Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tahun 2100, Kehidupan Tanpa Smartphone

10 Agustus 2024   20:34 Diperbarui: 10 Agustus 2024   20:58 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi smartphone dibuang dan dibakar di era tahun 2100 (sumber : Clark Chronicle )

Alkisah di tahun 2100, hiduplah seorang nenek yang bernama Khayla Shaffa Queena. Dilihat dari namanya sang nenek tergolong generasi Alpha yang lahir pada era 2000belasan, dan besar kemungkinan orang tuanya termasuk generasi millenial atau gen Z di masa lalu.

Pada era 2100, sang nenek tampak keheranan dengan generasi ini, dimana ia melihat generasi pada masa ini seolah seperti ke jaman batu yang sudah tak memakai lagi gawai smartphone dalam keseharian, seperti masa kecilnya dahulu.

Generasi pada masa ini disebut "Gen XYZ100", sebuah generasi yang sangat berbeda dengan generasi-generasi terdahulu, utamanya dalam pengurangan pemanfaatan teknologi informasi sehari-hari.

Sang nenek yang akrab dipanggil "grandma Khayla" ini sering bingung dengan anaknya yang tak pernah pergi ke kantor untuk mencari penghidupan, serta dibuat heran dengan cucunya yang bersekolah hanya 3 hari dalam seminggu saja, itu pun bersekolah sangat dekat sekali dengan kediamannya, bukan bersekolah di sekolah favorit seperti jamannya dulu. Pada masa ini sistem zonasi sudah merata dimana-mana, pemerintah mewajibkan setiap anak harus bersekolah di dekat rumahnya, agar bisa banyak waktu untuk bermain dan dekat dengan keluarga, serta melatih kemandirian.

Anak-anak dari grandma Khayla, rata-rata berkerja sebagai petani lokal, pada masa ini sudah tidak trend lagi kerja berdasi kantoran. Kesejahteraan berhasil diwujudkan pemerintah karena hasil tambang dan gas alam benar-benar diberikan hampir seluruhnya untuk rakyat. Pada masa ini setiap kepala keluarga diberi tambahan subsidi sebesar 20 juta Rupiah, sementara fresh graduate diberikan bekal 5 juta setiap bulannya, dan masih banyak benefit kesejahteraan lainnya yang diberikan oleh pemerintah.

Maka dari itu, kebanyakan masyarakat pada jaman ini, justru banyak yang berprofesi petani, selain untuk kecukupan pangan, juga sebagai sarana interaksi sosial antar warga masyarakat pada lahan yang digarap bersama-sama serta untuk menyehatkan raga mereka melalui kegiatan fisik bertani, tak ayal generasi ini minim stress dan jarang sakit.

Memang masih ada perkantoran atau perbankan yang beroperasi, namun hanya sekedar kepengurusan administrasi saja.

Hal yang paling membuat grandma Khayla bingung adalah hampir sebagian besar masyarakat di jaman ini, tidak memakai gawai smartphone dalam keseharian mereka.

Pada masa kecil grandma, mulai dari belajar merangkak, beliau sudah akrab dengan Cocomelon pada hape ibunya, lalu belajar dan bermain dengan berbagai aplikasi smartphone miliknya. Kemudian membayar segala keperluan dan perbelanjaan dengan aplikasi payment, bahkan sang nenek sempat merasakan booming teknologi smartphone hologram yang super canggih di era 2050an.

Namun semua itu berubah di era 2070an, dimana terjadi "Revolusi Bahagia", dikisahkan generasi muda pada jaman itu, termasuk anak-anak grandma Khayla, mengadakan protes demonstrasi besar-besaran kepada pemerintah tentang mencari makna kebahagiaan. 

Protes ini ternyata juga terjadi di negara-negara lain, sehingga bisa dikatakan ini adalah gerakan massal damai dunia, mirip-mirip yang dilakukan generasi 1970an hippies yang menuntut penghentian perang di dunia.

Tuntutan para generasi muda seluruh dunia, hanya 3 saja. Pertama, hasil minerba digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan semua rakyat. Kedua, hentikan digitalisasi berlebihan dalam segala aspek kehidupan. Ketiga, ekonomi berfokus kepada ketahanan pangan.

Sekilas mungkin seperti gerakan sosialis atau komunis, namun "Revolusi Bahagia" tidaklah seperti utopia Karl Marx, gerakan ini menitikberatkan dimana masyarakat dunia menginginkan kehidupan yang "normal", sebuah kehidupan yang memiliki makna.

Pemicu gerakan ini adalah dimana para generasi muda sudah muak dengan kehidupan yang terlalu "digital" dalam keseharian, mereka bosan berinteraksi dengan lainnya lewat teknologi smartphone hologram serta beragam fasilitas digital lainnya.

Padahal mereka melihat masalah besar saat itu adalah ketahanan pangan, dimana sistem digitalisasi gagal dalam membentuk sistem ketahanan pangan.

Dilaporkan dalam kurun 20 tahun terakhir, terjadi eksodus warga Ethiopia, Somalia ke negara Asia Tenggara, karena di negara mereka justru jadi santapan burung bangkai dan hyena.

Padahal di Indonesia pun juga sedang mengalami kesulitan, dimana lahan pertanian juga sudah sangat sulit didapatkan. Maka akhirnya meledaklah gerakan "Revolusi Bahagia", yang dipicu harga pangan yang sudah tak masuk akal.

Memang mereka diberikan kemudahan dalam akses berbagai hal, namun untuk urusan perut, banyak rakyat yang kelaparan, akibat harga pangan yang sudah tak wajar.

Gerakan diawali dengan berkumpulnya ribuan bahkan hingga jutaan massa di perkotaan pada sebuah lapangan besar, kemudian mereka beramai-ramai mengumpulkan gawai smartphone mereka, kemudian ditumpuk di tengah lapangan dan dibakar.

Mereka muak dengan kehidupan yang dicengkeram dengan "halu" alibi kemudahan akses teknologi, tetapi untuk makan saja harus membayar mahal dan sering langka di pasaran.

Maka dengan lenyapnya gawai smartphone secara massal, maka lumpuhlah seluruh sistem di seluruh dunia.

Massa warga yang kelaparan, mulai menerabas lahan-lahan milik korporasi, dan menanam tanaman pangan serta membuat peternakan mandiri.

Gerakan massa ini, akhirnya menyadarkan para pemimpin dunia, untuk merealisasikan semua poin-poin tuntutan "Revolusi Bahagia", dimana perusahaan-perusahaan tambang di seluruh dunia diberikan pajak tinggi yang digunakan untuk mendukung industri pangan yang dikelola rakyat langsung.

Lahan-lahan korporat dan gedung-gedung tak terpakai dialihfungsikan menjadi pertanian, perkebunan dan peternakan yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat di daerah masing-masing dan hasilnya digunakan sebesar-besarnya untuk masyarakat yang mengelolanya, jika panen berlebih, justru diberikan secara cuma-cuma ke daerah yang kekurangan pangan, atau sebagai barter ke wilayah lain yang tak miliki komoditas sejenis.

Masalah alat pertanian, pupuk dan teknologinya semuanya disuplai dan disubsidi oleh pemerintah. Swasembada pangan terjadi di berbagai daerah, rakyat kenyang, rakyat senang, rakyat bahagia.

Lalu bagaimana cara masyarakat untuk berkomunikasi ? karena mereka memutuskan untuk meminimalisir penggunaan digitalisasi dalam keseharian, utamanya menghindari penggunaan gawai smartphone.

Untuk itu, di setiap RW atau distrik disediakan tempat pusat informasi yang dilengkapi perpustakaan super lengkap.

Pusat informasi tersebut disediakan semacam alat komunikasi jarak jauh yang bisa digunakan masyarakat secara gratis, mirip-mirip wartel dan telegram atau warnet di era 1990an.

Pusat informasi ini biasanya berbentuk gedung yang sangat besar dan bisa memuat ribuan orang serta buka 24 jam, sehingga tidak sampai menimbulkan antrian yang cukup panjang.

Masyarakat jaman ini sudah tidak lagi bergantung pada gawai smartphone dengan segala kecanggihannya.

Pada pagi hari, mereka tidak dikejar waktu, sarapan dengan tenang bersama keluarga, baru pukul 8.30, sang ayah berangkat ke sawah yang tak jauh dari rumah, bersama sang anak pergi ke sekolah, sore harinya sang ayah membawa sejumlah hasil panen untuk diolah menjadi masakan.

Pada hari-hari sang anak libur sekolah, mereka ikut sang ayah pergi ke ladang, bukan sekedar menemani, tetapi juga berlatih tentang pertanian dan peternakan.

Untuk masalah pemenuhan kebutuhan sehari-hari, gaji subsidi dari pemerintah sudah sangat cukup untuk membeli sabun, pasta gigi dan lainnya.

Pada jaman ini banyak brand mode jatuh nilainya, sehingga untuk barang seperti tas, sepatu dan lainnya diusahakan dipasok oleh UMKM lokal.

Literasi pada jaman ini sangat baik perkembangannya, masyarakatnya sangat haus akan bacaan bermutu, perpustakaan kembali diminati oleh semua kalangan.

Ilustrasi Grandma Khayla yang bahagia bersama cucunya tanpa kehadiran smartphone (sumber : Aleteia )
Ilustrasi Grandma Khayla yang bahagia bersama cucunya tanpa kehadiran smartphone (sumber : Aleteia )

Jika sudah demikian, gawai smartphone memang sudah tidak ada gunanya, mereka tak membutuhkannya, mereka tak mau lagi dicengkeram dengan belenggu beragam aplikasi dalam kehidupan mereka.

Grandma Khayla pun berpesan kepada anak cucunya, jika kalian memang sudah bahagia dengan kehidupan yang sederhana ini, maka kalian telah berhasil menciptakan peradaban yang sebenar-benarnya peradaban, karena peradaban sejatinya dibentuk untuk menciptakan manusia beradab, bukan manusia yang biadab. Akankah terwujud ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun