Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mendesain PKBM Pendidikan Nonformal di Bumi Papua

13 Juli 2024   09:17 Diperbarui: 13 Juli 2024   13:51 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan Bali, bukan Italia atau bahkan bukan Amerika, negeri yang ingin sekali saya kunjungi sekali seumur hidup selain tanah suci Mekkah-Madinah, nama negeri itu adalah Papua. Walaupun hanya mengetahuinya lewat buku ensiklopedia, buku populer, artikel, tayangan di televisi atau video-video di YouTube.

Saya pertama kali jatuh cinta pada tanah Papua, saat melihat buku fotografi karya dari om saya Ensadi Joko Santoso, beliau adalah seorang dosen di IKJ, yang semasa mudanya aktif di bidang fotografi, dan salah satu karyanya adalah buku kumpulan fotografi berkualitas tinggi yang mengambil objek suku pedalaman Asmat di Papua.

Saya yang waktu itu masih SMP terkesima dengan foto-foto hasil jepretan om saya, utamanya dapat menangkap kehidupan masyarakat Papua pedalaman serta landscapenya yang bagaikan surga.

Sejak saat itu, saya selalu bermimpi untuk bisa berkunjung kesana. Namun seiring perjalanan waktu hingga kini belum ada kesempatan untuk bisa singgah di bumi Cendrawasih.

Topik artikel ini mengambil tema pendidikan non formal yang merupakan ide tantangan dari Kompasioner mas Dayu Rifanto, seorang aktivis Buku Untuk Papua, dimana tantangan ini bermula kegelisahannya melihat geliat pendidikan di Papua yang masih perlu banyak perbaikan, maka dari Itu artikel ini akan banyak membahas pendidikan non formal di Papua.

Setelah membaca artikel "challenge" tentang pendidikan non formal dari mas Dayu Rifanto, saya mencari tahu kiprah dari beliau, saya akui bahwa kita harus memberi applaus standing ovation dan acungan jempol untuknya atas perjuangan literasinya di Bumi Cendrawasih. Dimana beliau menginisiasi mendirikan banyak taman baca di Papua dengan gerakan Buku Untuk Papua yang menggalang sumbangan buku untuk bocah-bocah Papua.

Kegelisahan yang mas Dayu khawatirkan adalah dimana anak-anak Papua justru menyenangi mendatangi taman baca ketimbang rajin datang ke Sekolah, artinya disana ada kecenderungan dimana anak-anaknya lebih antusias pada format pendidikan non formal ketimbang pendidikan formal.

Mengetahui hal tersebut, membuat saya penasaran sebenarnya ada apa sih dengan kondisi riil di Papua, saya pun mencoba meriset dengan melihat beberapa video yang berkaitan gerakan Buku Untuk Papua di YouTube. Ada salah satu yang menarik perhatian saya dari sekian banyak video adalah ternyata banyak peserta didik di Papua yang belum bisa membaca lancar padahal mereka sudah menginjak kelas 6 SD.

Suasana anak-anak belajar di Taman Baca Pinjam Pustaka (sumber: Instagram Pinjam Pustaka)
Suasana anak-anak belajar di Taman Baca Pinjam Pustaka (sumber: Instagram Pinjam Pustaka)

Sepintas terlihat apakah ada masalah serius disana, apakah kualitas gurunya ? apakah infrastrukturnya ? apakah salah pola asuhnya ? apakah anak-anaknya malas belajar ?, ternyata bukan karena kesemua faktor tersebut.

Pada salah satu bagian video tersebut, ada guru Sekolah Dasar asli Papua yang diwawancarai disana mengatakan bahwa sebagian anak-anak Papua yang bersekolah itu lebih senang bermain-main bersama dengan teman-temannya ketika tiba di sekolah. Mereka tetap belajar seperti biasa, tapi fokus mereka tetap suka bermain berlarian kesana kemari bersama temannya.

Pada video tersebut juga diwawancarai seorang kakek asli Papua yang merupakan pensiunan guru, juga memiliki cucu yang sudah menginjak kelas 6 SD namun belum bisa membaca lancar. Ketika diwawancarai, sang kakek juga berujar bahwa cucunya memang masih suka bermain bersama dengan temannya.

Pada bagian video lainnya, anak-anak Papua justru beramai-ramai mendatangi rumah baca yang didirikan oleh gerakan Buku Untuk Papua, hal tersebut menunjukkan sebenarnya anak Papua mempunyai minat belajar yang tinggi pula, mungkin inilah yang membuat mas Dayu agak sedikit khawatir, dimana justru anak Papua lebih 'prefer' pendidikan non formal ketimbang pendidikan formal di sekolah.

Melihat cuplikan video tersebut dan mempelajari falsafah hidup orang Papua, saya sedikit menyimpulkan bahwa masyarakat di sana sebenarnya tetap menganggap penting tentang pendidikan, namun mungkin format standar pendidikan formal yang diberikan Pemerintah agak 'kurang menarik'.

Saya tidak menyalahkan dinas pendidikan dan memang saya belum pernah kesana, tetapi saya melihat bahwa orang Papua memang memiliki falsafah hidup yang sedikit berbeda dengan kebanyakan suku-suku yang ada di Nusantara lainnya.

Falsafah orang Papua memang mereka adalah orang-orang yang pandai bersyukur serta sangat cinta damai. Mereka sangat menekankan arti damai dalam menjalani hidup, kebanyakan mereka adalah pribadi yang tidak terlalu 'hustle' dalam mengejar duniawi, mereka benar-benar menikmati hidupnya di tanah yang menyediakan segalanya bagi mereka.

Falsafah ini tercermin dalam filosofi Noken, yaitu sebuah tas khas Papua yang terbuat dari bahan-bahan alami dan khusus dibuat hanya oleh 'mama-mama' asli Papua dan cara memakainya di kepala. Orang Papua mengatakan filosofi Noken menekankan pada arti kedamaian dan kesuburan.

Arti damai pada Noken berarti pada dimana tas khas Papua tersebut biasa digunakan dalam konteks perdamaian, seperti alat tukar yang berisi hasil bumi antar suku agar saling damai bahkan juga dalam praktik politik yang sederhana, sebagaimana kita ketahui dalam kontestasi pemilu, ada beberapa suku yang masih memakai sistem Noken dalam menentukan hak pilihnya, mereka tak mempermasalahkan siapa presidennya, seperti kata Kaka Slank, "asal ada ubi untuk dibakar, asal ada babi untuk dipanggang, aku tetap senang".

Sepenggal lirik dari lagu "Lembah Baliem" tersebut memang menggambarkan betapa orang Papua sudah bahagia dengan kehidupannya disana, mungkin jika disurvey tingkat kebahagiaan di Indonesia, saya yakin orang Papua adalah kelompok masyarakat yang paling bahagia di Nusantara. Mereka suka menari, menyanyi dan mereka bahagia dari apa yang mereka punya.

Walau bagaimanapun mereka juga sadar bahwa mereka juga butuh kemajuan pendidikan, bukan untuk gagah-gagahan titel sarjana, bukan untuk bersaing di dunia kerja, bukan untuk bangun jalan tol, tetapi untuk melindungi kekayaan alam Papua dari tangan-tangan orang yang mau merampasnya melalui senjata yang bernama 'pendidikan'. Mereka tak mau lagi gunung mereka diambil asing, mereka tak mau lagi gerakan separatis memecah belah kedamaiannya, mereka hanya ingin hidup damai saja. Titik.

Maka karena itu konsep pendidikan formal kita yang masih agak berorientasi pada pencapaian akademik ketimbang memunculkan minat para peserta didik masih kurang menarik perhatian bocah-bocah Papua yang senang kebebasan dalam pembelajaran, walau kurikulum kita memakai embel-embel kurikulum merdeka.

Jika memang adanya, kita pun tidak memaksakan anak-anak Papua untuk masuk pendidikan formal, bagi yang memang ingin bersekolah formal layani saja dengan baik dan begitu pula yang ingin mengenyam pendidikan non formal, maka Pemerintah pun harus mengakomodirnya dengan baik, karena pendidikan non formal memang salah satu metode terbaik dalam memajukan pendidikan di Papua.

Pada artikel ini saya akan mengangkat Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai salah satu lembaga pendidikan non formal yang bisa dioptimalkan pemerintah di Papua. Kurikulum PKBM cenderung memang menyesuaikan kondisi riil lapangan, sehingga sangat cocok dengan keadaan masyarakat Papua, selain itu pada PKBM, para peserta didiknya tetap bisa mendapatkan ijazah kesetaraan seperti paket Kejar pada berbagai tingkat.

Sebenarnya di Papua sudah banyak berdiri PKBM, entah itu dalam bentuk kursus, rumah singgah atau taman baca, tetapi kondisi riil masih jauh dari standar dibandingkan provinsi Inilainnya.

Berdasarkan data dari dinas pendidikan terbaru, tercatat ada 544 sekolah jenjang PKBM yang terletak di  semua Provinsi Papua, dimana terdiri dari 33 (6,07%) PKBM milik pemerintah (Negeri) dan 407 (74,82%) PKBM milik swasta. Jika ditinjau dari status akreditasi, terdapat 1 (0,18%) PKBM sudah terakreditasi A, 20 (3,68%) PKBM terakreditasi B, 42 (7,72%) PKBM terakreditasi C dan sisanya belum terakreditasi (88,42%). Kemudian jika ditinjau dari standarisasi, ada 4 (0,74%) PKBM di Papua sudah memiliki sertifikasi ISO 9001:2000, 6 (1,10%) memiliki sertifikasi ISO 9001:2008 dan sisanya belum tersertifikasi (98,16%).

Berdasarkan data tersebut, PKBM di Papua masih didominasi gerakan swadaya masyarakat, bukan dari Pemerintah, kemudian dari akreditasinya pun masih didominasi PKBM akreditasi C, dan hanya satu saja PKBM yang memenuhi akreditasi A dari sekian ratus PKBM. Bahkan yang mempunyai standar ISO hanya 6 PKBM saja. Tentunya kondisi ini sangatlah memperhatikan jika ingin memajukan pendidikan Papua lewat sektor pendidikan non formal.

Lalu bagaimanakah mendesain PKBM sebagai ujung tombak pendidikan non formal di Papua, berikut kiranya yang bisa menjadi perhatian kita bersama.

Optimalisasi Taman Baca Sebagai PKBM

Ketika melihat video-videonya mas Dayu, bisa terlihat betapa anak-anak Papua memang jauh lebih antusias mendatangi taman baca atau ruang baca yang diinisiasi gerakan Buku Untuk Papua, salah satunya taman baca Pinjam Pustaka.

Taman baca yang demikian sebenarnya bisa terus dikembangkan menjadi lembaga PKBM, karena mengingat antusiasnya sangat besar di Papua, jauh sekali di Jawa banyak lembaga PKBM yang mau gulung tikar karena kekurangan peserta didik walau sudah terakreditasi A.

Disinilah peran Dinas Pendidikan untuk melakukan pendampingan kepada para pengelola taman baca dalam pendiriannya, pengelolaannya serta tentunya diberikan insentif pembiayaan penyelenggaraannya, saya yakin pak Jokowi pasti ACC.

Taman Baca kebanyakan didirikan oleh usaha swadaya masyarakat, seperti mas Dayu salah satu contohnya, maka dari itu pihak Pemerintah harus memberikan apresiasi konkritnya dengan mendampingi betul Taman Baca yang ada di Papua untuk pengoptimalannya sebagai lembaga PKBM.

Penyuluhan Pendidikan Kepada Orangtua

Para 'Pace' dan 'Mace' adalah kelompok yang harus dilakukan pendekatan oleh pemerintah daerah setempat dalam memajukan pendidikan di Papua. Kita ajak kerjasama dalam hal pendampingan pembelajaran putra-putrinya.

Pihak pemerintah daerah harus sering melakukan penyuluhan pendidikan kepada para Pace dan Mace untuk menemukan sinergi dalam membangun pendidikan di Papua. Kita harus mendengar apa yang mereka mau. Lakukan observasi dan riset kepada mereka tentang kondisi riil mereka tentang pandangan pendidikannya.

Hasil observasi tersebut pastinya akan terbagi dua kelompok besar, yaitu kelompok orang tua yang inginkan anaknya bersekolah pada pendidikan formal dan kelompok orang tua yang inginkan anaknya menjalani pendidikan non formal di PKBM setempat.

Khususon yang memilih PKBM, pemerintah daerah harus memberikan aware yang lebih banyak. Pertama, apakah di daerah tersebut sudah ada berdiri lembaga PKBM. Kedua, jika sudah ada apakah PKBM tersebut sudah memenuhi standar akreditasi dan ISO. Ketiga, apakah ada SDM yang bisa jalankan PKBM tersebut secara serius dan sungguh-sungguh.

Gerakan Relawan

Masalah paling utama dalam pengembangan PKBM di Papua sudah jelas adalah masih minimnya SDM yang mengajar disana. Kalaupun ada, pasti datang dan pergi dalam waktu singkat.

Diharapkan Dinas Pendidikan menggerakkan kampus-kampus perguruan tinggi baik negeri ataupun swasta untuk mengerahkan para mahasiswanya untuk dalam waktu tertentu menjadi relawan pengajar PKBM di Papua.

Memang faktanya PKBM Taman Baca di Papua sangat menarik perhatian bocah-bocah Papua dikarenakan metode pembelajaran yang dilakukan para relawan selalu menarik dan penuh permainan dan tidak dalam ruang sekat bangunan Taman Baca saja, sehingga dalam kondisi menyenangkan, mereka mau belajar membaca dengan tekun dan akhirnya melahap buku-buku yang ada di Taman Baca.

Namun sebenarnya relawan Mahasiswa saja tak cukup, karena mereka pasti datang dan pergi, harus ada memang relawan yang tak sekedar relawan, tetapi diperlukan SDM yang benar-benar serius mengelola PKBM di segala pelosok Papua, dalam hal ini tentunya pemerintah bisa memikirkannya untuk membantu pengadaannya serta tunjangannya, sehingga PKBM sebagai ujung tombak pendidikan non formal di Papua benar-benar bisa berkembang.

Peningkatan Standar Kualitas PKBM

Data statistik PKBM Papua di atas adalah gambaran betapa belum seriusnya Pemerintah dalam melihat hal ini untuk dikembangkan. Padahal sudah jelas kondisi riil di lapangan, pendidikan non formal bisa menjadi ujung tombak utama dalam memajukan pendidikan di Papua.

Diharapkan harus selalu digenjot untuk pengembangan PKBM di Papua, seperti memberikan bantuan perbaikan bangunan, bantuan alat sarana dan prasarana media pembelajaran,  pemberian insentif untuk pengelolanya, mengirimkan guru-guru berkualitas ke berbagai PKBM dan masih banyak lainnya, yang jelas lembaga pendidikan non formal harus juga adil perlakuannya sama halnya lembaga pendidikan formal.

Jika pemerintah daerah setempat belum tanggap masalah ini, mungkin kiranya mas Dayu dan rekan-rekan pejuang literasi lainnya di bumi Papua bisa melakukan pendekatan dengan pemerintah daerah setempat untuk meningkatkan perhatiannya pada pendidikan non formal di Papua.

Kita tak bisa terus menerus mengandalkan kebaikan para pejuang literasi seperti Mas Dayu dan lainnya untuk memajukan pendidikan di Papua, maka dari itu pemerintah daerah setempat juga harus diketuk pintunya untuk memajukan pendidikan non formal di seluruh pelosok Papua.

Papua adalah mutiara negara Indonesia, harus kita jaga betul kedamaian dan ketentramannya, sebuah tetes surga yang jatuh ke bumi, maka layak kita perjuangkan masa depan anak-anak Papua untuk melindungi tanah leluhurnya.

Semoga tulisan ini bisa mencerahkan dan memberikan kobar semangat Mas Dayu Rifanto beserta pejuang literasi lainnya di Bumi Cendrawasih. Waa Waa. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun