rp 138 Trilyun. Hal ini sungguh tidak berimbang jika hasil yang didapat APBD Kaltim rata-rata hanya Rp 11 Trilyun saja. Apakah hal itu belum cukup menguatkan dalam menelurkan kebijakan yang lebih pro Lingkungan sekarang?
Di 2015 lalu sector pertambangan Kaltim kian redup. Pertumbuhan ekonomi Kaltim menjadi minus 0.85%, lebih rendah dari tahun 2014 yakni 2.02% saja. Bank BI menyebutkan pada kuartal I/2016 juga masih mengalami pertumbuhan minus 1.61%.
“Moratorium Tambang Sekarang, Terlambatkah?
Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak telah mengeluarkan instruksi kepada Bupati dan Walikota se-Kaltim untuk menertibkan izin pertambangan bermasalah sejak 2014 lalu, istilah yang dipakai adalah Moratorium izin tambang. Penertiban perizinan ini akan menjadi penting agar tumpang tindih lahan bisa dihindari serta reklamasi lahan bisa segera dilakukan secara proposional.
Hasil monitoring Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) hingga tahun 2013 menemukan total penguasaam lahan tambang di Kaltim, berkisar lebih dari 7 juta Ha. Terdiri dari 1451 izin usaha pertambangan (IUP) luas 5.314.294,69 Ha. Sebanyak 67 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) menguasai lahan 1.624.316,49 Ha, dan 5 kontrak karya seluas 29.201,34 Ha.
Dari kebijakan moratorium ini, Pemprov Kaltim mengklaim setidaknya dari 1404 izin tambang yang telah dibagi-bagi, terdapat 826 izin tambang yang akan dicabut, yang sedianya akan beroperasi di areal 2.48 Juta Ha, ini adalah hal luar biasa saya pikir.
Memang pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dan kelapa sawit merupakan pengguna kawasan hutan terbesar di Kaltim, dimana kawasan Tahura Bukit Suharto ikut menjadi bidikan selanjutnya dalam meraup pundi APBD semata. Padahal kita sangat paham jika pertambangan batubara adalah penyumbang deforestasiterutama dilihat jumlah area lahan yang telah digunakan.
Saya ingin mengatakan bahwa kebijakan Moratorium ini baik, jika benar ada komitmen dari para kepala daerah yang memiliki hak otonom dalam pengelolaan SDA wilayahnya. Artinya, juga Pemda harus giat mencari ide creative lainnya menggarap sektor non-SDA yang dapat diharapkan dalam menjalankan pembiayaan pembangunan daerah.
Terlepas kebijakan Moratorium masuk dalam kebijakan populis atau politis. Saya kira segenap masyarakat yang peduli lingkungan untuk terus mengawalnya. Dimana semua elemen masyarakat, pertama harus diedukasi sehingga mengerti dan sadar jika apapun aktivitas pertambangan di areal hutan yang tidak diiikuti oleh kegitan revetasi dan reklamasi merupakan tindakan penghilangan hutan yang illegal.
Meskipun legalisasi negara dalam menghilangkan hutan melalui rumusan perundang-undangan yang kurang cukup mengatur kegiatan reklamasi termasuk praktik pemerintah daerah yang tidak melakukan pengawasan pelaksanaan reklamasi pertambangan batubara di area kawasan hutan. Disinilah titik, kebijakan Moratorium tadi bisa dibuktikan komitmennya.
Mendesak Pemda Kaltim membuat kebijakan yang lebih keras tentang pelarangan aktivitas pertambangan selain Moratoriumtambang, menurut saya masih sulit. Karena pelarangan eksploitasi tambang tentu berbenturan dengan UUD 45 dan UUD nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara.
Ini seperti dilemma, di satu sisi merupakan kehendak masyarakat yang mau mengharamkan aktivitas pertambangan dan di sisi lainnya amanat UUD justru membolehkannya dan secara yuridis kedudukan UUD lebih tinggi dari Perda.
Meskipun sulit untuk membuat Perda pelarangan aktivitas tambang, Pemkot Balikpapan dengan komitmennya bisa menelurkan Peraturan Walikota No 12 tahun 2013. Perwali tersebut benar-benar mengharamkan aktivitas pertambangan batubara di areal wilayah Balikpapan, meski wilayahnya memiliki prospek SDA batubara. Namun tentu saja, opsi peraturan walikota ini akan memiliki kelemahan dimana dapat diganti oleh walikota selanjutnya, sesuai arah visi programnya. Ini merupakan inspirasi menenatang nyali kepala daerah lain yang harus ditularkan .
Bagi saya momen Moratorium tambang ini biarlah menjadi momentum Kaltim untuk move on. Dalam artian, Kaltim sudah mulai belajar untuk lebih creativemencari andalan sector ekonomi baru dalam menjaring pundi APBD lainnya. Bercermin pada Uni Emirat Arab yang sukses dalam 3 dekade ini melepaskan ketergantungan perekonomian mereka dari produksi minyak dan beralih pada sector jasa dan pariwisata menjadi tulang punggung perekonomiannya, dan berhasil kok.
Menurut saya, Kaltim sebenarnya memiliki potensi pariwisata menarik untuk dikembangkan. Lihatlah Derawan yang jika dikelola bisa kok menandingi Bali. Terlebih lagi Kaltim memiliki 8 kawasan industry dan ekonomi khusus yang dapat memutar roda ekonomi lebih kencang lagi.
Moratorium itu akan menyisakan Belantara kaltim sebagai assetyang tak bernilai bagi generasi berikutnya. Para wisatawan pasti akan penasaran dengan senyuman belantara Tahura Bukit Suharto. Pohon-pohon yang besar dan juga satwa akan menjadi rayuan jitu untuk datang memperkuat sector non eksploitasi SDA kaltim untuk tumbuh dalam menyangga ekonomi Kaltim kedepan.
Nah sekarang bola ditangan setiap kepala pemerintahan daerah saja. Dengan hak otonom yang besar digunakan, apakah bisa menyulap lingkungan belantara Kaltim menjadi lebih buruk atau lebih baik lagi. Semoga apa yang terjadi di Kaltim dapat memberikan formulasi untung rugi kepada Pemda lainnya dalam upaya rencana eksploitasi SDA belantara mereka. Save Tahura Suharto Sekarang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H