Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Pilu Ibu Lansia Pengais Beras Sisa Gabah

29 Juni 2024   19:10 Diperbarui: 30 Juni 2024   11:49 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bu Payem dan Bu Paimi mengais bulir padi | Dokumentasi pribadi

Sore itu saya melintas persawahan sekitar dekat rumah, tampak dua ibu-ibu lansia masih berkerja di pinggiran sawah yang baru saja panen kemarin. Penasaran apa yang mereka lakukan, saya pun menghampirinya. 

Namanya Bu Payem dan Bu Paimi, rumahnya sekitar 5 kilometer dari area persawahan tersebut. Saya menghampiri mereka, dikarenakan saya penasaran kenapa setiap kali pasca panen padi di sekitaran pematang sawah semi urban, selalu ada ibu-ibu lansia dari kampung sekitar yang sibuk mengayak gabah-gabah bekas panen mulai dari pagi hari hingga sore hari.


Ketika saya tanyakan perihal yang mereka lakukan, ternyata mereka sedang mengais bulir-bulir padi yang masih tersisa pada gabah. Mereka menyebut gabah sisa tersebut dengan sebutan 'ke-ren' artinya 'yang tertinggal'. Sungguh miris melihatnya, karena di jaman ini, ternyata masih ada orang yang mencari beras dari sisa gabah panen.

Dari informasi yang saya dapat dari mereka, dari satu patok sawah yang habis dipanen, mereka hanya kadang mendapatkan tak lebih dari 5 kg bulir padi, padahal mereka mengayaknya dari pagi hingga sore.

Dari bulir padi yang terkumpul tersebut, padahal harus di-pepe atau dijemur terlebih dahulu, sebelum akhirnya bisa dialu terkupas kulitnya menjadi beras. Kemudian dari beras yang dikumpulkan tersebut, ternyata tidak untuk dijual lagi, tetapi untuk dikonsumsi sendiri.


Mereka menyebut kegiatan tersebut dengan sebutan 'gresek-gresek', dan banyak para wanita lansia di kampungnya melakukan kegiatan ini ketika musim pasca panen. Sewaktu muda mereka biasanya jadi buruh tani, seperti menanam bibit, memanen rombongan dan lainnya.

Tetapi ketika menginjak usianya yang sudah renta, mereka memilih 'gresek-gresek' untuk mencari sesuap nasi, dikarenakan fisik mereka sudah tidak kuat untuk kerja berat, padahal saya melihat kegiatan mengayak gabah sebenarnya menguras stamina yang cukup banyak.

Sungguh miris saya melihat kondisi para ibu-ibu lansia ini, yang mencari sesuap nasi dengan cara seperti itu, seakan menandakan bahwa negara ini sedang tidak baik-baik saja, karena pada usia senja mereka harus mencari rejeki dengan cara yang teramat berat.

Pada sore itu pun, saya membantu mereka mengantarnya pulang, karena mereka pergi ke sawah yang baru panen tersebut hanya dengan berjalan kaki, padahal jarak rumahnya lumayan jauh jika ditempuh dengan tanpa kendaraan.

Rumah beliau hanya sederhana, sebagian pawon dapurnya berlantai tanah, anak-anaknya sebenarnya juga membantu perekonomiannya, tetapi dirasakan karena kurang mencukupi, ibu-ibu lansia ini pun juga membantu ekonomi keluarga dengan mengais bulir padi sisa gabah panen.

Bu Payem dan Bu Paimi adalah gambaran betapa kemiskinan masih menjadi sesuatu yang nyata ada di sekitar kita, tetapi pemerintah masih tutup mata untuk segera menyelesaikannya.

Seharusnya kita tidak mendengar lagi kisah-kisah para lansia yang hidup dalam kemelaratan yang amat pelik, hingga sampai untuk makan saja, harus mengais beras gabah sisa.

Bu Payem dan Bu Paimi mengais bulir padi | Dokumentasi pribadi
Bu Payem dan Bu Paimi mengais bulir padi | Dokumentasi pribadi

Saya yakin pemerintah sebenarnya sudah tahu banyak masalah ini, dan menjalankan program-program bantuan sosial namun kita melihatnya masih belum efektif tepat sasaran.

Bansos Belum Tepat Sasaran

Menurut Kepala Pusat Kajian Pembangunan Sosial (SODEC) Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM, Hempri Suyatna yang diungkapkan kepada Kompas TV (22/11/2021), mengungkapkan terdapat 3 faktor mengapa Bantuan Sosial (bansos) yang dilakukan Pemerintah masih belum tepat sasaran.

Faktor pertama adalah masih banyaknya masyarakat yang sebetulnya tidak dikategorikan miskin, namun mereka turut mendaftar sebagai kelompok yang bisa diberikan bansos. Mereka ini disebut sebagai masyarakat bermental miskin.

Akibatnya beberapa kelompok masyarakat miskin yang seharusnya mendapatkan haknya justru tidak mendapat jatah bansos sebagaimana mestinya, data base menjadi kacau dan lain sebagainya.

Masalah mental gratisan memang sesuatu yang pelik pada masyarakat kita, karena perihal ini terjadi di berbagai lini masyarakat, dimana untuk level elit pun maunya gratisan dengan cara perilaku koruptif.

Faktor kedua yaitu verifikasi dan validasi data kemiskinan atau data terpadu kesejahteraan sosial yang tidak terintegrasi dan terupdate dengan baik sehingga banyak warga yang berkategori mampu masih terdata sebagai penerima bantuan. 

Pembaruan data di tingkat pemerintah daerah atau desa seharusnya selalu di-update secara berkala, bukan baru diambil datanya ketika ada program bansos tiba.

Hal ini teramat penting karena kebermanfaatannya juga tidak hanya untuk keperluan bansos, tetapi juga untuk hal administratif lainnya seperti DPT pemilu dan lainnya.

Faktor ketiga yaitu  terdapat konflik regulasi dan minim sinkronisasi antara instansi pemangku kepentingan, seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Desa, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Pemerintah Provinsi/Kabupaten, dan sebagainya, dalam penyaluran bansos yang berkesinambungan.

Sinergitas antar instansi yang berkepentingan harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat, bukan egosentris struktural, yang akhirnya membuat berbagai kebijakan yang bertujuan mensejahterakan rakyat menjadi tidak terarah dengan baik.

Nilai Bansos yang digelontorkan Pemerintah sudah mencapai triliunan, sudah semestinya dengan nilai luar biasa tersebut sudah tepat sasaran mensejahterakan masyarakat miskin, mari kita kawal bersama, agar lansia seperti Bu Payem dan Bu Paimi tidak perlu mengais beras sisa gabah di usia senjanya. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun