Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Mengenal Fenomena Social Loafing alias Malas Kerja Bareng pada Gen Z

18 Agustus 2024   15:27 Diperbarui: 19 Agustus 2024   16:11 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beda generasi, beda pula pandangan hidupnya, maka beda pula bagaimana mereka mencari mata pencaharian.

Jika pada generasi 80an atau 90an, mau kerja di mana saja tak masalah, yang penting bisa menghidupi dirinya dan keluarganya, namun seiring berjalannya roda zaman, generasi Z yang lahir di era  awal 2000an memiliki pandangan lain tentang konsep dalam mencari rejeki.

Gen Z lahir pada zaman di mana data dan informasi bisa didapatkan hanya dengan sekejap mata, segala sesuatunya bisa dipelajari sendiri, tanpa harus susah payah menjalani yang namanya "pengalaman".

Kehadiran Mbah Google dan Paman YouTube memang merubah segalanya dan para Gen Z adalah murid setianya. Hal yang demikian akhirnya membentuk karakter mereka yang agak "lone-wolf" atau pribadi yang senang melakukan pekerjaan yang cenderung individual.

Akibatnya banyak Gen-Z yang bahagia bekerja seperti freelance atau pekerja lepas, bagi mereka bisa tinggal di kontrakan sepetak dan internetan sepuasnya atau beli sayur lauk pauk di warteg, sudah membuat mereka bahagia.

Namun bagaimana jika para Gen-Z ini "terjebak" berkerja di suatu instansi atau perusahaan yang menuntut pola kerja sama tim dalam berkerja.

Hal ini ternyata banyak dikeluhkan beberapa perusahaan atau instansi pemerintahan, di mana para karyawan baru Gen Z memang agak sulit penyesuaian dalam kerjasama pada satu team kerja.

Bukannya mereka tidak bisa berkerja, tetapi lebih kepada dimana kadang bingung mau melakukan apa dalam pekerjaannya yang di mana dalam satu unit kerjanya diisi oleh banyak karyawan.

Hal yang seperti ini sering kita lihat pada instansi pemerintahan, di mana kadang pada satu unit kerja bisa diisi oleh banyak orang, akibatnya seorang karyawan diberi job desc yang tak terlalu banyak.

Kondisi seperti ini, biasanya agak membuat para Gen Z bingung hendak melakukan apa dalam pekerjaannya, imbasnya mereka pun menjadi terkesan malas-malasan dalam pekerjaan, utamanya ketika pekerjaan yang dikerjakan bersama, inilah yang disebut fenomena Social Loafing.

Social loafing merupakan fenomena dimana seseorang kurang berkontribusi dalam suatu tugas ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan dengan bekerja sendiri.

Bisa saja di saat bekerja sendiri, banyak orang cenderung lebih berusaha lebih keras. Namun, pada saat dilibatkan dalam suatu kelompok, effort dari orang tersebut justru tampak berkurang.

Adalah  Max Ringelmann, insinyur pertanian asal Prancis, pada 1931 yang pertama kali memperkenalkan fenomena ini, melalui penelitiannya, yang dilakukannya adalah meminta peserta penelitian untuk menarik tali, baik sendiri maupun berkelompok.

Ringelmann melihat dalam penelitian tersebut bahwa pada saat seseorang bekerja dalam kelompok, ia melakukan lebih sedikit usaha untuk menarik tali daripada saat bekerja secara individu.

Penelitian ini dijadikan dasar dari penelitian lainnya yang membahas tentang social loafing sehingga fenomena psikologi sosial ini juga sering disebut sebagai Ringelmann effect.

Seorang social loafer tidak mau berusaha kerja maksimal saat mengerjakan tugas  secara berkelompok, ia menganggap bahwa tugas tersebut akan diselesaikan oleh rekan kerja lainnya.

Bisa saja seseorang mungkin punya ekspektasi lebih rendah saat bekerja dalam kelompok. Suatu unit kerja juga tidak menghargai hasilnya seperti ketika melakukan tugas secara individu.

Kondisi berkurangnya motivasi untuk mencapai tujuan ini kerap membuat social loafer tidak memberikan kontribusi sebanyak yang sebenarnya mampu mereka berikan, jika mereka melakukanya sendirian.

Kemalasan sosial berdampak serius pada pekerjaan. Social loafing bisa meningkatkan waktu dan biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas.

Saat seorang individu tidak berkontribusi secara maksimal, kualitas pekerjaannya juga bisa menurun. Pekerjaan dapat tidak diselesaikan dengan baik atau hasilnya tidak sesuai standar yang diharapkan.

Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi social loafing pada pekerja gen Z yakni sebagai berikut.

Evaluasi Ukuran Satuan Kerja

Dalam suatu unit kerja harus selalu memperhatikan koefisien antara jumlah job description dengan jumlah karyawan di dalamnya.

Jika ternyata semisal ada 6 job description dalam satu unit kerja, lalu di dalamnya terdapat  8 karyawan, maka bisa jadi terdapat 2 karyawan agak "nganggur" ketika jam kerja berlangsung.

Maka di sinilah peran seorang manajer dalam memantau efektivitas suatu unit kerja, jika terdapat suatu unit kerja berlebih jumlah tenaganya, maka bisa dialihkan sebagian ke unit kerja yang lebih banyak membutuhkan tenaga.

Atau bisa menambah beberapa job description baru yang kiranya terdapat kesesuaian suppy chain management pada suatu perusahaan.

Jika pada generasi oldskull, mereka selalu mau mengerjakan beberapa tugas yang bukan job desc utamanya, seperti merapikan arsip, menyapu lorong dan lainnya. Hal yang berbeda pada Gen Z yang kadang kurang peka untuk melakukan job desc lainnya, maka agak mendapat kesan malas, jika ia sudah selesai mengerjakan tugas utamanya, biasanya dihabiskan dengan main game atau bersosmed ria, ketimbang melakukan tugas di luar job desc utamanya.

Maka dari itu, para manajer harus sepintar mungkin dalam mengatur formasi satuan kerja di dalamnya, agar tidak sampai terjadi ada karyawan yang terkesan "nganggur" atau "makan gaji buta".

Koordinasi Berkala ala Kaizen

Tetapkan koordinasi secara berkala dalam suatu unit kerja, agar beberapa job description bisa terdistribusikan secara merata kepada seluruh karyawan dalam satu unit kerja

Dalam koordinasi harus mencatat secara detail segala capaian kinerja setiap lini, sehingga akan terlihat mana saja yang terlihat kurang efektif. Maka dengan demikian, para karyawan gen Z akan terpacu memperbaiki hal-hal yang kurang efektif tersebut.

Koordinasi yang dilakukan tidak perlu berlama-lama, cukup lakukan saja secara intens berkala disesuaikan pada jam kerja saja, intinya koordinasi dilakukan untuk meminimalisir hal-hal yang kiranya menghambat efektivitas dalam suatu pekerjaan, sehingga setiap karyawan menjadi lebih jelas apa yang hendak dilakukan pada setiap pekerjaan yang diemban.

Pada koordinasi ala Kaizen, memang menitikberatkan pada detail-detail kecil yang kiranya dapat memberikan perubahan besar pada suatu perbaikan kinerja.

Balance Scorecard and Reward

Terapkan balance Scorecard pada suatu unit kerja, sehingga akan tampak kinerjanya secara utuh, dan akan terlihat siapa saja anggota unit kerja yang tampak kurang efektif.

Sekiranya ada 6 tahapan dalam membangun suatu balanced scorecard pada unit kerja yaitu: 1) menentukan landasan dasar unit kerja 2) membangun strategi unit kerja 3) membuat tujuan unit kerja 4) membuat strategic map unit kerja 5) pengukuran kinerja tiap individu dan 6) menyusun evaluasi dan inisiatif.

Pada balance Scorecard juga akan terlihat jelas siapa saja yang ternyata kinerjanya kurang optimal, bisa saja bukan karena dia tidak bisa berkerja, karena mungkin yang bersangkutan bisa sangat cepat mengerjakan job desc yang diembannya, sehingga bisa dilakukan evaluasi job desc baginya.

Jika ada karyawan yang memang terlihat menonjol, peka terhadap permasalahan, seorang manajer harus memberikan reward yang setimpal. Hal tersebut bisa memacu karyawan lainnya, termasuk golongan gen Z untuk juga terpacu meningkatkan kinerjanya.

Keterlibatan Acara Informal

Pada acara-acara seperti employee gathering atau hiburan karyawan, cobalah untuk menunjuk para karyawan gen Z sebagai panitia utamanya, biasanya mereka memiliki ide-ide aktual dan lebih menarik serta tentunya membuat mereka merasa dihargai dalam suatu unit kerja.

Maka ketika mereka sering diberi kepercayaan dalam acara-acara kebersamaan karyawan, maka secara tidak langsung membentuk kepercayaan dirinya serta lebih mengasah kepekaannya terhadap lingkungan kerja.

Sehingga ketika dihadapkan pada jam kerja normal, para karyawan gen Z sudah mulai tidak sungkan kepada para seniornya, dan bahkan mungkin bisa menawarkan diri untuk membantu rekan kerja lainnya yang belum menyelesaikan pekerjaannya.

Social Loafing memang suatu hambatan dalam suatu unit kerja yang membutuhkan prinsip kerja sama di dalamnya. Diharapkan para karyawan Gen Z bisa menghindari kebiasaan individual ini dan lebih peduli lingkungan kerjanya. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun