Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menyibak Misteri Situs Menggung di Lereng Gunung Lawu

10 Juli 2024   18:27 Diperbarui: 10 Juli 2024   18:35 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Situs Menggung dengan latar belakang desa Nglurah yang asri dengan tanaman hiasnya (dokpri)

Udara sejuk menyeruak ke dalam relung nafas ini, pemandangan Cemara hijau perbukitan memanjakan mata di sepanjang perjalanan menuju Bumi Perkemahan Pleseran, Nglurah Tawangmangu, Karanganyar.

Sekitar akhir tahun lalu, sekolah kami mengadakan perjalanan trip gathering untuk para guru dan tenaga kependidikan ke Bumi Perkemahan Pleseran, Tawangmangu, lokasinya terletak tepat di kaki gunung Lawu, tentunya menambah keseruan acara gathering ini karena tempatnya yang berhawa sejuk dan pemandangan gunung yang elok.

Pada saat itu, kebetulan jalan dari jalur utama menuju bumi perkemahan sedang ditutup dikarenakan ada perbaikan jembatan menuju kesana, hingga perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki yang menempuh jarak sekitar 2 km.

Setelah melewati jembatan yang sedang diperbaiki melalui ‘kreteg’ alias jembatan bambu darurat. Sebagian peserta gathering memilih menggunakan pickup yang disediakan panitia, sementara saya dan anak saya yang kebetulan ikut, memutuskan untuk berjalan kaki untuk lanjutkan perjalanan walau jalur yang dijalani naik turun lumayan menguras energi.

Saya dan anak saya bersemangat berjalan kaki, sambil menikmati keindahan kampung Nglurah yang dimana rumah-rumahnya merupakan sentra budidaya tanaman hias. Sebagian besar masyarakat di sini memang bermata pencaharian sebagai pembudidaya tanaman hias yang menyuplai ke berbagai tempat.

Ada sekitar 100 meter kami berjalan agak mendaki, dan kami pun memutuskan untuk rehat sejenak, namun ada yang menarik perhatian saya yaitu terdapat plang nama “Cagar Budaya Situs Menggung” yang dilatarbelakangi punden berundak dan pohon beringin yang sangat besar.

4 arca Dwarapala menyambut depan teras (dokpri)
4 arca Dwarapala menyambut depan teras (dokpri)

Tak berlama-lama kami pun memutuskan untuk mengunjungi situs bersejarah tersebut. Tampak sekilas Situs Menggung ini terdiri dari tiga teras. Di teras pertama kita akan disambut  empat buah patung dwarapala yang menjaga tangga menuju teras kedua.

Kemudian berlanjut pada teras kedua yang terlihat  lebih luas. Pada teras ini terdapat bebatuan yang disusun tumpuk dan membentuk bidang persegi di beberapa tempat.  Sekilas mirip pola situs jaman megalitikum ketimbang bangunan jaman Hindu.

Kondisi bagian teras kedua (dokpri)
Kondisi bagian teras kedua (dokpri)

Pada bidang-bidang tersebut dapat terlihat beberapa batu dengan bagian atas yang datar seperti umpak, bisa jadi kemungkinan dulu terdapat struktur rumah panggung yang berumpak.

Kemudian kita menuju teras ketiga, yang merupakan bagian inti situs ini. Ketika memasukinya kita akan disambut sepasang arca dwarapala di kaki tangga. Di tengahnya terdapat pohon beringin sangat besar terkesan angker yang ditutupi kain bermotif kotak serta kain kuning. Di sela-sela akarnya  kita dapat menemukan sebuah arca kecil yang tampak rusak dan tak berbentuk.

Sepasang arca Dwarapala menyambut di teras ketiga (dokpri)
Sepasang arca Dwarapala menyambut di teras ketiga (dokpri)

Pada ujungnya  ada tembok yang mengelilingi dua arca yang tampak sangat disucikan warga setempat. Secara fisik, kedua arca ini bisa dikatakan paling utuh dibanding arca-arca lainnya.

Oleh warga setempat arca yang lebih pendek disebut Kyai Menggung dan arca yang lebih tinggi juga disebut Nyi Rasa Putih. Di bawah arca Nyi Rasa Putih kita dapat melihat sebuah batu relief, namun tak jelas relief tersebut menceritakan perihal apa.

Arca Kyai Menggung dan Nyi Rasa Putih (dokpri)
Arca Kyai Menggung dan Nyi Rasa Putih (dokpri)

Menurut informasi teman saya yang tinggal tak jauh dari situ, mengutarakan hingga saat ini masih ada tradisi “Dhukutan” di situs Menggung. Tradisi diadakan tahunan pada saat wuku Dhukut, acaranya cukup semarak dan mengundang turis cukup banyak, karena selain ada upacara adat persembahan, acara ini juga disemarakkan acara pertunjukan wayang semalam suntuk.

Sekilas saya mengamati ada beberapa hal yang bisa disimpulkan sementara, bahwa situs bersejarah ini bisa dikatakan masih cukup ‘misteri’, dikarenakan sebagaimana situs-situs yang hampir serupa juga kadang masih misterius untuk diungkap masa lalunya, berikut ulasannya.

Jenis Bangunan

Ketika saya memasuki situs ini, saya menjadi terheran-heran, karena sekilas situs ini sepintas ada unsur bangunan jaman Megalitikum yaitu dengan adanya undakan teras dengan susunan batu bertumpuk membentuk persegi, pola ini sangat khas bangunan jaman perunggu (1000-100 SM), jadi mungkinkah situs ini lebih tua dari Candi Borobudur ?. Mengingat ada beberapa titik di Kabupaten Karanganyar utamanya sekitaran kaki gunung Lawu ditemukan beberapa situs Megalitikum, namun yang menarik, Situs Menggung terletak paling tinggi diantara lainnya.

Namun di sisi lain, situs ini juga kental unsur Hindu, dimana kita dapat menemukan Yoni diantara bebatuan tersebut, lalu arca-arcanya yang bergaya Hindu. Maka dari itu situs ini bisa dikatakan cukup unik, dimana terdapat elemen megalitikum dan juga unsur Hindu dalam polanya, tentunya hal ini mengundang rasa misterius kepada orang yang menelitinya lebih lanjut.

Masa Pendirian

Sebagaimana masih misterinya jenis bangunannya dari jaman apa, tentunya akan sangat sulit menentukan siapa pendirinya.

Menurut versi beberapa warga setempat frase  Menggung diperoleh dari Kyai Menggung yang diyakini merupakan sebutan dari Narotama, seorang Ksatria Bali yang pernah menjadi pengikut Raja Airlangga.

Dikisahkan ia mengembara ke Nglurah, kaki gunung Lawu untuk beribadah mendekatkan diri pada Sang Hyang Widhi. Dari lakunya  ini, kata Menggung-“melengake marang Gusti Kang Maha Agung” artinya memusatkan segala perhatian kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Namun kisah ini pun masih belum bisa menjadi acuan karena masih sebatas folklore cerita lisan warga setempat. Sementara jaman Airlangga sudah sangat terlampau jauh. Di sekitaran situs pun belum ditemukan ..... yang kiranya menunjukkan tahun kapan didirikannya

Keterkaitan Upacara Adat

Sudah bisa dipastikan upacara adat Dhukutan merupakan akulturasi budaya warga sekitar dengan situs Menggung. Tidak bisa dipastikan keterkaitan antara upacara adat dengan situs yang mengandung unsur Hindu di dalamnya.

Pohon beringin besar yang dikeramatkan di Situs Menggung (dokpri)
Pohon beringin besar yang dikeramatkan di Situs Menggung (dokpri)

Upacara adat sesembahan ini tentunya merupakan wujud dari penghormatan warga setempat yang menganut kepercayaan lokal terhadap situs dari leluhur mereka.

Namun alangkah baiknya, jika ada riset yang mendalami prosesi upacara adat Dhukutan dalam keterkaitannya dengan situs Menggung tersebut.

Minim Informasi

Hal yang paling jelas membuat makin misterinya situs ini adalah belum ada riset atau penelitian yang mendalami keberadaan situs Menggung ini. Sebenarnya cukup banyak situs-situs yang seperti ini di berbagai tempat di Jawa Tengah, namun belum begitu banyak yang bisa menguak masa lalunya. Beda halnya dengan situs Candi yang lebih mudah dalam pengungkapannya.

Situs Menggung dengan latar belakang desa Nglurah yang asri dengan tanaman hiasnya (dokpri)
Situs Menggung dengan latar belakang desa Nglurah yang asri dengan tanaman hiasnya (dokpri)

Walaupun situs hanya berupa tumpukan batu tersusun dan kumpulan arca, tetaplah harus kita gali informasi di masa lalunya. Apalagi di situs Menggung, tidak ditemukan infografis yang menerangkan keberadaan situs ini, seperti kapan ditemukannya, fungsinya sebagai apa, dibangun di jaman apa, sehingga terkesan tidak ada usaha serius dalam mengungkap sejarah masa lalu bangsa kita.

Kebanyakan situs-situs bangsa ini dari jaman Hindu-Budha tidak tergali sepenuhnya tentang informasi masa lalunya secara tertulis, sehingga yang berkembang kebanyakan adalah cerita-cerita folklore masyarakat setempat, diharapkan kedepannya bisa dikembangkan lagi pengungkapan sejarah situs bersejarah bangsa ini. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun